ORGANISASI Palang Merah Indonesia (PMI) bagaikan membuang air di tempayan, karena berharap hujan dari langit. Gedung baru berlantai empat, di Jalan Gatot Subroto kaveling 96, Jakarta yang diresmikan menjadi markas besar PMI akhir 1985, seperti diduga, kini sarat dengan perkara. Februari lalu, misalnya, Mahkamah Agung menghukum PMI beserta PT Tripoda, yang membangunkan gedung itu, untuk membayar ganti rugi Rp 2,29 milyar kepada Nyonya Myrna Marina Madalena, pemilik tanah tempat gedung PMI kini berdiri. Kecuali Myrna, gedung PMI itu masih digoyang oleh dua gugatan lagi, dari orang-orang yang juga merasa pemilik tanah tersebut. Padahal, untuk mendapatkan gedung megah itu, PMI telah menyerahkan gedung lamanya, di atas tanah seluas 10.000 m2 di tempat yang lebih strategis, di Jalan Abdul Muis, Jakarta, kepada Tripoda. Musibah PMI, dirundung perkara, bermula dari rencana organisasi swasta, yang dibiayai pemerintah dan masyarakat, itu mengganti gedung tuanya di Jalan Abdul Muis tadi, karena sudah keropos. Cara yang ditempuh PMI untuk itu melalui transaksi tukar-menukar atau yang dikenal dengan istilah usang. Setelah melewati tawar-menawar, PT Tripoda memenangkan tendernya. Tanah dan gedung tua PMI itu ditukar dengan tanah seluas 3.820 m2, di Jalan Gatot Subroto itu, seharga Rp 925 juta. Selain itu Tripoda juga akan membangun gedung berlantai empat senilai Rp 1,2 milyar di atas tanah tersebut. Masih ditambah dengan deposito senilai Rp 1,2 milyar, dan beberapa buah mobil. Hingga total dana yang dikeluarkan Tripoda untuk gedung lama itu sebesar Rp 3,7 milyar. Kesepakatan PMI dan Tripoda dituangkan dalam akta perjanjian, 9 Mei 1984. Namun, yang terjadi selanjutnya tidak semulus rencana. Sementara kantor lama sudah rata dengan tanah, sambil menungggu kantor baru, Mei 1984, PMI disewakan rumah untuk kantor oleh Tripoda di Jalan Raya Pasar Minggu. Tapi, belum lama berkantor di situ, PMI diusir pemilik rumah, yang menggembok rumahnya, dengan alasan sewa kontrak belum dilunasi Trlpoda. Setelah empat kali pindah kantor, dalam waktu 3 bulan, akhirnya, setelah Mensesneg Sudharmono turun tangan, PMI bisa menumpang di lantai 9 di gedung Manggala Wana Bhakti. Pada waktu itu Sudharmono tidak lupa menyayangkan PMI yang tidak melibatkan Setneg dalam proses uilslag itu. Kendati PMI lembaga otonom, kata Sudharmono, secara administratif keuangan lembaga itu masih ditentukan Setneg. (TEMPO, Nasional, 8 September 1984). Pada Desember 1985, PMI sudah menempati gedung megah, di Jalan Gatot Subroto, yang diresmikan sendiri oleh Presiden Soeharto. Kendati berkantor mentereng, PMI belum berapas lega. Tanah yang diberikan Tripoda kepada organisasi itu tidak jelas pemiliknya dan menjadi ajang sengketa dari orang-orang yang mengaku pemiliknya kendati ketika itu sertifikat dan IMB sudah atas nama PMI. Organisasi itu, misalnya harus menghadapi gugatan dari PT Baskara Cahaya Mas dan Butar-butar. Kedua penggugat juga mengu pemilik tanah itu dengan membeli dari ahli waris pemilik, yang ternyata berbeda. Kecuali kedua pihak Hdi, Tripoda, PMI, serta Pemda DKI Jakarta, juga digugat Nyonya Myrna, yang mengaku tanah itu miliknya. Menurut Myrna, tanah 3.820 m2 itu berstatus hak milik adat dengan girik No. C 1555, atas nama Rohayah binti Kimik. Pada 17 Maret 1980, Myrna membeli tanah itu dari ahli waris Rohayah seharga Rp 135 juta. Sejak itu Myrna mengaku membayar Ipedanya, dan 25 Januari 1985, mengukuhkan jual beli itu dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Majelis hakim yang diketuai Imam Sutopo, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Oktober 1985, ternyata memenangkan pihak Myrna. Namun, di tingkat banding, putusan itu dibatalkan. Tapi pada tingkat kasasi, Myrna kembali menang. Mahkamah Agung menilai pertimbangan pengadilan banding kontradiktif. Sebab, selain menganggap tanah itu tanah adat, pengadllan banding menyatakan pula tanah tersebut tanah negara yang berasal dari hak Barat. Padahal, dari keterangan saksi lurah setempat, dan pemeriksaan di lapangan, tanah itu merupakan tanah adat, yang dibeli Myrna. Sebab itu, Mahkamah Agung menghukum PMI dan Tripoda membayar ganti rugi kepada Myrna sebesar Rp 2,29 milyar, karena harga tanah itu sekarang sekitar Rp 600 ribu/m2. "Sesuai dengan keterangan saksi-saksi, pemeriksaan setempat, dan akta jual belinya di PPAT, tanah itu milik Myrna," kata Piola Isa, ketua majelis hakim agung yang memutuskan perkara itu. Tapi HJ.R. Abubakar, pengacara pihak PMI dan Tripoda, menganggap putusan Mahkamah Agung itu tak bisa begitu saja dieksekusi. "Lho, PMI 'kan masih menghadapi dua gugatan lainnya, yang juga menyangkut kepemilikan tanah itu," kata Abubakar. Kasus itu, menurut Abubakar, termasuk lucu. Sebab, tanah itu diklaim banyak pihak, termasuk Myrna. "Mereka masing-masing menggugat PMI, tapi anehnya tak terjadi gugatan antara mereka sendiri,'? ucapnya. Selain itu, tambah Abubakar, seharusnya tak hanya PMI dan Tripoda yang dihukum membayar ganti rugi, tapi juga pihak Agraria, yang telah menerbitkan sertifikat atas nama PMI. "Kami akan mengajukan peninjauan kembali karena kaus ini belum diperiksa secara tuntas," kata pengacara itu. Sekjen PMI, Sutikno Lukitodisastro menganggap bagaimanapun tanah sengketa itu akan tetap milik PMI. Sebab, selain sertifikat tanah, IMB-nya pun atas nama PMI. Lagi pula, sambung Sutikno, dalam perjanjian antara PMI dan Tripoda ada ketentuan "bebas dari gangguan". Artinya, pihak Tripoda yang bertanggung jawab bila timbul sengketa atas tanah tersebut. Hanya saja, hingga kini, belum ada tanda-tanda PMI akan menuntut Tripoda. Sebab itu, Antawirya Djaja, pengacara Mynra, menyindir. "Ada apa sebenarnya? Kok PMI diam saja. Seharusnya 'kan menuntut Tripoda," ucapnya. Ya, ada apa, PMI? Happy S., Sidartha P., dan A. Thaha (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini