Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsitektur

Mengembalikan Cetho ke Mahameru

Candi Cetho akan dikembangkan sebagai daerah pariwisata. Para ahli khawatir pembangunan tersebut merusak situs candi.

8 Agustus 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lereng sebelah utara Gunung Lawu, bila dipandang dari Bengawan Solo, menyerupai putri yang sedang tiduran santai. Bangunan Candi Cetho dan Sukuh terletak di lekukan tubuh sang gadis. Candi Cetho, yang terletak lebih tinggi, kental dengan aura maskulin, dan Candi Sukuh begitu feminin. Keduanya berdampingan harmonis. Gunung Lawu menjadi titik sentral pembangunan candi-candi, karena dia dipandang sebagai Mahameru, gunung tempat bertakhta para dewa.

Candi adalah mandala. Para resi melakukan ritual keagamaan, memuja arwah leluhur mereka yang dianggap dewa, setara dengan dewa-dewa Hindu—ada perpaduan ritual Jawa kuno dengan Hindu di sana. Ada 14 undakan dibagi menjadi tiga bagian yang ditandai dengan tiga gerbang. Yang terdepan menggambarkan tahap kehidupan duniawi, lalu alam antara yang ada dan tiada, bagian tertinggi adalah pertemuan antara manusia dan dewata. Di puncak Candi Cetho terdapat altar batu yang luas, tempat pemujaan, tempat para resi bertemu dewata.

Ya, jauh hari, sebelum Kota Solo dibangun, di dua candi itu mengalir air amarta, air penyucian. Sendang air amarta ada di bagian Candi Cetho, dialirkan melalui balok-balok batu menuju Candi Sukuh. Candi Cetho candi yang sudah berumur: para arkeolog menaksir candi ini didirikan pada saat Majapahit menjelang bubar, abad ke-14. Ia memiliki ciri-ciri bangunan Hindu dan pra-Hindu atau Jawa kuno. Tapi pada dinding-dindingnya terpahat relief dari cerita Mahabarata.

Kini, tujuh abad berselang, bangunan candi tidak utuh lagi. Ketika ditemukan Belanda pertama kali pada awal 1950-an, undakan teratas sama sekali rusak, begitu juga di banyak tempat bangunan lainnya. Bahkan belakangan muncul masalah serius lantaran kaburnya batas-batas candi dengan dunia di sekelilingnya. Ya, batas berupa hutan, sungai, atau tetenger lain belum terdeteksi, tapi Pemerintah Kabupaten Karanganyar berencana mengembangkan candi menjadi kawasan wisata, seraya menyiapkan dana Rp 2 miliar, dan sebuah rencana. Beberapa bangunan pendukung seperti gazebo, ruang penyimpanan gamelan, dan peralatan upacara umat Hindu, serta fasilitas pariwisata lainnya, sudah dirancang.

Rencananya, semua selesai dalam lima tahun. Joko Suyanto, kepala dinas pariwisata di sana, berjanji tidak akan menyentuh bangunan inti candi. Itu, “Sepenuhnya wewenang kantor purbakala,” katanya. Apalagi Candi Cetho pernah dipermak oleh Soedjono Hoemardani, penasihat spiritual mantan presiden Soeharto, pada 1980-an. Pembangunan ini dinilai tanpa menghiraukan kaidah arkeologi. Penambahan gapura bergaya Candi Bentar, Bali, dan patung Saraswati dinilai pengamat situs purbakala, KRT Mufti Pustoko Hadinagoro, melanggar aturan. Gerbang candi juga menjadi lebih lebar, padahal seharusnya sempit, hanya cukup lebar digunakan berjalan satu orang. ”Dari undakan keenam hingga teratas, sudah diganti bahan dan bentuknya,” kata Agus Arismunandar, arkeolog, ahli candi dan maknanya, dari Universitas Indonesia (UI).

Sekarang Dinas Pariwisata sudah meminta lahan 3 hektare, tanah milik Perhutani. Lahan yang terletak di timur, selatan, dan utara candi. ”Nah, persis di sebelah utara dan timur nanti itulah akan dibangun taman yang diharapkan juga menjadi pelindung candi,” kata Joko. Begitukah? Yang jelas, persoalan semula (baca: soal batas-batas candi) kembali mengemuka. Sudarmono, sejarawan Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, berpendapat, ”Bagaimana semua bangunan itu bisa disebut di luar kompleks Candi, jika hingga saat ini belum dilakukan pemetaan situs.”

Candi bukan bangunan yang berdiri sendiri. Ia bagian dari kesatuan ekologis, mulai dari Gunung Lawu serta pertautannya dengan Candi Sukuh. ”Ini semua merupakan konsep harmoni,” kata Sudarmono, aktivis Solo Heritage Society (SHS). Di mata Mundardjito, arkeolog dari UI, pembangunan yang benar didahului kajian forensik. Kondisi di sekitar situs perlu direkonstruksi: apakah ada bengkel batu, tungku api untuk pembangunan candi pada masa itu, apa yang ada di bawah bangunan, apakah bangunan candi berlapis. ”Kajian forensik ini mirip ilmu detektif,” katanya.

Penelitian forensik bisa menentukan batas-batas itu, juga pembentukan zona-zona. Menurut Agus Arismunandar, zona satu menuntut bahan yang persis dengan aslinya. Di zona dua, bisa dibangun beberapa fasilitas penunjang seperti museum, loket tiket, dan toilet. Zona tiga bisa dimanfaatkan untuk mendukung keseluruhan situs (land use control). Di zona ini, ”Jangan sampai dibangun hotel, misalnya,” kata Mundardjito. Dengan kata lain, sebelum sampai pada asas pemanfaatan, ada dua titik yang harus dilalui: penelitian dan pemugaran.

Jalan yang ditempuh memang panjang. Dari mencari batu-batu candi, hingga merekonstruksi ”pola pikir” sang pembuat Candi Cetho pada abad ke-14. Candi Cetho dibangun di gunung, di tempat keramat waktu itu. Tantu Panggelaran, kitab Jawa kuno abad ke-15, menyatakan Gunung Mahameru dari India diterbangkan ke Pulau Jawa, karena pulau ini sangat labil. Dalam perjalanan, bongkahan Mahameru terjatuh di beberapa daerah di Jawa, menjadi gunung seperti Merbabu, Merapi, Kelud, Wilis, Lawu. Badan Mahameru menjadi Gunung Semeru, dan puncaknya adalah Gunung Penanggungan, keduanya di Jawa Timur. ”Jadi, Gunung Lawu, hutan di lereng dan sekitarnya, keramat,” tutur Agus.

Rekonstruksi pola pikir bukan pekerjaan mudah. Artefak lingga atau phallus, alat kelamin jantan, banyak ditemukan di Candi Cetho—di Sukuh banyak ditemukan yoni, lambang kelamin perempuan. Sekarang, jarak antara Sukuh dan Cetho sekitar 10 kilometer. Tapi itu bukan berarti bahwa kedua Candi tidak berhubungan dan jarak yang memisahkan keduanya bukan bagian dari situs Candi. Menurut Agus, pertemuan phallus dengan yoni itu memiliki arti lebih dalam daripada sekadar perlambang kesuburan atau asal-muasal hidup, yaitu pertemuan Dewa Syiwa dengan Dewi Tarwati, istrinya. Inilah ritual yang dilaksanakan pertapa untuk menyatu dengan dewata sesembahan mereka. Jadi, bisa dikatakan, Candi Cetho ini adalah candi khusus yang digunakan untuk beribadah orang-orang makrifat pada zaman itu.

Memang, setiap candi mempunyai jemaatnya sendiri. “Jangan mengganggu batas situs, dan perhatikan kekuatan lahan di sana,” Agus menyarankan. Jangan sampai candi yang dulu kala hanya didatangi oleh para resi yang menjalankan ritual individual diubah fungsi menjadi tempat ibadah massal Hindu dan kejawen, plus tempat wisata, tanpa memperhitungkan kekuatan pijak tanah dan situs. Bagaimanapun, Candi Cetho harus dikembalikan ke pemangkunya, yaitu Mahameru, bukan dicabut darinya.

Bina Bektiati, Imron Rostid, Anas Syahirul (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus