Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POLLYCARPUS mengamati dengan cermat delapan lembar kertas yang digenggamnya. Sejurus kemudian, wajahnya berubah, menunjukkan keheranan. ”Dakwaan ini lucu,” katanya sembari menoleh kepada pengacaranya, M. Assegaf dan Wirawan Adnan, yang pada Rabu pekan lalu menjenguknya di ruang tahanan Markas Besar Polri. Ditahan sejak 19 Maret, Rabu lalu Polly terlihat santai. Di tahanan, kegiatan yang paling banyak dilakukannya adakah membaca dan berolahraga bersama sesama tahanan.
Pollycarpus Budihari Priyanto—demikian nama lengkap pria 45 tahun ini—menilai tuduhan terhadap dirinya, sebagaimana tertulis dalam dakwaan jaksa, terlalu dipaksakan. ”Bagaimana mungkin saya bersama-sama Yeti Susmiarti dan Oedi Irianto dituduh merancang pembunuhan?” ujarnya seperti ditirukan Wirawan Adnan. ”Saya ini korban.”
Selasa pekan ini, sidang perdana kasus pembunuhan Munir akan digelar di PN Jakarta Pusat. Hakim Tjitut Sutiarso yang akan memimpin persidangan. Rencananya, sidang akan dilangsungkan di ruang utama lantai 2. Polly didakwa melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir, Ketua Dewan Pengurus Kontras dan Direktur Eksekutif Imparsial.
Dalam dakwaannya, jaksa menyebutkan, Polly yang berprofesi sebagai pilot Garuda sejak 1999 telah melakukan berbagai kegiatan untuk menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lantaran ”kecintaannya” pada negara inilah ia menganggap kegiatan Munir yang kerap mengkritik pemerintah berpotensi menghalangi terlaksananya program pemerintah.
Dengan pikiran semacam itulah, menurut jaksa, Polly merasa harus menghentikan tingkah laku Munir. Sejak itulah ia mulai memonitor dan memata-matai kegiatan Munir, sampai suatu ketika ia mengetahui pria berambut kecokelatan itu pada 6 September 2004 akan pergi ke Belanda.
Dua hari sebelum keberangkatan Munir, Polly menelepon ke telepon selulernya. Begitu tahu Munir benar-benar akan berangkat, Polly pun mencari peluang agar bisa terbang bersama mantan pengurus LBH itu. Ia yang seharusnya bertugas sebagai extra crew pada 5-9 September ke Peking, meminta perubahan jadwal. Ia minta jadwalnya pada 6 September dialihkan ke Singapura dengan dalih akan memeriksa pesawat Boeing 747 Garuda yang tertimpa masalah di Bandara Changi.
Polly akhirnya bisa terbang satu pesawat dengan Munir. Saat berjalan ke pesawat Garuda G-974 yang akan membawa mereka ke Singapura, ia menyapa Munir dan menanyakan tempat duduk. Begitu mengetahui Munir duduk di kursi 40-G kelas ekonomi, Polly segera menawarkannya pindah ke kelas bisnis, ke kursi 3-K. Untuk menghilangkan kecurigaan, menurut jaksa, Polly memberitahukan kepada purser, petugas di pesawat, soal kepindahan Munir ke kelas bisnis.
Setelah pesawat lepas landas dan pramugari menyiapkan welcome drink, Polly mulai bertindak. Ia menuju pantry (dapur pesawat) dan memasukkan arsen ke minuman orange juice karena mengetahui Munir tidak menenggak alkohol. Di kelas bisnis, welcome drink yang disajikan hanya jus jeruk dan wine.
Minuman bercampur arsen inilah yang kemudian dibawa pramugari Yeti ke kelas bisnis. Di jajaran bangku Munir, awalnya Yeti menawarkan minuman itu kepada Lie Khie Ngian, penumpang di sebelah Munir. Lie memilih wine. Giliran Munir, ia mengambil orange juice. Itulah minuman yang telah dicampur arsen.
Ketika pesawat transit di Bandara Changi, Singapura, Pollycarpus dan Munir berpisah. Polly pergi ke Hotel Novotel di Singapura, sementara Munir, setelah transit satu jam di Changi, melanjutkan penerbangan ke Belanda. Kali ini, Munir duduk di bangku asalnya, kursi nomor 40-G, kelas ekonomi.
Saat itulah perubahan mulai terjadi pada tubuh Munir. Tiga jam setelah pesawat take-off dari Changi, ia mulai sakit perut, lantas muntah-muntah. Tarmizi, Seorang dokter yang ikut dalam penerbangan itu, mencoba menolong Munir dan memindahkannya ke kelas bisnis. Namun, usahanya menolong tak membuahkan hasil. Dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schiphol, Belanda, Munir telah tiada. Berdasarkan fakta-fakta itulah, menurut jaksa, Polly didakwa melakukan pembunuhan berencana. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pelaku pembunuhan semacam ini bisa dihukum mati.
Sebagaimana Polly, sang pengacara, Mohammad Assegaf, juga terheran-heran dengan isi dakwaan jaksa. ”Dakwaannya abstrak,” ujar pengacara ini. Ia menunjuk keterangan jaksa yang menyebut kliennya sejak 1999 melakukan kegiatan menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. ”Polly itu hanya pilot, dan bukan orang yang punya organisasi mengatur negara ini,” katanya.
Menurut Assegaf, dakwaan jaksa yang menyatakan kliennya melakukan pembunuhan terasa sangat dipaksakan. Jika seseorang berencana melakukan pembunuhan, menurut dia, lazimnya harus ada motif dan alasan, misalnya dendam. ”Dalam dakwaan tidak tergambar motivasi dan alasan itu,” ujarnya.
Assegaf juga menilai dakwaan jaksa spekulatif. Kliennya, kata dia, disebut-sebut menuju dapur pesawat dan memasukkan arsen ke orange juice yang bakal disajikan kepada Munir. ”Bagaimana dia tahu kalau minuman itulah yang akan diberikan ke Munir?” ujarnya. Lagi pula, tutur Assegaf, makanan dan minuman sebelum dibawa ke pantry pesawat pasti disegel. Dalam prarekonstruksi, kata Assegaf, pramugara Oedi sampai harus meminjam tang untuk membuka makanan dan minuman yang disegel. ”Dakwaan jaksa banyak lemah, banyak bolongnya,” ujarnya.
Benarkah dakwaan jaksa lemah? ”Kami tak mau berkomentar. Lihat saja nanti di persidangan,” ujar Edi Saputra, salah satu anggota tim jaksa. Menurut sumber Tempo di kejaksaan, sebenarnya jaksa punya petunjuk awal untuk menjerat Pollycarpus. Petunjuk itu, kata sumber ini, terdakwa sempat menelepon ke ponsel Munir dua hari sebelum ia berangkat ke Belanda.
Adapun yang menerima telepon itu adalah Suciwati, istri Munir. ”Apa kepentingan Polly menelepon Munir?” ujar sumber itu. Selain itu, petunjuk lainnya adalah fakta Polly sebenarnya tidak sedang bertugas, tapi kemudian meminta penugasan yang waktunya bersamaan dengan jadwal keberangkatan Munir.
Menurut Assegaf, petunjuk-petunjuk seperti itu hanyalah rangkaian cerita yang sengaja dimasukkan jaksa ke dalam dakwaan agar terkesan logis. ”Rangkaian cerita itu diawali dengan tiga surat tugas, yang salah satunya ditandatangani Direktur Utama Garuda Indra Setiawan,” ujarnya.
Selasa ini, setidaknya 36 orang akan dihadirkan sebagai saksi; salah satunya Suciwati. Sidang ini tampaknya akan menyedot perhatian banyak orang. Komite Solidaritas Munir, misalnya, menyatakan akan terus memantau sidang ini. Menurut Asmara Nababan, anggota Komite, pihaknya tidak ingin kasus dugaan pembunuhan Munir hanya berakhir di persidangan Pollycarpus.
”Pollycarpus hanya bagian kecil dari kasus pembunuhan Munir,” ujar Asmara, yang pernah menjadi wakil ketua tim pencari fakta kasus Munir. Komite Solidaritas, katanya, akan meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mengumumkan informasi temuan TPF. ”Agar masyarakat tahu bahwa Pollycarpus punya dalang di balik layar,” ujarnya.
Sukma N. Loppies, Rinaldi D. Gultom
Nama dalam Kantong
DI SAAT-saat menjelang pembubarannya, tim pencari fakta (TPF) kasus Munir masih meminta keterangan sejumlah pihak yang terkait kasus ini, di antaranya beberapa anggota Badan Intelijen Negara (BIN). TPF yang dibentuk 23 Desember 204 resmi bubar pada Juni lalu. Pekerjaannya kini diteruskan tim penyidik Munir pimpinan Brigadir Jenderal Polisi Marsudhi Hanafi.
Mantan sekretaris TPF, Usman Hamid, mengaku sudah mengantongi nama aktor di belakang layar kasus pembunuhan Munir, tapi ia menolak menyebutkan. Keterlibatan BIN, katanya, sudah jelas ada. ”Perkembangan terakhir menunjukkan ke arah itu,” ujarnya, Selasa lalu.
Keterlibatan BIN juga ditemukan para penyidik saat ”mengorek” Polly. Dari dokumen yang sempat diintip Tempo dari seorang sumber, saat memeriksa Polly, penyidik memperlihatkan sejumlah nomor telepon. Salah satu pemilik nomor itu (081190xxxx), adalah pejabat penting BIN. Pejabat itu ternyata beberapa kali menelepon ke rumah Pollycarpus (021-740xxxx), yakni pada 25 Agustus, 3 September, dan 6 September 2004, yang masing-masing dua kali, dan pada 7 September 2004 sebanyak empat kali. ”Apa benar? dan siapa yang menerima telepon itu?” tanya penyidik. Pollycarpus tutup mulut. ”Saya tidak tahu.”
SNL, Agriceli, Mawar Kusuma (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo