USAHA leasing atau sewa guna, yang sudah 14 tahun beroperasi di sini akhir-akhir ini sering menimbulkan sengketa antara pemberi leasing dan penerimanya. Persoalannya, jika penerima (lessee) tak bisa melunasi pinjamannya, tak ada jaminan hukum bahwa si pemberi (lessor) bisa mengambil barangnya kembali, apalagi sekaligus menjatuhkan sanksi. Sebab, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tak mengenal istilah sewa guna itu. Akibatnya, pada beberapa sengketa leasing yang diperkarakan ke pengadilan, penyelesaiannya terasa tak tuntas. Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, misalnya, pernah terjadi sengketa antara PT Pamor Cipta Inti Leasing Jakarta dengan CV Grapel, pihak pembeli, dan, PT Baginda Putra, pihak penjamin. Pada Juni 1984, CV Grapel -- dengan jaminan PT Baginda Putra -- membeli secara leasing satu set mesin cetak seharga Rp 171 juta dari PT Pamor. Dalam perjanjian, disepakati bahwa CV Grapel akan membayar sewa Rp 6 juta per bulan dalam jangka waktu 3 tahun. Sementara itu, PT Baginda Putra sepakat akan membeli mesin itu kembali jika lessee ingkar janji. Ternyata, tiga bulan kemudian Grapel menunggak pembayaran sewa. PT Baginda, selaku penjamin, lepas tangan. Karena menemui jalan buntu, PT Pamor menggugat kedua perusahaan itu ke pengadilan. Baik di pengadilan negeri maupun di pengadilan banding PT Pamor menang. Tapi sengketa belum selesai, karena kedua tergugat kini melanjutkan perkara ke tingkat kasasi. Hanya saja, pihak PT Pamor, pada Oktober 1984, berhasil menarik kembali mesin-mesin tersebut. "Bagaimanapun juga, dengan berjalannya waktu, Pamor menanggung kerugian akibat penyusutan nilai ekonomi barang itu," kata pengacara PT Pamor, Amir Syamsuddin. Tapi Direktur CV Grapel, Sunaryo Djohan, membantah kelalaian pihaknya dengan PT Pamor itu. Bagaimana perkara persisnya, Sunaryo hanya berkata, "Masalah itu sudah kami limpahkan sepenuhnya kepada pengacara kami, Wiranata." Kerugian PT Pamor dalam kasus di atas masih lebih kecil dibanding yang dialami dengan PT Inti Jaya Utama. Seperti juga CV Grapel, PT Inti Jaya membeli mesin cetak secara leasing dari Pamor. Belakangan pembayaran dari Inti Jaya macet. Sengketa berlanjut ke pengadilan. Kendati sudah pernah ada perintah eksekusi dari pengadilan, sampai kini PT Pamor tak bisa menagih PT Inti Jaya? dan tak pula menerima kembali barangnya. Agaknya, pihak lessor tetap akan dirugikan iika pihak lessee meningkari janjinya. Satu-satunya usaha yang bisa ditempuh lessor hanyalah melalui gugatan biasa di pengadilan. Tapi upaya itu, selain memakan waktu biaya, dan tenaga, juga tak bisa menjamin bahwa lessor akan terhindar dari kerugian. "Beberapa lessee malah menunggu digugat lessor. Sebab, selama perkara diproses, barang modal tetap berada di tangannya, dan terus dimanfaatkan tanpa perlu membayar cicilannya," tutur Amir Syamsuddin. Ketimpangan bisnis sewa guna itu memang akhirnya bersumber pada tiadanya undang-undang khusus yang mengatur masalah itu. Sebab itu, dalam transaksinya, perusahaan leasing hanya melakukan kontrak biasa, yang bila terjadi sengketa harus melalui gugatan perdata di pengadilan. "Kontrak begitu tak punya kekuatan eksekutorial -- tak bisa langsung dieksekusi," kata Amir Syamsuddin. Seharusnya, kata Amir, kontrak leasing itu bisa disejajarkan dengan hipotek atau pengakuan utang, yang eksekusinya bisa langsung dilaksanakan pengadilan, tanpa harus melalui proses gugatan perdata. Pendapat Amir ini tak sepenuhnya disetujui ahli hukum leasing Komar Andasasmita. Menurut Komar, penyelesaian sengketa dalam kasus leasing tak perlu menunggu undang-undang khusus. Dengan kontrak biasa, katanya, pihak lessor bisa diselamatkan. Untuk mencegah pihak pembeli melakukan cedera janji, perlu dibuat akta khusus. "Dalam akta itu harus juga dibuat sanksi-sanksi bila pihak pembeli ingkar janji," kata dosen FH Unpad Bandung itu. Ketua Umum Asosiasi Leasing Indonesia, Tjiptono Darmadji, sependapat bahwa perjanjian ledsing yang menganut asas kebebasan berkontrak, sudah merupakan dasar hukum yang mengikat, baik bagi lessor maupun lessee. Agar penyelesaian bisa cepat, menurut Tjiptono, sebaiknya dalam kontrak disepakati bahwa perkara akan diselesaikan melalui lembaga arbitrase, bila timbul sengketa. Resep yang lebih ampuh, agar pemsahaan leasing tidak dipecundangi langganannya, kata Tjiptono, adalah melakukan upaya pencegahan. Untuk itu, perusahaan leasing perlu lebih teliti menilai bonafiditas lessee yang akan memperoleh fasilitas leasing. Kendati begitu, Tjiptono tetap menganggap undang-undang leasing sudah saatnya dilahirkan. Hanya dengan undang-undang khusus seperti itu aturan mam bisnis sewa guna itu bisa diperjelas dan diseragamkan. Sebab, jumlah lessor, yang pada 1975 baru ada 3 dengan kekayaan di atas Rp 4,3 juta, pada 1986 meningkat menjadi 83 buah, dengan kekayaan Rp 1 trilyun dan nilai leasing mencapai Rp 613 milyar. Ketua Tim RUU Leasing, Dr. R. Santoso Poedjosoebroto, membenarkan bahwa perjanjian leasing selama ini mengandung banyak kelemahan. Sebab itu, perlu undangundang khusus, yang kini RUU-nya hampir rampung, untuk mengatasi persoalan tersebut. "Undang-undang itu setidaknya akan mengatur hak dan kewajiban lessor dan lessee secara terinci," ujar Santoso Poedjosoebroto kepada TEMPO melalui telepon internasional dari New York. Insya Allah. Hp.S., Sidartha Pratidina (Jakarta), dan Riza Sofyat (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini