RASA puas merupakan tuntutan naluriah manusia. Ketika karyawan tak puas dalam bekerja, akibatnya bisa tidak menguntungkan bagi kedua pihak: perusahaan dan karyawan itu sendiri. Hubungan antara tingkat terpenuhinya kebutuhan fisik minimal dan produktivitas kerja di Provinsi Jawa Tengah dan Sumatera Utara ini diteliti oleh Tim ~Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH). Kemudian hasil tersebut diseminarkan di Jakarta, akhir November lalu. Dari penelitian itu, mencuat ragam akibat dari ketidakpuasan dalam kerja. Misalnya, me~imbulkan perilaku agresif, atau sebaliknya, senang membolos atau berhenti dari perusahaan. Atau bahkan menunjukkan sikap menarik diri dari lingkun~gan sosial. Akibat ketidakpuasan pada diri karyawan berpengaruh secara fisik maupun psikologis. Mata rantainya: produktivitas kerja merosot. Penelitian di dua provinsi tadi menggabungkan aspek psikologis dan aspek medis, melibatkan 600 karyawan dari jenis pekerjaan terampil dan jenis pekerjaan fisik. Yakni, karyawan tiga percetakan buku di Medan, satu pabrik rokok di Surakarta, satu perusahaan batu bata di Tanjungmorawa, Sumatera Utara, dan satu perusahaan pembuatan genting di Klaten, Jawa Tengah. Berlangsung sejak November 1989 hingga April 1990, proyek ini digarap oleh Prof.Dr. Sri Mulyani Martaniah (dekan Fakultas Psikologi UGM), Drs. Rasimin B.S. (dosen Fakultas Psikologi UGM), Dr. Achmad Watik Pratiknya ~(dosen Fakultas Kedokteran UGM) dan dr. Adi Heru Sutomo (dosen Fakultas Kedokteran UGM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja yang rendah pada karyawan muda usia timbul karena harapan mereka yang muluk dari bidang kerja mereka. Kepuasan kerja relatif meningkat pada awal masa~ kerjanya, kemudian melorot pada tahun kelima atau kedelapan. Tapi, untuk tahun-tahun berikutnya, grafik bakal menaik lagi. Berdasar jenis kelamin, te~rdapat beda kepuasan kerja antara pria dan wanita. Wanita tak lebih puas terhadap situasi kerja secara keseluruhan, kesempatan untuk promosi, pengawasan dari teman sekerja. Tapi wanita puas terhadap gajinya dibanding pria. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karyawan penjilid buku dan pelinting rokok, yang memiliki tingkat kepuasan kerja dan motif berprestasi, memiliki tingkat kesehatan yang relatif baik. Indikatornya, kadar hemoglobin (Hb) mereka normal. Inilah yang tidak terdapat pada karyawan pencetak batu bata, di mana tingkat kepuasan kerja rendah. Sebagian pekerja menderita anemia (kekurangan darah). Di kalangan jenis pekerjaan terampil, masalah kepuasan kerja umumnya lebih tinggi dari kalangan kerja kasar. Penyebabnya adalah suasana yang berbeda pada dua jenis pekerjaan itu. Cuma anehnya, besar imbalan tak mempengaruhi faktor psikologis. Yang juga "aneh" adalah karyawan pengidap anemia justru peduli pada motivasi berprestasi. Dari segi kualitas fisik, diketahui bahwa terdapat perbedaan status gizi pada empat jenis pekerjaan itu. Yang anemia di antara karyawan jumlahnya 23-36~%. Perbedaan yang bervariasi mengenai kadar hemoglobin darah dan frekuensi anemia serta besar indeks berat dan tinggi badan antar-karyawan tersebut bisa dimaklumi, karena umumnya mereka bekerja tidak atas dasar seleksi, tapi lantaran tuntutan kebutuhan ekonomi. Mengenai masukan kalori, karyawan dari jenis pekerjaan kasar lebih banyak mengkonsumsinya dibanding karyawan dengan jenis pekerjaan terampil. Maklum, jenis pekerjaan kasar kan lebih membutuhkan kalori. Dengan kata lain, masukan kalori merupakan akibat dari jenis pekerjaan. Sedangkan tentang masukan protein, ternyata karyawan dari daerah Sumatera Utara lebih banyak mengkonsumsinya ketimbang karyawan di Jawa Tengah. Jadi, tingkat produktivitas kerja juga dipengaruhi oleh kualitas fisik karyawan. Namun, hal yang menarik ialah, indeks berat-tinggi badan hanya berpengaruh pada karyawan dengan jenis pekerjaan kasar. Sedang pada karyawan jenis pekerjaan terampil, indeks tersebut tidak ada membawa pengaruh. Akan halnya pada pekerjaan penjilid buku, pengaruh kualitas fisik, masukan makanan, dan faktor psikologis hanya terlihat pada pekerja wanita. Sebaliknya di pabrik batu bata, faktor yang sama hanya terlihat pada pekerja pria. Lain halnya dengan di pabrik genting, pengaruh faktor yang disebut tadi ada pada keduanya, ya pria, ya wanita. Jadi, tingkat kualitas fisik juga mempengaruhi produktivitas kerja. Sehingga, dalam upaya peningkatan produktivitas kerja, prioritas pertama adalah memperbaiki gizi karyawan. Dan jika perusahaan mengharapkan produktivitas kerja yang tinggi dari karyawan, pihak perusahaan perlu menciptakan suasana kerja yang menyenangkan. Sebab, dari suasana yang nyaman itulah dapat didongkrak tingkat produktivitas kerja secara bergairah. Ed Zo~elverdi (Jakarta) dan R. Fadjri (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini