Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Supaya lahir seniman mandiri

Untuk pertama kalinya ujian akhir sekolah menengah karawitan Indonesia (SMKI) Yogyakarta terbuka untuk umum, untuk melatih para siswa agar mampu mengelola sebuah pertunjukan. Penontonnya membayar sukarela.

12 Maret 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH lakon Wahyu Cokroningrat dipergelarkan oleh Djasminto, 19 ta3 hun, Rabu malam pekan lalu. Pentas wayang kulit yang dilangsungkan di kompleks Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Yogya ini, walau dibanjiri penonton, punya arti lain. Terutama bagi ki dalang remaja itu. Siswa SMKI ini sedang menghadapi ujian akhir, dan guru pengujinya berbaur di tenah penonton. Keunikan yang lain, pentas ini bukan semalam suntuk. Perebutan wahyu (bisa diartikan takhta) oleh tiga kesatria ini dipergelarkan hanya satu setengah jam. Toh pertunjukan cukup memikat, dan juga memancing tawa. Sabetan Djasminto dalam memainkan tokoh Bima, misalnya, mirip kungfu atau tinju. Menurut seorang guru penguji yang duduk bersila di belakang gamelan, gaya Dlasminto itu memberi warna segar. "Sebuah kreasi baru yang patut dihargai,"katanya. Djasminto itu memang anak seorang dalang dan pernah mendalang di depan umum ketika masih duduk di kelas V SD. Karena itu, sabetan dan ontowacono-nya tergolong baik. Jika ada yang disayangkan dari pergelaran singkat ini, itu adalah pendukung pementasannya. Mereka adalah siswasiswi kelas II dan III SMKI - adik kelas Djasminto. Para niyaga dan pesinden ini tidak diuji, tetapi bagaimana Djasminto membina adik k*asnya untuk mengiringi pementasan itu termasuk dinilai. Djasminto sendiri sebenarnya sempat grogi. Kendatipun telah berlatih intensif selama 2 bulan, toh di depan para guru penguji ia "demam panggung" juga. "Terus terang, saya baru tambah percaya diri setelah temanteman menabuh gamelan dengan semangat," katanya. Belum diketahui hasilnya apakah Djasminto bisa lulus dari SMKI dengan pergelarannya ini. Yang beruntung dengan sistem ujian baru SMKI Yogya ini memang masyarakat sekitarnya. Ujian itu berlangsung seminggu, dari 29 Februari sampai 5 Maret. Dan tak cuma ujian mendalang. Ada 87 siswa yang mengikuti ujian, 5 siswa dari Jurusan Dalang, 61 siswa Jurusan Tari, dan 21 Jurusan Karawitan. Untuk Jurusan Tari dan Jurusan Karawitan ujian bisa dilakukan per kelompok. Tahun-tahun lalu, ujian praktek seperti ini sebenarnya sudah ada. Tapi dalam forum kecil, misalnya, di dalam kelas. Kali ini dipilih pementasan yang melibatkan penonton dan ditarik bayaran walau sifatnya sukarela. Di depan pintu gerbang sekolah itu ditaruh celengan berbentuk kendi, dijaga siswi berkain kebaya. Setiap pengunjung yang datang diminta kerelaannya mencemplungkan recehan, sesuka hati. Dari pergelaran Djasminto itu,, misalnya, terkumpul sekitar Rp 10 ribu, terdiri atas logam seratusan dan lima puluhan. Ini tak ada maksud mengomersialkan ujian akhir siswa SMKI - sekolah yang jenjang pendidikannya empat tahun itu. Menurut Kepala SMKI, Supardjan, pihaknya mencoba melatih para siswa agar mampu mengelola sebuah pertunjukan. "Alangkah idealnya jika seorang seniman juga mampu mengelola pertunjukannya sendiri," kata Supardjan. Sebab itu, semua urusan manajerial pergelaran ini ditangani sepenuhnya oleh siswa. Ini dimaksudkan agar siswa belajar mandiri. Menurut Soenartomo, ketua panitia ujian praktek yang juga ketua Jurusan Seni Tari SMKI, ujian praktek begini merupakan terobosan baru guna membuktikan bahwa sekolah kejuruan di bidang seni mampu bertindak mandiri. "Kalau usaha itu nanti berhasil, kami akan mentradisikan dengan berbagai peningkatan, ya mengarah ke komersial," katanya. Ujian sistem baru ini, menurut Soenartomo, juga membuat siswa lebih semangat berlatih dan belajar, dibandingkan ujian sebelumnya yang hanya ditonton oleh teman sendiri. Juga, membuat siswa lebih matang sebelum terjun ke masyarakat. Bahkan Jurusan Tari SMKI pernah menggalang kerja sama dengan sebuah biro wisata, untuk pergelaran tari di Ndalem Pujokusuman, untuk konsumsi turis asing. Setiap siswa mendapat imbalan Rp 2.000,00 untuk sekali pentas. "Cukup kecil, memang. Menjual tiket pertunjukan tari susahnya bukan main," kata Soenartomo. Ia mengaku iri bila melihat para bintang film, penyanyi, dan seniman pop lainnya yang hidup serba gemerlapan. Karena itulah SMKI Yogya saat ini memacu siswanya untuk lebih profesional, baik dalam masalah mutu maupun mengelola sebuah pertunjukan. Soenartomo kemudian menunjuk kelemahan grup tradisional seperti Wayang Orang Sriwedari Solo atau Ngesti Pandowo Semarang, yang kehidupannya semakin menyedihkan, karena senimannya tak mandiri. "Pokoknya, tamatan SMKI diharapkan terjun ke masyarakat dengan bekal profesional dan mandiri itu," kata Supardjan, kepala sekolah itu. Tujuan SMKI memang seperti itulah, melahirkan seniman yang bukan saja menguasai bidang kesenian, tetapi bisa mengelola produk keseniannya. Lulusan SMKI tidak diarahkan menjadi guru kesenian, "karena untuk menjadi guru kesenian itu wadahnya Institut Seni Indonesia," kata Soenartomo. Di seluruh Indonesia ada 7 SMKI, masing-masing di Ujungpandang, Padangpanjang, Bandung, Denpasar, Solo, Surabaya, dan Yogya. Sebelum 1974, sekolah ini bernama macam-macam, yang di Yogya itu, misalnya, namanya Konri (Konservatori Tari) dan sudah berdiri tahun 1961, di Denpasar bernama Kokar (Konservatori Karawitan). Semua sekolah ini tadinya berada di bawah Ditjen Kebudayaan Departemen P dan K. Tahun 1974, sekolah kesenian ini dialihkan ke Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen P dan K, namanya pun diseragamkan menjadi SMKI. Lama pendidikan empat tahun dan jurusan yang ada tergantung daerah keber adaannya. SMKI Yogya, yang kini Dunva sekitar 400 siswa, sebenarnya punya 4 jurusan. Tapijurusan teater baru dibuka 1986, dan tentu saja belum pernah ujian akhir. Sementara itu sekolahnya sendiri berada satu kompleks dengan Sekolah Menengah Musik (SMM) dan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) yang oleh masyarakat Yogya, untuk gampangnya, kompleks ini disebut Sekolah Menengah Kesenian. Agus Basri dan Aries Margono (Yogya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus