Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menuntut Dengan Kalkulator

Surat edaran Kejaksaan Agung, meminta jaksa mengajukan tuntutan lebih berat. Banyak jaksa ragu-ragu, karena bertentangan dengan peraturan No.14/1970 (UUPKK). Jaksa Agung membantah adanya "tuntutan dari atas".(hk)

12 April 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA bulan terakhir ini para jaksa tampak lebih bengis. Hampir semua putusan Pengadilan Negeri Semarang, misalnya, selalu dibanding. Memang, putusan hakim terpaut sangat jauh dibanding tuntutan. Sedangkan penuntut umum tengah mengemban "tugas": menuntut hukuman yang tinggi - kalau tidak dua pertiga, ya, hukuman yang tertuang dalam kitab hukum pidana (KUHP). Jasiman, misalnya, yang diseret ke meja hijau dengan dakwaan melanggar pasal 480 KUHP dan diancam hukuman maksimum 4 tahun penjara. Lelaki ini dituntut hukuman 3 tahun 2 bulan atas dosanya membeli sebuah kaca spion mobil, hasil curian, seharga Rp 5.000. Namun, hakim hanya memvonis hukuman "masa percobaan" selama 3 bulan saja, bagi tukang tadah itu. Partono, seorang yang dituduh mengelapkan BPKB (Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor), hanya dihukum 6 bulan saja. Jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa yang 2 tahun 6 bulan. - Kedua jaksa itu serta merta menyatakan naik banding-. Mulai awal tahun ini semua jaksa memang diperintahkan "ganas". Di Lampung, seorang pencuri barang senilai Rp 500 dituntut tahun 8 bulan. Dan di Bogor Asep Saefudin, Djadjang Supriatna, dan Salim Jahdan dituntut hukuman seumur hidup, karena merampok Rp 3,6 juta. Pembela A.K. Rangkuti sempat mempertanyakan tuntutan jaksa itu. Apakah pengadilan bertujuan membalas dendam? Atau sang jaksa over acting? Tentu saja tidak. "Tak ada niat atau cari popularitas. Semua tuduhan dan tuntutan itu murni demi tegaknya keadilan," kata Syachrul Bachrum, dari Kejaksaan Negeri Bogor. Namun, seorang rekannya di Semarang, Jawa Tengah, terus terang mengaku memang mendapat perintah atasan untuk menuntut berat. Hal itu, menurut sebuah sumber TEMPO, didasari Surat Edaran Kejaksaan Agung yang dikeluarkan awal tahun ini, dan diedarkan secara "diam-diam" ke seluruh jajaran kejaksaan di Indonesia: meminta jaksa mengajukan tuntutan dua pertiga dari pasal yang dituduhkan. Surat edaran itu jatuhnya kurang sreg di hati para jaksa sendiri. Banyak di antara mereka, yang tak begitu setuju dengan perintah itu, terpaksa melaksanakannya. Lazimnya, tutur sumber TEMPO, jaksa menuntut berdasarkan bukti-bukti yang digali dalam sidang. Nah, dengan berlakunya surat edaran mengenai tuntutan, katanya, bukti-bukti tak begitu perlu untuk dirumuskan dalam tuntutan. "Kalau begitu, buat apa meningkatkan profesionalisme? Kalau begitu caranya, pegawai administrasi saja bisa jadi jaksa - tinggal kasih kalkulator untuk menghitung tuntutan, beres. Toh, semua sudah diatur," ujarnya ketus. Nada kontra surat edaran juga terdengar dari Lampung. Beberapa jaksa mengaku berat menjalankan perintah tersebut. "Rasanya tidak adil. Mengajukan tuntutan tinggi pada perkara kecil tidak mencerminkan rasa keadilan dan peri kemanusiaan," tutur seorang jaksa, yang tak mau dikutip namanya. Menurut dia, sebenarnya surat edaran semacam itu bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman nomor 14 tahun 1970, yang meminta penyelesaian suatu perkara dengan cara sederhana, cepat, dan biaya murah. "Kalau vonis hakim tidak memuaskan jaksa, maka akan dibanding, sehingga penyelesaian suatu perkara terpaksa makan waktu panjang dan biaya tak sedikit," tambahnya. Menanggapi suara sumbang bawahannya itu, Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung, Ign. Agus Suhadi, segera angkat bicara. Tuntutan dua pertiga dari pasal yang dituduhkan, katanya, masih terhitung wajar. "Kalau ada jaksa yang merasa sulit mempraktekkannya, berarti jaksa itu bodoh. Kenapa surat edaran itu dipersoalkan, bukan putusan hakim yang selalu rendah? Pokoknya, kejaksaan berusaha mencapai keadilan sampai batas maksimum," ujarnya dengan nada keras. Surat Edaran Jaksa Agung itu memang diperuntukkan bagi jaksa. "Yang jelas, dalam memutuskan suatu perkara, hakim harus mempertimbangkan rasa keadilan dalam masyarakat. Dia tak boleh dipengaruhi oleh siapa pun dan oleh apa pun," kata Kepala Pengadilan Negeri Telukbetung, Umartono, kepada Effendi Saat dari TEMPO. Ucapannya disambut Wakil Kepala Pengadilan Negeri Semarang, Wieke S. Kumawati, yang menyatakan bahwa tuntutan jaksa tidak punya pengaruh pada putusan hakim. "Putusan hakim harus berdasarkan keyakinan dan bukti-bukti yang muncul dalam persidangan. Jaksa boleh saja menuntut setinggi-tingginya, tapi hakim tetap akan memutus seadil-adilnya," katanya, dibumbui senyum. Seorang ahli hukum pidana, Roechimat, menambahkan bahwa kedudukan jaksa memang berbeda dengan hakim. Kejaksaan adalah satu dan tak terpisahkan - di situ bisa berlaku perintah atasan kepada bawahan. Sedangkan hakim otonom. "Menteri Kehakiman atau Ketua Mahkamah Agung tidak boleh memerintahkan seorang hakim untuk memutus suatu perkara dengan hukuman yang sudah ditetapkan dari atas," ujar bekas jaksa ini. Ia dan bekas Ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. Soebekti, membenarkan instruksi Jaksa Agung itu. Menurut Soebekti, tujuan hukuman mempunyai dua sifat: prevenci general dan prevenci special. Yang pertama, membuat umum menjadi takut untuk melanggar hukum. Kedua, agar orang yang melanggar lantas jera. "Tapi tuntutan hukuman itu mesti dilihat kasus per kasus, tidak boleh disamaratakan, dan harus dipikirkan juga segi kemasyarakatannya," sambung Prof. Dr. Oemar Senoadji, bekas Ketua Mahkamah Agung yang lain. Sebenarnya keraguan para jaksa mengenai surat edaran itu tidak perlu muncul. Jaksa Agung Hari Suharto membantah tentang adanya "tuntutan dari atas". Namun, diakui, memang ada digariskan perlunya tuntutan berat bagi kasus-kasus tertentu, umpamanya narkotik dan kriminal yang dianggap sadistis. "Ada suatu keadaan yang mengharuskan kejaksaan menaruh perhatian lebih pada kasus seperti itu. Namun, itu tidak berarti semua kasus harus dipukul rata, latar belakang dan motif suatu kejahatan tidak bisa terlepas dalam membuat tuntutan," katanya. Erlina Agus, Laporan Biro Jakarta, Yogya, Medan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus