ORANG tumplek di rumah Pak De. Setelah dari mobil, mau memasuki rumah, terdengar teriakan, "Pak De, Pak De." Romo melempar senyum dan melamban Semn malam awal minggu ini, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyelenggarakan sidang di rumah Pak De di Kampung Susukan, Jakarta Timur. "Menjenguk" rumah, juga setelah lima bulan Pak De ditahan. Sidang itu memang direncanakan. "Untuk memperoleh gambaran dan mengecek keterangan Saksi Idris," kata Ketua Majelis Hakim, Renny Retnowati, S.H. Sidang terbuka itu, di ruang tamu 2 X 3 meter. "Dengan catatan, jaksa dan pembela tak diperkenankan bertanya kepada saksi maupun terdakwa," kata Renny. Pengecekan disesuaikan dengan keterangan Idris. Dimulai dari ruang belakang, tempat beberapa orang bermain gaple di lantai. Di situlah Idris bertemu Pak De. Kata Idris, ketika Dice terbunuh, 8 September 1986 sekitar pukul 21.30, Pak De berada di rumah. Ketika itu, Idris bertamu dan diajak melihat cara mengetes batu hitam yang katanya kebal tembak. Batu hitam itu digantung di pohon pisang, ditembak lima kali. Azimat itu hancur. Tapi, mengapa bukan besi kuning yang ditembak, padahal ini disebut di BAP? Pak De tak ingin polisi mempersoalkan batu hitam. Maka, disebut saja besi kuning. "Orang lebih mengenal besl kumng daripada batu hitam atau hajar aswad," ujar Romo. Dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan), pengetesan itu ditujukan ke seekor ayam, kenapa disebut batu hitam? "Itu karangan saya," kata Romo. Dalam sidang sebelumnya, Pak De mencabut sebagian isi BAP itu. Seterusnya dari ruang belakang, Idris ke ruang tengah. Dan Pak De masuk ke kamar, mengambil pistol pinjaman dari Abas Mahar, anggota Satpam Bapindo. Lalu mereka menuju ke tegalan berawa - luasnya setengah hektar lebih - di belakang rumah. Di tanah berbelukar yang mendapat peneranan listrik 60 watt (dari tembok belakang rumah), Pak De jongkok menghadap kiblat - sekitar tiga meter dari pohon pisang. Idris berdiri sekitar dua meter di sebelah kiri Pak De. "Mana pohon pisang itu?" tanya Ketua Majelis. "Karena sudah tujuh bulan berlalu, tak ada lagi, Bu. Tadinya di situ," jawab Pak De. Rumpun ini sekarang memang tak berbekas lagi. Peragaan berikutnya, mendengar letusan kantung plastik es mambo. Menurut Idris, letusan pistol Pak De seperti suara kantung plastik itu. Para petugas ramai-ramai meniup dan memecahkan kantung plastik itu. "Wah, mestinya lebih keras," ujar Idris. Ketua Majelis minta seorang polisi menembakkan pistol barang bukti, ke udara. Pengacara Mohammad Assegaff minta dicatat: peluru lama dan baru menimbulkan suara yang berbeda. "Mohon dicek kepada ahlinya bila diperlukan nanti," kata Assegaff. Permohonannya diterima Ketua Majelis, yang malam itu memakai rok batik dasar hijau dan baju hitam. Idris, di antara tujuh saksi a de charge (meringankan terdakwa) yang diajukan pengacara dalam sldang Selasa akhlr bulan lalu. Mereka: Amir Syam, pedagang keliling, dan kakaknya, Nahya, kedua menantu Pak De, yaitu Ririn dan Maya, Jonki Rahmanto, teman dagang Kuspriyanto, anak Pak De, dan Idris. Pada 8 Septembcr 1986 pukul 21.30, Pak De di rumah. "Malam itu kami sedang leklekan (bergadang)," kata Ririn dan Maya. Sekitar pukul delapan, datang kakak beradik Nahya dan Fatma (bukan Fatma istri Pak De, tapi tetangga) menagih utang pada nyonya rumah. Belakangan, Fatma ikut bergadang. "Pak Siraj sempat main gitar dan motret-motret," ujar Nahya. Menjelang siaran Dunia Dalam Berita di TVRI, muncul Amir Syam, minta kunci rumah yang dibawa kakaknya, Fatma itu. Sedang Jonki datang menagih utang pada Kuspriyanto, di saat siaran Dunia Dalam Berita - yang melihat Pak De ada di rumah. Pada saat itu Idris, karyawan Toyota Mobilindo itu, datang. Kesaksian yang menyimpang dari BAP? Oleh sebab itu, Pak De mencabut sebagian isi BAP. Juga, dalam sidang Selasa pagi 5 Mei ini, di antaranya untuk menecek kembali isi BAP itu pada terdakwa. Ada yang dibenarkan dan ada yang disangkalnya. Juga Pak De menyebut dia dipanggil polisi "tak melalui prosedur, tidak secara dinas". Dan munculnya pengakuan dalam BAP itu, katanya, gara-gara dia sudah tak tahan lagi dipukul polisi. Romo membantah pula menerima Rp 10 juta dari Dice. "Itu hanya karangan saya," katanya. "Begitu pula pengakuan saya bahwa saya menembak dari arah kanan tubuh Dice, itu 'kan tak mungkin," katanya. Ia juga tak pernah menjanjikan pada Dice untuk mensimsalabimkan atau menggandakan uang. Pak De mengetik perincian uang Rp 10 juta, karena disuruh Dice. "Kalau melihat yang 55% untuk dana amal, itu betul. Tapi kalau Rp 10 juta dilipatgandakan menjadi Rp 500 juta, itu riba, tak baik," katanya pada Dice. Pak De tanya, siapa yang mengajarkan demikian. "Ada, Pak De," jawab Dice, tapi tak dijelaskan. "Sayang, Dice sudah meninggal," kata Bu Hakim. Pak De mengungkap secara tertulis, seusai sidang 20 April, Pak De mencabut sebagian BAP (dalam kasus Endang). Gara-gara itu dia diancam petugas kejaksaan dan polisi, ketika di Kejaksaan Negeri Bogor. "Alah, omongan Pak De saja kalian mau dengar," kata Jaksa Sutantyo yang menangani pembunuhan Endang. Setelah sidang di PN Jakarta Selatan, Maya didatangi petugas. Jumat pekan lalu itu ia disuruh mencabut kesaksiannya. "Polisi juga menyodorkan kertas untuk ditandatangani, tapi ditolak anak saya," tutur Nimi, ayah Maya. Petugas juga mendatangi saksi Fatma (bukan istri Pak De). Tujuannya serupa: "cabut kesaksian". "Tapi saya bilang, itu semua fakta. Saya tak ngarang," kata Fatma pada TEMPO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini