Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menyaring Calon Hakim Antikorupsi

Sebanyak 35 calon hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjalani tes wawancara mulai Jumat pekan lalu. Dua pewawancara dari luar panitia seleksi.

8 Agustus 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di ruang Wiryono Prodjodikoro, yang berada di sisi barat lantai II Gedung Mahkamah Agung, 35 calon hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjalani tes wawancara, Jumat pekan lalu. Tiap calon diberi kesempatan 45 menit untuk presentasi soal pemahaman Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, prosedur hukum acara, serta visi dan misi, di depan tim panitia seleksi.

Dari 35 calon itu, akan dipilih 14 orang untuk pengadilan tingkat pertama, 13 calon tingkat banding, dan 8 orang untuk tingkat kasasi. Menurut Sekretaris Panitia Seleksi, Soeparno, wawancara terhadap calon hakim ad hoc dilakukan bergiliran. Hari pertama bagi calon hakim pengadilan tingkat pertama. ”Esok harinya, seleksi tingkat banding dan kasasi,” ujarnya.

Jumlah 35 calon hakim itu merupakan hasil seleksi dari 132 orang pendaftar, yang dimulai sejak 3 April lalu. Mereka lolos pelbagai tahapan seleksi, yakni seleksi administrasi, tes tertulis, dan uji kajian profil (profile assessment). Wawancara yang dilakukan pada Jumat lalu merupakan seleksi tahap akhir bagi para calon.

Seleksi hakim ad hoc antikorupsi ini merupakan kali kedua yang dilakukan panitia seleksi. Pada 21 Juni tahun lalu, di ruang yang sama, panitia seleksi telah mendapat sembilan hakim ad hoc. Mereka kini bertugas di tiap-tiap tingkat Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi. Kesembilan hakim tersebut adalah Dudu Duswara, Achmad Linoh, dan I Made Hendra Kusuma (tingkat pertama); As’adi Ma’ruf, Sudiro, dan Abdurrahman Hasan (tingkat banding); dan M.S. Lumme, Hamrat Hamid, dan Krisna Harahap untuk tingkat kasasi.

Namun, agaknya, jumlah hakim ad hoc yang ada itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sidang yang cukup banyak. Majelis hakim pengadilan antikorupsi terdiri dari lima orang. Dua dari jalur karier dan tiga sisanya merupakan ”lulusan” panitia seleksi. Majelis hakim itu menyidangkan limpahan perkara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seperti kasus korupsi di KPU, kasus Gubernur Aceh, dan lainnya.

Menurut Soeparno, hakim karier untuk tingkat pertama yang jumlahnya 10 orang dinilai sudah cukup memenuhi sidang pemeriksaan perkara. Sedangkan untuk hakim ad hoc hanya tiga orang. Karena itu, kata Direktur Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung itu, perlu menambah hakim ad hoc.

Untuk seleksi hakim ad hoc kali ini, panitia memasukkan dua orang dari unsur luar ketika melakukan proses wawancara. Mereka adalah pengamat hukum Bambang Widjojanto dan Koordinator Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Asep Rahmat Fajar. “Kami ingin partisipasi masyarakat secara konkret dapat terwakili oleh dua orang ini,” ujar Soeparno.

Masuknya dua orang tersebut, menurut Soeparno, berbeda dengan panitia seleksi sebelumnya. Panitia seleksi tahap pertama memasukkan Mas Achmad Santosa dari Partnership, dan Rifqie Assegaf dari Lembaga Independen Advokasi Peradilan (LeIP), mewakili unsur masyarakat sejak panitia seleksi tahap satu berdiri. Sementara itu, pada panitia seleksi tahap dua ini, Bambang dan Asep baru masuk pada sesi akhir seleksi.

Danang Widoyoko, Wakil Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), berharap masuknya Bambang dan Asep akan dapat memberikan ”warna” dalam proses penyeleksian hakim ad hoc antikorupsi. Hanya, jauh hari Danang mengingatkan agar hasil seleksi para calon itu tercatat apa adanya. Tidak perlu dikatrol.

Soeparno dalam wawancara terpisah sepakat dengan usulan Danang dan memastikan tidak ada pengatrolan, dan akan apa adanya. Sebab, masing-masing anggota panitia seleksi memberikan nilai dan menerapkan sistem ranking. Dari hasil itu, panitia seleksi juga masih rapat menentukan siapa calon yang dinilai lulus untuk duduk sebagai hakim ad hoc. ”Kami ingin mendapatkan yang benar-benar berkualitas,” ujarnya.

Ia mengatakan, jika dari seleksi wawancara diperoleh peringkat lima terbaik, panitia seleksi masih memutuskan siapa dari lima terbaik itu. Ia menegaskan, panitia seleksi tidak akan menerapkan target. ”Jika hanya diperoleh satu atau dua hakim ad hoc, ya, mau apa lagi. Tapi diharapkan diperoleh tiga hakim untuk masing-masing tingkat peradilan,” ujarnya.

Bambang mengatakan akan berusaha memberikan kontribusi terbaik bagi panitia seleksi untuk penyeleksian hakim ad hoc antikorupsi itu. Menurut dia, dalam seleksi wawancara terhadap para calon hakim, panitia seleksi menerapkan sistem penilaian atau scoring. ”Penilaian itu termasuk soal integritas para calon, selain tiga materi wawancara tadi,” ujar mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia itu.

Sukma N. Loppies

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus