MENEMBAK atau tidak menembak, itulah soal polisi. Dan jawabnya serba susah. Luput menembak, ia bisa ditegur. Tapi tembakan mengena sasaran belum tentu pujian yang didapat. Pekan lalu, Serma Jaswani Rawani dari Polsek Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Medan, divonis 5 bulan penjara. Mahkamah Militer Sumatera Utara di Medan menganggap bintara polisi itu telah berbuat lalai: dalam gelapnya malam ia menembak seorang residivis bernama Amrun, 23, hingga tewas. Peristiwa penembakan itu sendiri terjadi pada Desember 1984. Berbekal surat tugas, Serma Jaswani mencari Amrun, Wage, dan Bejo. Ketiga tersangka pencuri itu ditemui sedang berada di persimpangan Jalan Sei Merah dan Jalan Pasaribu. Jaswani langsung menggertak. Bukannya menyerah, ketiga buron malah langsung lari berpencar. Pengejaran pun terjadi. Tembakan sempat dilepaskan. Toh, hasilnya sia-sia. Tapi polisi yang telah bertugas lebih dari seperempat abad itu belum menyerah. Malam harinya, dengan berpakaian preman ia mendatangi rumah Ahmad Buhari -- orangtua Amrun di Desa Cinta Rakyat. Setelah mengamati sekian lama, polisi bertubuh tegap dan berkumis tebal itu memastikan bahwa Amrun berada di dalam rumah. Tiba-tiba, kebetulan, Mariana, kakak Amrun, keluar dari rumah. Jaswani lalu menemuinya, dan meminta agar Mariana meminta kepada adiknya agar menyerah. Di luar dugaan, begitu Mariana menyatakan kepada adiknya bahwa ada orang yang mencarinya, Amrun langsung melompat dari Jendela, kabur ke arah sungai. Jaswani pun langsung berteriak memerintahkan Amrun berhenti. Teriakan polisi tak dipedulikan oleh buron ini. Entah khawatir gagal lagi, kali ini Jaswani langsung menembak ke arah tubuh yang melarikan diri itu. Sementara Mariana dan Ahmad Buhari cuma melongo, tak tahu apa yang mesti diperbuat. Sersan polisi berpakaian sipil itu kemudian dengan sigap menggulung celananya, mengejar yang melarikan diri. Tapi percuma. Sebelum pergi, ia berkata kepada Ahmad: "Saya tembak anak Bapak, karena saya geram melihatnya." Ketika itu pula Mariana dan ayahnya lalu mencari Amrun. Di pinggir sungai mereka mendapatkan Amrun tersungkur tewas dengan luka di bagian belakang kepala. Esoknya visum dokter mengatakan bahwa Amrun tewas tertembak di belakang kepalanya. Orangtua korban menjadi gusar. Ia melaporkan kematian anaknya dan meminta kasus itu diusut. Tapi penduduk umumnya mereka merasa gembira. Sebab, korban selama itu dianggap sebagai parasit yang sering mengganggu ketenteraman. Sekurangnya ada lima kepala desa di Kecamatan Percut Sei Tuan, yang menyatakan berterima kasih lewat surat atas "sukses" Jaswani. Delapan belas bulan bulan kemudian, setelah pengusutan lengkap dilakukan, Jaswani, 46, akhirnya diadili. Selama pengusutan dan selama pengadilan, ia tak pernah dikenai tahanan sementara. Oditur Letkol Nurdin Molla menuntut terdakwa dengan hukuman 8 bulan penjara. Majelis hakim kemudian menjatuhkan vonis 5 bulan penjara. Yang memberatkan terdakwa, meski yang ditembaknya seorang residivis, dan ketika itu ia mengantungi surat tugas, "Dia terbukti berbuat lalai, yang menyebabkan orang lain meninggal," tutur Letkol Soehaeli, Ketua Majelis Hakim. Dalam mempertimbangkan tuntutan hukuman, Oditur Letkol Nurdin Molla sebenarnya yakin, terdakwa tak berniat menghabisi korban. Korban tewas semata karena kelalaian menembakkan pistol di gelapnya malam. Tapi itulah, polisi mana pun tentunya tahu bahwa ia hanya boleh melakukan tembakan peringatan ke atas bila jiwanya tak terancam. Bahkan dalam keadaan terancam pun, bila polisi menembak, diharuskan memilih sasaran yang tak mematikan. "Sebagai polisi yang sudah 26 tahun bertugas, mestinya dia tahu bahwa tak boleh memain-mainkan senjata api sembarangan. Untung, peluru yang ditembakkan tak nyasar dan mengenai oranglain. Kalau itu terjadi, saya akan menuntut dia lebih berat," kata Molla kepada TEMPO. Adanya surat ucapan terima kasih dari lima kepala desa, menurut Majelis Hakim, menjadi salah satu fakta yang meringankan hukuman bagi Jaswani. Juga ikut dipertimbangkan jasa terdakwa menggagalkan penyelundupan 7 kali obat-obatan dari Penang (Malaysia) ke Medan dan sekitarnya pada 1977 yang menyebabkan terdakwa memperoleh surat penghargaan. Jaswani sendiri tak menyangkal telah melepas tembakan. Hanya, katanya, "Malam itu saya menembak asal saja, dan tidak tahu bahwa tembakan mengenai korban." Kedengarannya pengakuan polisi yang di lingkungannya dikenal supel ini bisa diterima. Setidaknya, bintara yang dua setengah tahun lagi bakal pensiun itu tidak dikenal sebagai polisi yang ngoboi, asal tembak, selama ini. Karena masa pensiun itu pula, ia minta kepada Majelis Hakim agar diringankan hukumannya. Di lingkungan asrama polisi yang lebih mirip bangsal panjang, tempat Jaswani mendiami salah satu petak bersama seorang istri dan sembilan anaknya, sersan mayor ini dikenal banyak sahabatnya -- bukan cuma dari kalangan kepolisian. Tampaknya ia memang lagi nahas. Tentang vonis itu Jaswani menyatakan pikir-pikir dulu. "Sebab saya menembaknya memang asal saja," katanya kepada TEMPO. "Sebab, kalau saya sengaja menembaknya tepat, buat apa saya perlu berpesan kepada orangtuanya agar bila anaknya kembali membawanya ke kantor polisi." Adapun Amrun, korban itu, seperti dikatakan oleh Majelis Hakim, memang orang tak disukai di lingkungannya. Pernah dihukum karena mencuri kambing dan ayam. Tapi memang tidak adil bila ia dieksekusi sebelum diadili.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini