Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mengadili raibnya hajah rohani

M. Daud, suami salah seorang jemaah haji dari Kal-Sel pada musim haji 1987, hajah siti rohani, menuntut ganti rugi dari pemerintah sebanyak rp 40 juta setelah istrinya itu meninggal dunia di tanah suci.

12 Maret 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEJADIAN biasa dan rutin bila ada jemaah haji yang meninggal ketika menunaikan ibadat wajib itu. Sebagian jemaah malah berharap bisa berkubur di Tanah Suci, yang konon mendapat imbalan tidak masuk neraka. Sebab itu, terasa mengagetkan ketika M. Daud, suami salah seorang jemaah haji dari Kalimantan Selatan, pada musim haji 1987, Hajah Siti Rohani menuntut ganti rugi dari pemerintah sebanyak Rp 40 juta, setelah istrinya itu meninggal di Tanah Suci. Melalui Pengadilan Negeri Banjarmasin, pekan-pekan ini Daud menggugat pemerintah RI, cq (casu quo) Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji, Gubernur Kalimantan., Selatan, dan Wali Kota Banjarmasin. Ia memang tidak, menyalahkan pemerintah gara-gara istrinya meninggal. Tapi, katanya, ia sangat dirugikan karena berita duka itu tidak dikabarkan oleh pemerintah secara resmi kepadanya selaku suami. Akibatnya, katanya, ia menderita rugi moril dan meteriil akibat istrinya tak kunjung kembali, tanpa kabar berita. Pada 9 Juli 1987, Nyonya Siti Rohani, 53 tahun, berangkat naik haji, tanpa didampingi suaminya. Pensiunan guru SD itu dilepas dengan kegembiraan oleh keluarganya di Banjarmasin, melalui Surabaya. Almarhumah tercatat sebagai anggota jemaah kloter 15, dengan nomor pengenal PPH 1951303 di bawah pimpinan Drs. Yamani. Sebelum berangkat, sebenarnya Nyonya Rohani, ibu tiga anak, telah diperiksa dr. Mohlan Aham, dokter tim kesehatan kloter 15. Hasilnya, kesehatannya kurang baik, hingga perlu dibuat catatan, kendati tetap diizinkan berangkat. Ia masih sehat walfiat ketika mendarat di Tanah Suci. Tapi sesampainya di Arafah - dengan suhu udara 46 deraat - kondisinya memburuk. Menurut dr. Mohlan Aham, Rohani dikirim ke pusat perawatan medik di Arafah, ditemani Perawat Marlena. Dari situ, menurut Marlena kepada dokter itu, Mendiang dikirim ke rumah sakit di Mekah. Di Mekah, cerita Mohlan, ada delapan rumah sakit. Tapi di semua rumah sakit itu Rohani tak ditemukan. "Di kamar mayat pun tidak ada," kata Mohlan. Sampai rombongan kembali ke tanah air, kabar Nyonya Rohani belum jelas. Ia raib entah ke mana. Sementara itu, di tanah air, suaminya Daud--yang tak mendapat kabar tentang musibah itu - sesuai dengan rencana, 18 Agustus menjemput istrinya ke lapangan terbang Juanda Surabaya. Ternyata, Rohani tak ada dalam rombongan itu. Ke mana? M. Daud lalu menelegram ke Menteri Luar Negeri di Jakarta, 23 Agustus. Karena tidak mendapat jawaban, pada 17 September ia mengirim surat ke Menteri Agama, juga ke Gubernur sebagai penanggung jawab pelaksanaan urusan haji di Kalimantan Selatan. Ternyata, sampai awal Desember, Daud merasa tak memperoleh tanggapan resmi. Itu sebabnya ia menggugat pemerintah ke Pengadilan Negeri Banjarmasin. Ia menuntut ganti rugi sebesar Rp 40 juta - Rp 25 juta karena ketenangan pikiran dan kegiatannya terganggu, Rp 10 juta kerugian akibat mencari informasi, termasuk transpornya, sedang Rp 5 juu adalah ganti rugi ongkos perjalanan pulang istri tergugat yang belum terpakai. Turut sebagai tergugat secara berurutan adalah: Depdagri, Depkes, Dephub, Deplu, Depkeh, Depkeu, Depdag, Dephankam, dan Deppen. Hingga pekan lalu, gugatan resmi itu belum diterima Departemen Agama. Direktur Penyelenggaraan Urusan Haji, Drs. H. Suparno, merasa aneh bahwa Daud menggugat gara-gara soal itu. "Mungkin saJa mereka mau bikin gara-gara pada tahun 88 ini, mencari popularitas supaya tenar. Kami akan melayani gugatan itu," katanya. Menurut Suparno, sebenarnya Rohani tidak raib. Ia tinggal di Maktab Muassasah Mutawif (Kantor Yayasan Pentawaf) nomor 4 di Mekah. Pada Jumat 21 Agustus dinihari - 17 hari setelah menunaikan ibadat haji - ia meninggal di RS Raja Abdul Aziz, Zahir, Mekah. Berita kematiannya, 12 Oktober, dikirim Konsul Jenderal Haji di Jedah ke Departemen Agama. Kabar itu diteruskan ke pihak keluarga, Gubernur, dan Kanwil Depag Kal-Sel pada 28 Oktober - atau dua bulan lebih setelah ia dikebumikan atau seharusnya pulang ke Surabaya. Selain itu perusahaan penerbangan Garuda, Desember, mengirim santunan pada keluarga Rohani Rp 200 ribu plus Rp 15 ribu, melalui Depag. "Uang itu kami kirimkan agar keluarganya tabah," kata Suparno. Di persidangan akhir bulan lalu, Hakim H. Muhammad Djamil, yang mengadili perkara itu, menyodorkan titipan tergugat, uang santunan Rp 215 ribu itu. "Tapi uang itu saya tolak, sebab saya belum tahu pasti status istri saya," ujar M. Daud.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus