Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiba-tiba, puluhan telur melesat ke arah majelis hakim. Ada yang membentur meja, dinding, ada yang berjatuhan di lantai. Sebagian isinya terciprat ke jubah hakim Erna Watuseja, yang baru saja membacakan putusan sidang siang itu, dan secara refleks ia menutup wajahnya.
Suasana ruang sidang menjadi hiruk-pikuk. Puluhan pengunjung yang sebelumnya duduk, serentak bangkit dan mulai menjungkirbalikkan bangku yang mereka duduki serta mencoba merangsek ke meja Erna. ”Ini tidak adil. Kami akan melawan ketidakadilan ini!” teriak seorang pengunjung.
Melihat suasana kian panas, dengan cepat sejumlah petugas keamanan menerobos ke depan, menyelamatkan Erna dan dua anggota majelis hakim, Maxi Sigarlaki dan Lenny Watti, dari kepungan massa.
Para pengunjung sidang itu tampak benar-benar kecewa atas putusan yang dijatuhkan para hakim atas Rignolda Jamaluddin, Direktur Perkumpulan Kelola. Selasa pekan lalu, aktivis LSM yang dikenal lantang menentang pembuangan limbah Newmont ke Teluk Buyat itu dinyatakan bersalah oleh hakim. Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi itu dinyatakan terbukti mencemarkan nama baik PT Newmont Minahasa Raya, perusahaan tambang emas asal Amerika Serikat yang sekitar dua tahun silam menutup kegiatan penambangannya di daerah itu.
Hukuman yang dijatuhkan atas Rignolda tidak enteng. Majelis hakim memerintahkan Rignolda membayar ganti rugi US$ 750 ribu (sekitar Rp 7,7 miliar) dan memasang iklan permintaan maaf kepada Newmont di surat kabar dan televisi selama tiga hari. Atas keterlambatan terhadap kewajiban ini, Rignolda harus membayar denda Rp 5 juta setiap hari.
Putusan Pengadilan Negeri Manado ini disambut lega oleh Newmont. ”Putusan hakim itu tepat,” kata juru bicara Newmont, Rubi Purnomo. Menurut Rubi, pernyataan Rignolda dulu tak hanya merugikan Newmont, tapi juga membuat resah masyarakat dan nelayan di Teluk Buyat. ”Putusan ini membuktikan informasi dari Rignaldo menyesatkan,” ujarnya.
Kasus pencemaran nama baik ini berpangkal dari pernyataan Rignolda yang dimuat media massa pertengahan tahun silam. Kala itu, Rignolda menyebut gejala-gejala penyakit yang dialami para warga Buyat menyerupai korban tragedi di Teluk Minamata, Jepang. Menurut Rignolda, pangkal dari semua itu adalah pencemaran Buyat akibat limbah PT Newmont. Pernyataan Rignolda ini lantas dimuat di media massa cetak dan elektronik. Harian Kompas dan Sinar Harapan, misalnya, memuat pernyataan Rignolda pada edisi 20 Juli dan 21 Juli 2004.
Ini yang membuat Newmont naik pitam. Pada 4 dan 24 November, PT Newmont mengirimkan somasi kepada Rignolda. Newmont menuntut Rignolda mencabut pernyataannya. Lantaran tak ada tanggapan, akhir November tahun lalu, perusahaan tambang ini membawa kasus tersebut ke pengadilan. Newmont menuntut Rignolda membayar ganti rugi US$ 1,5 juta (sekitar Rp 15 miliar) serta memasang permintaan maaf di media massa selama tujuh hari berturut-turut.
Sidang ini mulai digelar pada awal Januari lalu. Newmont menyodorkan sejumlah bukti berupa kliping media massa yang memuat pernyataan Rignolda. Di luar itu, Newmont juga membawa segepok hasil penelitian yang menyatakan tak ada pencemaran yang dilakukan PT Newmont di Teluk Buyat, tak seperti yang selama ini disebut-sebut. ”Newmont sudah menghabiskan dana sekitar US$ 500 ribu untuk mempublikasikan hasil-hasil penelitian tersebut,” kata Palmer Situmorang, pengacara Newmont.
Proses persidangan Rignolda diwarnai aksi demo para aktivis LSM di Manado. Demo itu tidak saja di luar dan di ruang sidang, bahkan hingga ke depan ruang kerja Erna Watuseja, ketua majelis hakim yang menyidangkan kasus ini. ”Hakim bertindak berat sebelah,” kata Kurniawan Adi Nugroho, pengacara Rignolda. Salah satu yang dinilai Kurniawan tak adil adalah penolakan majelis hakim terhadap saksi yang akan mereka ajukan. ”Saksi ini penting untuk menjelaskan posisi Rignolda dalam konteks pernyataannya yang dimuat media massa itu,” kata Kurniawan.
Menurut Kurniawan, sebagai koordinator seminar, Rignolda ketika itu sekadar menyimpulkan hasil seminar tentang kasus Buyat yang menghadirkan pembicara Jane Pangemanan, seorang dokter yang juga aktivis LSM. Jane sendiri beberapa kali pernah melakukan penelitian pada warga Buyat. Dalam seminar itu, Jane menyebut korban pencemaran Buyat mirip dengan korban tragedi pencemaran di Teluk Minamata, Jepang, pada 1958-an. Kesamaan itu, antara lain, munculnya benjolan-benjolan di tubuh.
Rignolda kecewa dengan putusan hakim. ”Yang menjadi dasar menggugat saya bukan pernyataan pribadi saya. Tugas saya sebagai koordinator memang menyampaikan hasil seminar tersebut,” ujarnya. Ia sendiri mengajukan banding. Menurut Rignolda, ia sudah mengirim surat ke sejumlah media massa untuk mengklarifikasi pernyataannya, yang memancing reaksi keras Newmont itu. ”Beberapa media juga siap menjadi saksi, tapi, ya itu tadi, ditolak hakim,” ujarnya.
Erna menolak tuduhan menghalang-halangi saksi yang diajukan Rignolda. Menurut dia, majelis hakim menolak saksi itu karena Rignolda terlambat mengajukannya. ”Prosesnya sudah masuk tahap putusan, tidak mungkin dibalik dan mulai lagi dari pembuktian,” kata Erna.
L.R. Baskoro dan Ahmad Alheid (Manado)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo