Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka pun mengadu ke organisasi konsumen, yang lalu meneruskan keluhan tersebut ke pemerintah Korea Selatan dan produsennya di Amerika Serikat. Tanpa tunggu lama-lama, sang produsen segera menarik produk itu dari peredaran di Semenanjung Korea. Lewat iklan koran sehalaman penuh, mereka juga menyatakan permintaan maaf kepada masyarakat konsumen Negeri Ginseng tersebut.
Peristiwa serupa ternyata juga menimpa sejumlah orang Indonesia. Hal ini dituturkan oleh Tini Hadad, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), kepada TEMPO. Dan sebagaimana dilakukan di Korea Selatan, melalui YLKI, tuntutan warga pun dilayangkan ke pemerintah Indonesia dan produsen di Amerika Serikat. Hasilnya? Keluhan dari pihak konsumen Indonesia itu, walaupun sudah "disponsori" oleh YLKI, tetap tidak dihiraukan oleh si produsen Amerika.
Tidak sedikit kasus yang menafikan hak konsumen seperti itu. Dengan asumsi konsumen Indonesia biasa mengonsumsi barang kedaluwarsa, para pembeli diposisikan untuk take it or leave it. Dan, itu tak cuma terjadi pada barang impor. Barang dan jasa dalam negeri pun demikian. Meski konsumen telah menerima barang yang merugikan, bahkan mencelakakan dirinya, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Konon pula mendapat ganti rugi.
Ingat saja kasus biskuit beracun di Tangerang, yang menewaskan 36 orang konsumen, tahun 1989. Lantas kasus mi instan beracun di Palembang. Atau kasus bus Metromini yang "terjun" ke Kali Sunter di Jakarta, tahun 1994. Tenggelamnya kapal Gurita di Pulau We, Aceh, tahun 1996. Perlakuan semena-mena terhadap penumpang bus atau pesawat terbang. Pemadaman aliran listrik atau air ledeng secara mendadak dan dalam tempo lama. Belum pula aneka perjanjian jual beli atau kontrak kredit.
Pendeknya, konsumen di Indonesia dikondisikan untuk nrimo, pasrah, mengikuti kehendak pengusaha. Perkembangan fenomena itu, menurut Tini Hadad, tak lepas dari politik ekonomi pemerintah, yang senantiasa mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan industri. Walhasil, pengusaha selalu di atas angin, sedangkan konsumen tidak dilindungi hak-haknya. Padahal posisi konsumen dan produsen itu setara. Produsen tak akan berarti tanpa konsumen. Produsen juga mengonsumsi barang dan jasa lainnya. Jadi, pada hakikatnya, "Kita semua adalah konsumen," ucap Nikentari Musdiono, anggota DPR dari Fraksi Karya Pembangunan.
Kalaupun kasus kerugian konsumen diajukan ke pengadilan, seperti pada kasus biskuit beracun, tapi yang dipidana adalah pekerja yang dianggap lalai. Perusahaannya sendiri sama sekali tak tersentuh hukum. Memang, sang pengusaha memberi uang kepada para konsumen korban. Tapi statusnya hanya sumbangan, bukan suatu kewajiban.
Di pengadilan perdata, nasib konsumen juga parah. Hampir tiada vonis yang berpihak kepada mereka. "Karena undang-undang perlindungan konsumen tidak ada, hakim seolah-olah tak punya pijakan hukum untuk menyalahkan produsen," ujar Tini Hadad.
Namun sekarang para pengusaha tak bisa sewenang-wenang lagi mengeksploitasi konsumen. Sebab, tak lama lagi akan ada Undang-Undang Konsumen. Sejak Jumat pekan lalu, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dibahas oleh DPR dan pemerintah. Sedianya, rancangan inisiatif DPR itu bisa menjadi undang-undang pada 31 Maret tahun depan.
Pada rancangan undang-undang itu, ada sembilan hak konsumen yang dilindungi, di antaranya hak tentang keamanan, memperoleh informasi yang jujur, memilih, didengar keluhannya, dan memperoleh ganti rugi, plus lingkungan hidup. Yang juga diatur adalah kewajiban dan perbuatan yang dilarang bagi pengusaha, standar perjanjian jual beli, standar aneka kontrak jasa, dan standar produk impor.
Ancaman hukuman bagi pengusaha yang tak mempedulikan hak konsumen juga cukup seram. Sanksi terhadap pengusaha bisa hukuman administratif berupa pencabutan izin usaha, tuntutan ganti rugi, plus ancaman pidana 10 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar. Bersama dengan Undang-Undang Antimonopoli, Lingkungan Hidup, juga penyempurnaan aturan penanaman modal asing dan industri yang dikuasai negara, diharapkan Undang-Undang Konsumen bakal menciptakan bisnis yang fair dan sehat.
Masalahnya terpulang pada pemerintah yang berwenang mengawasi dan menjalankan undang undang. Tini Hadad membandingkan ini dengan law enforcement lingkungan hidup yang belum juga membuahkan hasil. Menurut Tini, selain oleh pemerintah, law enforcement juga ditentukan oleh itikad dan kesadaran para pengusaha. Kalau tidak, para konsumen tetap tak terlindungi dan undang-undang kembali menjadi deretan huruf mati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo