Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mengkaji wibawa bani

Badan arbitrase nasional indonesia (bani), kadin & altri mengadakan seminar lembaga arbitrase di jakarta. sikap pengadilan tak konsisten terhadap lembaga ini, para pengusaha tak berminat menggunakan bani.

26 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERADILAN "swasta" atau lembaga Jarbitrase (perwasitan), yang sejak 11 tahun lalu diorganisasikan dengan nama Badan Arbitrase Nasional Indonesia, ternyata sampai kini belum memasyarakat di kalangan pengusaha. Padahal, penyelesaian sengketa melalui lembaga wasit atau arbiter, yang orang-orangnya ditentukan kedua pihak, bisa lebih cepat dan murah, tanpa harus berbelit-belit melalui upaya peradilan. Hal itu terungkap dalam seminar sehari "Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Arbitrase" yang diselenggarakan Akademi Litigasi Indonesia Triguna (Altri), Kamar Dagang dan Industri (Kadin), serta Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Rabu pekan lalu. Dalam seminar di Hotel Hilton Jakarta, yang dihadiri sekitar 200 orang peserta, tampak pula pakar hukum perdata seperti Prof. Soebekti, Ketua Muda Mahkamah Agung (MA) Prof. Asikin Kusumaatmadja, dan Harjono Tjitrosoebono. Di seminar itu terungkap bahwa sejak didirikan Kadin pada 18 Februari 1977, hingga kini BANI baru menangani 30 perkara bisnis. Bahkan, menurut seorang pembahas, Prof. Mariam Darus Badrulzaman, kantor cabang BANI di Medan sampai kini belum pernah menangani perkara. Kalaupun ada pengusaha yang datang, katanya, baru sekadar konsultasi. Wakil Ketua Kadin, A. Baramuli, menganggap kurangnya minat para pengusaha menggunakan jasa BANI karena mereka masih menyangsikan kekuatan putusan lembaga tersebut. Artinya, sikap mereka masih konvensional pada putusan pengadilan, yang punya daya paksa dan sanksi. Padahal, "Secara materiil, kekuatan hukum putusan arbiter sama efektifnya dengan putusan pengadilan," kata Baramuli. Sikap pengusaha terhadap BAN selama ini bukan hanya sekadar tak paham dan tak percaya, tapi juga ada yang tak mengakui keputusan lembaga itu. Contohnya, dalam sengketa bagi-hasil keuntungan antara Nyonya Ketty dan Syarwi Winata. Kendati telah diputus BANI Oktober 1987, pihak yang kalah, Syarwi, melalui Pengacara Denny Kailimang, mengajukan perlawanan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Syarwi menilai putusan BANI itu, selain telah melampaui batas-batas persetujuannya, juga melebihi apa yang dituntut pihak Ketty. Menurut Prof. Soebekti, yang menjadi pemrasaran utama dalam seminar itu, salah satu pihak bertikai memang bisa mengajukan banding ke MA atau perlawanan atas putusan arbitrase, jika putusan arbitrase itu cacat. Misalnya telak melampaui batas-batas persetujuan, atau melebihi apa yang dituntut. Tak hanya soal-soal di atas yang membuat BANI tak populer di kalangan pengusaha. Menurut Prof. Mariam, penyebab lainnya adalah sikap pengadilan terhadap eksistensi lembaga arbitrase yang tidak konsisten. Seharusnya, katanya, pengadilan tidak menerima sengketa yang diajukan kepadanya jika sebelumnya diantara pihak yang bersengketa itu sudah disepakati akan menggunakan arbitrase bila terjadi perselisihan. Contohnya dalam sengketa jual-beli enam buah traktor antara PT United Tractor (UT) dan S.M. Pardede. Pengadilan Negri Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, tetap saja mengadili perkara itu kendati pihak UT, yang diwakili O.C. Kaligis, telah mengeksepsi bahwa kasus itu, sesuai dengan perjanjian, adalah wewenang BANI. Pengadilan Negeri Pangkalan Bun bahkan memutuskan pihak UT bersalah. Keputusan itu belakangan dikukuhkan pula oleh pengadilan banding dan MA. "Putusan itu bisa menggoyahkan sendi-sendi hukum perjanjian dan melunturkan daya tarik lembaga arbitrase," ujar Nyonya Mariam. Ketua Muda Bidang Perdata MA Prof. Asikin Kusumaatmadja, yang juga pembawa makalah, mengakui bahwa seharusnya pengadilan tidak menerima suatu sengketa bisnis jika dalam perjanjiannya sudah ada ketentuan arbitrase. "Kecuali jika salah satu pihak menganggap arbiternya telah menyalahgunakan putusan atau menipu, asal bisa dibuktikan," kata Asikin. Ketidakpopuleran BANI, menurut O.C. Kaligis, tak hanya disebabkan faktor luar, tapi justru akibat kesalahan pihak BANI sendiri. Dalam perkara UT di atas, sebenarnya Pardede pernah mengajukan sengketa itu ke BANI. Anehnya, permohonannya itu ditolak mentah-mentah oleh lembaga wasit itu dengan alasan salah satu pihak telah mengajukan perkara tersebut ke pengadilan. "Bagaimana kewibawaan BANI bisa ditegakkan kalau orang akhirnya menempuh jalur pengadilan?" ucap Kaligis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus