PERSOALAN itu semua gara-gara sebuah benjolan. Benjolan itu tak hanya mengganjal leher Nyonya Mariam, tapi juga mengganjal Balai Pengobatan Panti Waluyo di Purworejo. Gagal membedah leher pasien, Dokter Yohanes Santoso, 37, kini diseret ke Pengadilan Negeri Purworejo. Ia dituduh tak bertanggung jawab dan menginjak-injak hak asasi Nyonya Mariam. Pasien itu menuntut ganti rugi Rp 17 juta. Semula, Nyonya Mariam, 60, memeriksakan benjolan di lehernya kepada dr. Yohanes Santoso. Dokter itu lantas menyatakan bahwa benjolan perlu disedot. Mariam merasa perlu minta persetujuan keluarganya. Tapi dicegah Yohanes karena, katanya, itu hanya soal kecil. Yohanes memang berhasil menyedot darah merah tua kehitaman dari benjolan di leher Mariam yang telah dibius. Kemudian dokter itu bermaksud membedahnya untuk mengangkat benjolannya. "Hanya dicutik sebentar, kok. Tidak sakit. Itu hanya operasi kecil," cerita Mariam kemudian, menirukan ucapan Yohanes. Tapi, ketika pembedahan berlangsung, "Ternyata, sakit sekali, sampai saya berteriak-teriak meskipun sudah dibius total," kata Mariam. Yohanes membius lagi setelah diketahui pasiennya masih setengah sadar. Tapi akibatnya cukup merisauan. Pihak rumah sakit buru-buru menghubungi keluarga korban. Ary Tandy, anak kedua Mariam, pun datang. Ia melihat, "Ibu tak sadarkan diri, darah berleleran di leher kirinya, dan lukanya diplester," kata Ary kepada TEMPO. Buru-buru ia mempersoalkannya pada Yohanes yang mengoperasi wanita tua di klinik bersalin itu. Sebab, katanya, setelah gagal mengangkat benjolan, "Dokter itu malah menjahitnya lagi secara acak-acakan," katanya. Itu tidak bertanggung jawab, dia menambahkan. Melihat kenyataan itu, Januari lalu, Ary mengangkut ibunya ke Yogya. Di RS Bethesda, Mariam belum sadar, dan oleh dr. Kasmolo Paulus jahitan dibuka dan dibalut kembali. "Kok jahitannya acak-acakan," komentar seorang perawat. "Itu hanya dilakukan seorang dokter bukan ahli bedah," jawab Ary. Syukur, pasien itu sembuh setelah lima hari menginap di Bethesda. Namun, Ary tetap menyesali Yohanes, yang dianggapnya tak bertanggung jawab. "Dokter Yohanes telah mempertaruhkan nyawa Ibu dengan sembrono dan gegabah," katanya. "Dia memaksa membedah Ibu dengan membius total dua kali." Dan Yohanes juga tak sedia mengganti biaya opname dan kerugian lain bagi pihak pasien. Oleh karena itu, Mariam menuduh dokter itu melanggar hak asasi, berusaha menghalanginya ketika mau minta persetujuan keluarga untuk operasi. Ia menuntut ganti rugi Rp 17 juta. Yohanes mengaku tidak bersalah. "Nyonya Mariam tidak apa-apa, kok," katanya. "Itu cuma operasi kecil, tidak harus dilakukan tim ahli bedah. Setiap dokter umum boleh melakukannya," kata dokter lulusan UGM 1974 itu. Malah peralatan yang dipakai pun cukup sederhana: pisau, pinset, gunting, jarum, dan benang. Ia mengaku berani mengambil benjolan itu karena diperkirakan letaknya dekat kulit luar. "Tapi, ternyata uci-uci itu berada di dalam sekali, dan masuk di bagian yang banyak darahnya," katanya. Menyinggung tuntutan ganti rugi, Yohanes ingin menyampaikan perlawanannya di pengadilan. "Rekan-rekan di IDI mendorong saya," katanya. Tapi, rupanya, persoalan kemudian diambil alih pihak yayasan yang mengelola balai pengobatan itu. "Berhubung pihak yayasan ingin damai, dan klien saya bersedia, sidang ditunda," kata I Handoko Tejoatmoko, pembela Mariam. Seorang dokter umum, kata sumber TEMPO di IDI Keresidenan Kedu, dibolehkan melakukan operasi kecil seperti menyunat kemaluan. "Itu tidak melanggar kode etik," katanya. Dalam hal kasus Nyonya Mariam, "Mestinya dokter itu mengirimkan pasiennya ke ahli bedah, bukannya malah menjahitnya lagi." Dan kegagalan operasi itu, jelas, "Dokter itu yang bersalah," katanya. Tentu bukan maksudnya mendahului keputusan hakim. Agus Basri, Laporan Slamet Subagyo (Purwokerto)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini