Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Konflik dalam keragaman nilai

Toleransi sebagai jembatan dalam berbagai sektor kehidupan. pemerintah belum konsisten dalam memberlakukan standar nilai dalam pelarangan kesenian. demi kepentingan moralitas plato mengorbankan kesenian.

15 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POSISI netral tidak dikenal dalam keragaman nilai. Yang ~senantiasa timbul adalah posisi berpihak. Pendukung~ sebuah sistem atau perangkat nilai selalu akan memenangkan nilai yang dipegangnya. Seandainya toleransi tidak dibentangkan untuk menjembatani nilai-nilai yang ada, berbagai kasus konfrontatif tampaknya tidak akan terelakkan. Tendensi seperti ini berlaku untuk semua sektor kehidupan. Karena itu, toleransi yang merupakan jembatan diperlukan dalam kehidupan agama, politik, ekonomi, sosial? dan budaya. Kendatipun suatu bangsa telah memiliki asas bersama, keragaman perangkat nilai tetap tidak akan terhapuskan. Apalagi semua pihak dapat merujuk kepada asas bersama untuk memenangkan nilai yang dianutnya. Namun, harus diakui, nilai yang dipegang the ruling elite selalu memiliki legitimasi yang membuatnya lebih menentukan. Pihak yang dikalahkan biasanya tidak berdaya dan terpaksa menerima kenyataan ini. Itulah yang dihadapi Rendra dan Riantiarno (Teater Koma) dalam dunia kesenian kita saat ini. Pihak berwenang menetapkan standar nilai sendiri untuk "memojokkan" kedua seniman ternama itu. Larangan terhadap pembacaan dua puisi Rendra dan pementasan drama Opera Kecoa sah dan sudah berlaku. Cuma, tidak konsistennya pihak berwenang dalam memberlakukan standar nilai yang dipegangnya membuat banyak kalangan meragukan kredibilitas perangkat nilai yang digunakan. Kalau masyarakat bingung, khususnya budayawan dan seniman, rasanya dapat dimaklumi, karena selama ini tidak pernah diketahui perangkat nilai yang tidak boleh dilanggar atau harus diterima dengan toleransi itu. Andai kata standar nilai yang harus dihormati itu jelas dan memiliki "kekuatan" untuk memelihara harmoni, mungkin tidak akan ada pihak yang akan keluar dari pakem yang telah disepakati itu. Kalaupun ada pihak yang ingin menyerempet bahaya, ia akan melakukannya secara subtil. Sejak masa lampau, kesenian memang tidak selamanya menapak di jalan yang mulus. Kejutan bisa terjadi tanpa diharapkan. Siapa menduga, Plato pun mau mengorbankan kesenian. Sebagai kampiun utama di Barat, yang mengumandangkan pandangan moralistis terhadap kesenian, ia membenarkan larangan terhadap hasil seni yang memberi pengaruh buruk. Plato sendiri sebenarnya mengagumi para penyair. Bahkan, ia sendiri pun dapat dianggap sebagai penyair. Namun, ia berpendapat, banyak karya seni - termasuk beberapa bagian karya Homer - memberi pengaruh buruk terhadap kaum muda, karena itu harus dilarang. Sikap mengagetkan ini jangan buru-buru ditanggapi secara negatif. Ini sebaiknya dilihat dari obsesi Plato tentang sebuah negara ideal seperti yang dituangnya dalam dialognya yang terkenal, The Republic dan Laws. Sebagai moralis, Plato memegang prinsip semua tulisan yang memojokkan atau mempertanyakan Tuhan, kalimat-kalimat yang terlalu menonjolkan nafsu seksual secara berlebihan (semua yang dalam istilah sekarang pornografis), bahkan lirik lagu yang mengganggu ketenangan jiwa atau perasaan harus dilarang. Menurut Plato, semua larangan itu diberlakukan dalam konteks "menyucikan" jiwa orang-orang yang akan menjadi anggota dewan penguasa negara. Pengaruh kesenian yang jahat terhadap kaum muda dalam tahun-tahun pembentukan jiwa mereka, menurut Plato, harus dihindari demi kepentingan moralitas. Sebuah negara ideal, menurut peletak dasar filosofis kebudayaan Barat ini, baru akan tercipta kalau para anggota dewan penguasa terdiri dari orang-orang yang bersih dari pengaruh buruk itu. Cuma, karena ini hanya sebuah obsesi dan Plato tidak pernah menjadi penguasa, keinginan itu tak pernah terwujud. Namun, perangkat nilai yang dipegangnya jelas dan dianutnya secara fanatik. Ini terungkap lagi dalam dialognya Ion dan Phaedrus yang sama sekali tidak menyinggung negara ideal. Dalam kedua dialog itu, ia menyanjung kesenian (yang baik) dan menyebut para seniman sebagai orang-orang yang memiliki sifat-sifat ketuhanan. Tapi, bila terjadi konflik antara kesenian dan moralitas, kesenianlah yang harus dikorbankan. Sikap ini selaras dengan prinsip yang dianut para pendukung pandangan moralistis yang menganggap bahwa fungsi utama atau fungsi ekslusif kesenian adalah pelayan moralitas. Tapi jelas, bukan itu yang menjadi tempat berpijak pemerintah kolonial Inggris ketika melarang pementasan drama Nildarpan produksi Teater Nasional India yang didirikan Girish Chandra Ghosh tahun 1872. Kelompok drama profesional Benggali yang pertama ini dibungkam karena dianggap pemerintah Inggris melontarkan hasutan, di samping menampilkan adegan mengerikan tentang kebrutalan Inggris. Tapi, tindakan pemerintah kolonial Inggris itu sama sekali tidak mematahkan semangat orang-orang teater di sana. Sejak itu pula, para pekerja teater di India mengubah taktik dan hanya menyuguhkan drama-drama bertema sejarah dan mitologi dengan sim~olisme terselubung yang jelas dipahami masyarakat. Dengan cara seperti itu, rakyat India tetap dapat menikmati kisah kepahlawanan para pejuang mereka menghadapi opresor Inggris. Kesenian Indonesia tidak pernah memaklumkan dirinya sebagai pelayan moralitas, dan simbolisme terselubung - dengan berlatar belakang sejarah dan mitologi - rasanya tidak diperlukan teater atau dunia sastra kita di negara yang merdeka ini. Kalau begitu, bagaimana karya kesenian kita harus disumbangkan kepada masyarakat? Kesamaan bahasa atau kesepakatan perangkat nilai tampaknya kita perlukan, agar tidak ada pihak yang merasa legitimasi untuk menentukan apa yang diperlukan bangsa ini berada di tangannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus