SETELAH 10 hari lari dari tahanan Den Pom ABRI VII/2 Yogyakarta, Jarot muncul di kantor LBH Jakarta sekitar pukul 10.00, 30 Maret lalu. Ia mengenakan baju biru lengan panjang dan celana cordoray sembari mengepit tas plastik. Setelah menempuh perjalanan Yogyakarta-Jakarta naik truk, ia tampak lelah. Dan rambutnya yang panjang membuat ia sulit dikenali sebagai bekas anggota polisi, berpangkat bhayangkara satu. Pihak LBH segera mengontak Markas Besar Polri, memintakan jaminan - sesuai dengan permintaan Jarot - agar ia diperlakukan secara baik dan segera disidangkan. "Saya melarikan diri memang hanya menuntut itu, bukan untuk menghindari tanggung jawab," katanya kepada Agus Basri dari TEMPO. Dini harinya, setelah 13 jam berada di kantor LBH, Jarot dijemput petugas dari Markas Besar Polri yang dipimpin Mayor Nasir. Senin 2 April 1984, menurut sumber TEMPO telah berangkat petugas dari Yogyakarta untuk mengambil Jarot, 31. Setelah itu, "Akan saya tanya, dia mau ditahan di mana," kata Kolonel Rony S. Sinuraya, Komandan Korem 072 Yogyakarta. Yang jelas, ia tak akan ditahan lagi di Den Pom VII/2, Jalan Magelang, tempatnya melarikan diri 20 Maret lalu. Jarot berstatus tahanan sejak 14 Juli 1983 dengan tuduhan membunuh Wahyu Basuki alias Susi Lepaz, mahasiswa Fakultas Psikologi UGM, dengan tikaman celurit. Pemegang Dan II karate itu mengaku pernah termasuk dalam Tim Siluman - tim yang sangat diandalkan - dalam Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) yang pernah dilancarkan di Yogyakarta. Pembunuhan yang terjadi di pelataran Wisma Wisata Jalan Kaliurang itu pun, katanya, masih ada hubungan denan tugasnya sebagai anggota reserse: membongkar kasus narkotik, sesuai dengan surat perintah dari Komandan Reserse Kepolisian Resort Yogyakarta Kapten S. Raharjo, yang dikantunginya. Tapi hal itu rupanya cuma alasan. Sebab, seperti dikatakan sebuah sumber, "saat pembunuhan terjadi, tak ada bukti bahwa Jarot sedang membongkar kasus narkotik." (TEMPO, 31 Maret). Alasan yang lebih masuk akal ialah karena ayah dua anak itu cemburu. Dinihari, 14 Juli 1983, ia mendapati Wahyu berada dalam kamar Indri, wanita panggilan dan pecandu narkotik, yang menjadi pacar Jarot. Empat hari sebelum terjadi pembunuhan, Jarot sempat menggandeng Indri ke rumah ibunya. "Indri diperkenalkan sebagai informan polisi," kata Nyonya Kusyaeri, ibu Jarot. Dan, menurut Jarot, selain Indri, pacarnya yang lain ialah Yuyun dan seorang mahasiswi UGM. Ia mengaku, sudah cukup lama tak cocok dengan istrinya, Titi, yang katanya sering keluar rumah bersama om-om dan pulang membawa uang sampai Rp 35.000. Di dalam tahanan, frustrasinya bertambah karena sudah 10 bulan perkaranya belum disidangkan. Lagi pula, sejak 1 September 1983, ia diluardinaskan sehingga tidak lagi menerima gaji dan uang lauk-pauk. Maka Januari lalu, ia mengirim surat ke alamat Kapolri Jenderal Anton Soedjarwo, agar nasibnya diperhatikan. Dalam suratnya itu, ia sempat menyinggung pemutasian ayahnya, Kapten (Polisi) Kusyaeri, dari Kepala Keamanan Hotel Ambarrukmo, Yogyakarta, menjadi Kepala Seksi Binmas di Kepolisian Wilayah Yogyakarta. "Di sini dapat diartikan bahwasanya saya sekeluara sebelum disidangkan telah mendapatkan hukuman seumur hidup," katanya dalam surat itu. Kapolwil Yogyakarta, Kolonel Suharso, membantah pemutasian Kapten Kusyaeri ada hubungannya dengan kasus Jarot, anaknya. Kepada TEMPO, Jarot mengatakan bahwa ia lari dari tahanan lepas isya, 20 Maret lalu. Setelah berdoa dan bersembahyang tahajud, katanya, ia melangkah ke luar ruang tahanan yang belum dikunci karena tahanan lain masih menonton televisi, diawasi petugas. Ia membawa tas plastik berisi kaus oblong dan uang Rp 16.000. Tiang pemancar segera dipanjat, lalu ia merangkak di atas genting pos penjagaan sampai ke tepi dinding, dan kemudian meloncat ke luar. "Saya berjalan menyusur sawah, dan sampai di pinggir jalan menyetop Colt," katanya. Lima hari kemudian, dengan naik truk ia melewati Wates, Kutoarjo, Purwokerto Jawa Tengah, dan Karawang Jawa Barat. Di sini, Jarot rupanya ragu untuk langsung ke Jakarta. karena ia membaca di surat kabar tentang pelarian dirinya. Maka, bila siang ia bersembunyi dan malam hari menumpang truk beberapa kilometer lalu bersembunyi lagi. Dengan cara itu, jarak Karawang-Jakarta, yang tak sampai 100 km, ditempuhnya selama lima hari. Pagi hari 30 Maret, ia pun sampai di Jatinegara, Jakarta Timur. Ketika itu, katanya, ada dua pilihan: ke Mahkamah Agung atau ke LBH. Ia memutuskan menuju LBH karena kalau ke MA bisa ditanya macam-macam, padahal ia hanya membawa kartu pengenal berupa SIM C dan B 1. Ia lalu melirik sisa uangnya yang tinggal Rp 1.500, dan minta pada sopir taksi agar diantarkan ke kantor LBH di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Nyonya Kusyaeri senang sekali mendengar Jarot telah "ditemukan". "Dulu itu kalau tahu dia bakal lari, pasti akan saya larang," katanya. Pihak Den Pom pun, yang kecolongan, lega mendengar Jarot kini berada di tangan polisi. "Meski merasa dongkol dia lari, saya senang dia menyerahkan diri karena kami tidak perlu susah-susah mencari dia," tutur Wakil Kepala Den Pom Yogyakarta Kapten Daud Lallo. Yang tengah diusahakan kini ialah menyidangkan Jarot secepatnya. Tapi menurut Kepala Oditorat Militer Letnan Kolonel Soebagio, penyidangan perkara itu tampaknya baru bisa diselenggarakan Mei nanti. "April ini para hakim sedang sibuk, lagi pula mereka perlu mempelajari berkasnya dulu," katanya. Yang jelas, "Larinya pasti akan menambah berat hukuman." Sudah tentu, bila tuduhan membunuh atau menganiaya itu nanti terbukti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini