MENCARI tambahan penghasilan boleh saja, asal tidak kejeblos dalam lubang celaka. Inilah yang dilakukan Mohammad Maksum. Impitan ekonomi agaknya membuat bapak dua anak itu nekat menggadaikan 101 mobil yang disewanya. Ulah itu membuat pegawai Departemen Transmigrasi yang bergaji Rp 124 ribu sebulan ini meringkuk di sel Polres Jakarta Timur, sejak dua pekan silam. Gali lubang itu tak diperkirakan memerosokkan dirinya dalam perkara. Menurut cerita sarjana Administrasi Negara lulusan Universitas Terbuka ini, Agustus tahun lalu, ia menyewa sebuah mobil dengan Rp 1,5 juta per bulan. Mobil dari rent a car itu kemudian diobyekkan untuk mendapat tambahan penghasilan. Namun, upaya cari rezeki sampingan ini mengalami buntung. Mobil yang kemudian dikaryakan itu tidak memberi untung. "Setorannya yang dapat sebulan Rp 550 ribu," kata Maksum kepada TEMPO di Polres Jakarta Timur. Kerugian ini tak membuat langkahnya surut. Ia kemudian menyewa lagi satu mobil. Sial. Mobil kedua itu tabrakan sehingga pegawai golongan IIB ini terpaksa menanggung semua ongkos perbaikannya. Setelah macet mengaryakan mobil pertama dan kedua, pria kurus itu memilih jalan nekat. "Saya akhirnya punya ide untuk menggadaikan mobil berikutnya agar kembali modal," kata lelaki berusia 32 tahun ini. Langkah pertama, untuk sepuluh unit mobil, penerima gadai diberi surat kuasa palsu, yang menyebutkan seolah-olah pemilik menguasakan agar mobil itu digadaikan. Penerima gadai mendapat STNK, kunci mobil, dan ditambah surat perjanjian yang berisi: jika lewat dari tiga bulan ia tidak mampu membayar uang gadai, BPKB dari mobil bersangkutan diserahkannya. Hingga berjalan setahun, Maksum mengaku tidak mendapat untung dari gali lubang tutup lubang ini. Harga gadai yang diminta Maksum sekitar 1/3 dari harga mobil. Dengan modal uang gadai, Maksum kemudian menyewa lagi sejumlah mobil baru, hingga 101 mobil dari berbagai merek. Kendaraan itu terdiri dari Kijang dan sedan keluaran tahun 1990 ke atas. Mobil-mobil yang disewanya dari delapan tempat penyewaan di Jakarta itu kemudian digadaikannya lagi pada puluhan tempat gadai swasta. "Dari usaha itu saya malah harus membayar bunga kepada penerima gadai sebulannya 7-15 persen," katanya. Belum lagi ia harus membayar komisi untuk para calo. Permainan itu tentu membuat Maksum menjerat lehernya sendiri. Ia harus membayar sewa mobil, bunga pinjaman gadai, dan komisi perantara. Semula, semua itu diatasi dengan melakukan cara akrobat, sehingga pihak penyewaan mobil tak curiga karena sewanya dibayar lancar. Begitu juga penerima gadai, selain mendapatkan bunga pinjaman, mereka bisa pula menikmati mobil yang rata-rata gres, seperti Twin Cam, Grand Civic, Lancer, dan Classy. Awalnya, staf di Direktorat Jenderal Penyiapan Pemukiman ini mengira usaha sambilannya itu aman saja. Belakangan baru ia terperosok. Konon, setelah seorang istri pejabat tinggi melaporkan ulahnya ke Departemen Transmigrasi. Karena belangnya tersibak, Maksum ditahan di Kodim Jakarta Timur, kemudian kasusnya diserahkan kepada polisi. Selain Maksum, menurut sumber di Polres Jakarta Timur, ada tujuh tersangka lain, yaitu perantara yang menjadi kaki tangan Maksum dalam berburu tempat gadai swasta. Mereka kini wajib lapor. Pihak Bella Car Rental mengaku menyewakan 11 unit mobil kepada Maksum. Hingga ia ditangkap, kekurangan sewa mobil yang belum dibayarnya lebih dari Rp 16 juta. Sementara itu, Jaya Murni Car Rental mengaku 17 unit mobilnya disewa Maksum. Hingga pekan silam, polisi telah menarik 41 mobil dari 102 mobil yang ada di tangan pegadai perorangan. Beberapa pihak penerima gadai mempercayai janji Maksum, antara lain, karena pembayaran bunganya lancar, dan ia selalu mengaitkan dengan instansinya. Dan ketika mereka minta BPKB, Maksum selalu menunda penyerahannya, dengan alasan, "takut disalah gunakan" pihak penerima gadai. Ada pula yang mempercayai Maksum, karena ia teman sekantor. Namun, siapa sebenarnya yang menjadi korban? Pihak penyewaan jelas rugi, karena mobil mereka kini jadi urusan di kantor polisi. Sebagian lagi malah belum dikembalikan oleh penerima gadai. Penerima gadai selain menjadi korban, menurut polisi, mereka bisa pula sebagai tersangka. "Apalagi kalau memenuhi syarat sebagai penadah," kata seorang polisi. Maksum mengaku memang sudah kadung basah: ia sudah tak sanggup jika diminta bertanggung jawab untuk melunasinya. "Saya siap pasang badan dan rela dihukum," katanya. Ia mengaku bekerja sendiri, tanpa berkomplot. "Dan dalam memilih perantara, saya cuma meminta tolong pada sesama rekan," katanya. Menurut Letnan Kolonel Susmono Soesilo, kasus ini tergolong white collar crime dan modusnya termasuk baru. Si pelaku, katanya, dengan sadar menggunakan keahlian manajemennya dengan baik. "Buktinya, ia mampu membuat surat kuasa palsu," kata Kapolres Jakarta Timur itu. Gatot Triyanto dan Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini