Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Benang Kusut Nyonya Eddy

Eko, 18, pelajar SMA Jatilawang dan Eddy, 31, pimpinan BRI cabang Lumbir, saling mengadu ke Polsek Wagon. Eko mengadu bahwa ia dipukuli dan disuruh bunuh diri oleh Eddy. (krim)

7 April 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EKO, 18, dan Eddy, 33, kini sedang dibelit benang kusut. Eko pelajar SMA Jatilawang, sedangkan Eddy pimpinan BRl Cabang Lumbir. Keduanya di Banyumas, Jawa Tengah. Eko mengadu ke Kepolisian Sektor (Polsek) Wangon karena ia telah dianiaya Eddy. Pihaknya juga mengadu ke Polsek Lumbir karena Eddy pernah menyuruhnya bunuh diri dan, kalau ia tidak mau, maka adiknya, Dwi Hastini, akan diculik. Eddy sendiri mengadukan Eko karena anak muda itu dituduh telah berzina dengan istrinya. Sampai pekan lalu, polisi masih memproses pengaduan yang dilaporkan pada minggu ketiga Maret lalu. Sengketa Eko-Eddy kian meruncing 21 Maret lalu, setelah pelajar SMA yang hampir menghadapi ujian akhir itu dianiaya. Siang itu di Wangon, sewaktu hendak pulang ke rumahnya, Eko bertemu dengan Eddy, yang menyuruhnya naik sepeda motor sama-sama. Anak muda itu disuruh pegang kemudi, Eddy membonceng di belakang. "Baru berjalan beberapa ratus meter, tahu-tahu kepala saya dipukul," kata Eko. Pemukulan masih berlangsung saat ia menghentikan sepeda motor, sampai ia tak sadarkan diri. Begitu siuman, ia, yang sudah ditinggal pergi oleh Eddy, melapor ke Polsek Wangon. "Tiba di rumah, ia pingsan lagi sehingga saya khawatir pada keadaanya," tutur Imam Sodikin, ayah Eko. Eddy memukul Eko karena, katanya, "Terus terang saya cemburu." Paling tidak, sudah tiga kali ia memergoki istrinya, yang sudah beranak empat itu, main cinta dengan pemuda yang pernah mondok di rumah mereka. Juli tahun lalu, selama tiga bulan, anak sulung Imam itu memang mondok di rumah Eddy, karena sekolahnya terlalu jauh dari rumah. Dan terjalinlah hubungan cinta antara dia dan Sri, istri Eddy. Sampai-sampai, kata Imam, setelah anaknya tidak mondok lagi, Sri sering datang mencari Eko. Sekitar akhir Februari lalu, setelah Eddy memergoki istrinya menyeleweng, ia memanggil Eko. Ia masih bisa menahan emosi karena, tampaknya, ia masih mencintai istrinya dan tak mengharapkan keluarganya retak. Namun, kepada Eko ia sempat mengancam. "Saya disuruh bunuh diri. Kalau saya tidak mau, ibu dan adik saya akan diculik dan dibunuh ramai-ramai," ujar Eko kepada TEMPO. Tiga minggu kemudian, Eddy mengirim surat yang berbunyi: "Penuhi janjimu dengan segera. Kalau tidak, Dwi akan dijemput empat orang. Tertanda, Eddy. SURAT ancaman itu segera dilaporkan, Imam ke polisi Lumbir. Tapi menurut sumber di Polsek itu, "Isi surat Eddy tidak ada yang berupa ancaman." Ketika pimpinan BRI itu dipanggil, katanya, ia mengatakan bahwa empat orang yang dimaksud dalam surat tak lain gadis-gadis yang akan diperkosa Eko. "Tapi kami masih terus menyelidiki kasus ini," ujar sumber itu lagi. Pengaduan soal penganiayaan ke Polsek Wangon kelihatannya tak bakal berkepanjangan. Sebab, ketika Eddy dipanggil pihak kepolisian, ia malahan mengancam orangtua Eko. Kalau surat pengaduan tidak segera dicabut, begitu konon dia berkata, ia akan melaporkan kasus perzinaan anak muda itu dengan istrinya. Dengan berat hati, Imam akhirnya memang mencabut pengaduannya. Tapi esok harmya Eddy ternyata mengadukan juga bab perzinaan itu ke Polisi Jatilawang. Sedangkan perkara penganiayaan itu, karena pengaduan sudah dicabut dan kedua belah pihak sudah menyelesaikan secara damai dan dengan rasa kekeluargaan, menurut sumber di Polsek Wangon, dianggap selesai. "Perbuatan Eddy memukul Eko itu ibarat orangtua yang memberi pelajaran kepada anaknya yang kurang ajar," komentar sumber tadi. Padahal, semestinya, meski pengaduan dicabut, perkara tak bisa dianggap selesai karena penganiayaan bukanlah delik aduan. Yang kini terus diproses adalah kasus perzinaan itu yang, menurut Eddy, "Terpaksa saya laporkan ke Polisi untuk mengimbangi pengaduan soal penganiayaan." Ketika ditemui, Eddy mencoba menghindari persoalan itu. "Sekarang sudah tidak ada apa-apa lagi," katanya sambil tertawa lepas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus