KEKEBALAN pengacara membela klien di pengadilan diuji lagi. Hampir 15 tahun, sejak pengacara terkenal Yap Thiam Hien diajukan ke pengadilan karena dituduh menghina dua pejabat tinggi ketika membacakan pembelaan kliennya kejadian itu belum pernah terjadi lagi. Maka, menarik kasus serupa, pekan ini, berulang. Dua pengacara, Eddy Danuwidjaja, 47 tahun, dan Djamhir Hamzah, 53 tahun, duduk sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kedua orang pengacara Ibu Kota itu dituduh Jaksa Soewoko melakukan penghinaan, pencemaran nama baik saksi Sukrisna. Mula peristiwa terjadi akhir Maret lalu, sewaktu Eddy dan Djamhir membela kliennya, Liem Tiang Beng alias Benny Halim, di pengadilan yang sama. Di pembelaan mereka ada kata-kata "nafsu serakah". Juga rangkaian kata-kata: Sukrisna sewaktu mula datang dari pantai selatan Jawa Barat ke Karet Kuningan hanya dengan celana kolor dan kaus oblong, berkat asuhan dan bantuan serta dipungut mantu oleh Lim Lo, kini telah jadi milyarder. Tentu saja kata-kata itu membuat Sukrisna, 56 tahun, berang. "Itu 'kan menghina, fitnah. Tukang becak saja nggak semelarat itu," ujar Sukrisna, yang hijrah dari Bandung di tahun 50-an. Ketika pertama kali datang ke Jakarta, ia bekerja di pabrik batik. Kemudian diberi modal oleh Mendiang Lim Lo, juga dinikahkan dengan putrinya yang bernama Suryanti. Setelah Suryanti meninggal, Sukrisna berselisih dengan Benny Halim -- saudara lelaki Suryanti -- soal warisan tanah di bilangan Karet Kuningan. Buntutnya, Benny dilaporkan Sukrisna memalsu hibah tanah itu. "Mungkin Sukrisna kesal karena Benny diputus bebas (vrijspraak), lantas mengadukan kami," ujar Eddy. Dan kata-kata yang tertulis dalam pleidooi-nya merupakan fakta yang diucapkan kliennya. "Kami ungkapkan di persidangan karena ada hubungannya dengan perkara," tutur Eddy. Karena itu pula, M. Assegaf, pembela Eddy dan Djamhir, menganggap tuduhan Sukrisna tak bisa begitu saja dilimpahkan pada sang pembela. "Mereka berdiri di persidangan guna kepentingan membela kliennya," ujar M. Assegaf. Assegaf berpegang pada yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) tahun 1973, yang membebaskan (ontslag) Yap Thiam Hien. Kata-kata dalam pleidooi Yap, yang menuduh Jaksa Tinggi B.R.M. Simanjuntak dan Irjenpol Mardjaman memeras kliennya, dalam putusan MA dinyatakan bukan merupakan kejahatan maupun pelanggaran. "Putusan tersebut tegas mengakui hak dan kekebalan seorang pembela yang sedang menjalankan tugas profesinya di muka sidang," kata Assegaf, ketika membacakan eksepsinya. Selain itu, Assegaf juga menambahkan sebuah Arrest Hoge Raad (peradilan tertinggi di Belanda) 19 November 1914, yang dikutip dari buku Hukum Pidana Bagian Khusus karangan H.A.K. Moch. Anwar. Dalam buku itu Anwar berpendapat, pembelaan seorang advokat tidak dapat dianggap bermaksud menghina pihak lawan. Tapi, sejauh mana kekebalan pengacara dalam membacakan pleidooi-nya? Menurut Harjono Tjitrosoebono, yurisprudensi MA itu kuat dan berlaku. Dengan begitu, sepatutnya kedua pengacara tadi dibebaskan. "Kasus Yap dulu lebih keras dari itu," ujar Ketua Umum Ikadin itu. Lain lagi pendapat Prof. Oemar Senoadji, 71 tahun. "Perlakuan bagi pengacara tak ada bedanya dengan yang berlaku pada masyarakat," ujarnya. Yurisprudensi MA tadi tak bisa ditafsirkan sebagai kebebasan tanpa batas. "Kata-kata nafsu serakah, memakai celana kolor, dan kaus oblong, itu 'kan kasar, sudah mengandung unsur penghinaan," kata guru besar FH UI itu. Nyonya Renny Retnowati, ketua majelis hakim yang menangani perkara dua pengacara itu, menandaskan tiadanya undang-undang juga peraturan yang menyebut-nyebut soal kekebalan pengacara. Kalau berdalih guna kepentingan pembelaan, "nanti bisa seenaknya memaki-maki orang lain" kata hakim wanita itu, yang menolak eksepsi pihak pembela, Sabtu pekan lalu. Happy Sulistyadi, Sidartha Pratidina, dan A. Ulfi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini