HAMPIR semua penduduk Kademangan menyimpan dendam pada Darman. Lelaki 50 tahun ini dicurigai sebagai tukang santet. Hamim, ketua RT-nya, malah ikut percaya. "Dalam setahun terakhir ini sudah 10 orang yang mati. Belum lagi yang sakit panas dan lumpuh. Itu gara-gara teluh Darman," katanya. Tapi di Kademangan, Ja-Bar, yang dihuni 50 kepala keluarga itu, selain Darman ada Sanusi. Lelaki 45 tahun ini juga dikenal sebagai dukun. "Hanya Darman yang lebih hebat," ujar Sanusi. Cuma, di mata penduduk, Darman dinilai punya perangai buruk. Kalau ada pertengkaran, ia selalu mengancam "awas nanti" -- kemudian lawannya muntah, berak darah, atau lumpuh . Darman, ayah enam anak, membantah sebagai dukun teluh. Sebaliknya, penduduk sering minta perlindungan pada Sanusi. Tahun lalu, kedua dukun ini mengadakan "sumpah pocong". Kalau di antara Darman dan Sanusi sebagai santet, tapi tak mengaku, akibatnya: mati. Sumpah ini disaksikan tetua kampung yang tujuh kilomeer di utara Serang itu. Setahun setela bersumpah, keduanya masih segar-bugar. Tapi korban yang sakit dan meninggal, dengan tanda-tanda sama seperti penderita sebelumnya, berjatuhan. Musibah memuncak ketika menjelang pemilu. Apalagi ketika istri dan kemanakan Sachmud kakak kandung Sanusi, jatuh sakit dan seorang famili Sanusi meninggal mendadak. Sabtu malam akhir bulan lalu, Sanusi mnengayunkan golok ke leher Syar'i, 25 ml1un. Ia lagi makan angin di sebuah gang. Golongan anak keempat Darman itu justru di semacam aba-aba. Maka, berhamburanlah sekitar 100 lelaki menyerbu rumah Darman. Mereka menggenggam golok, arit, batangan besi, palang pintu. Dengan darah bercucuran, Syar'i lari pulang. Di rumah, Darman bersama seorang pamong desa yang sedang bertamu. Ia keluar. Tapi rumahnya sudah dikepung. Dan pamong desa itu meloloskan diri, melapor ke polisi, karena kemarahan penduduk sudah tak terbendung. Darman dihajar habis. Tubuhnya terkoyak dan tergeletak di dapur. Syar'i masih meloncat-loncat dari atap ke atap rumah. Tapi orang-orang berteriak, memburunya sambil mengacungkan senjata tajam. Di pinggir kampung ia terpaksa turun. Dan, seperti ayahnya, ia dirajam. Lehernya hampir putus. Kepalanya penuh luka bacok. Dada dan perutnya habis diacakacak parang. Tubuhnya hancur di kebun bambu. Hanya Darman dan Syar'i yang diancam penduduk. Tapi sulit bagi polisi menangkap pelakunya. "Hampir semua penduduk mengaku bertanggung jawab. Ketika saya akan menahan sebagian, sekitar 80 orang minta ditahan semua," ujar Letkol M. Komari, Kapolres Serang. Setelah memeriksa dengan teliti, polisi menahan tujuh orang: Sanusi, Sachmud, Markasan, Sakim, Madrani, Bahrudin, dan Syafe'i. Mereka bertujuh itu mengaku merencanakan pembunuhan itu. Tapi, sampai pekan lalu, polisi belum dapat membuktikan bahwa penyakit yang diderita penduduk itu perbuatan teluh Darman. Sehari setelah pembantaian ayah dan anak itu, seorang dukun teluh, pada 26 April, juga dibunuh di Langkat, Sum-Ut. Hampir seluruh penduduk kampung terlibat. Mereka mencurigai Maruli Pasaribu, 63 tahun, memelihara beguganjang, hantu bertubuh tinggi besar berkulit hitam. Ada tanda-tanda. Sejak 1965, ketika Maruli tinggal di Dusun IV Desa Paya Bengkuang, 76 kilometer barat laut Medan banyak penduduk menderita sakit. Mereka seperti kena santet: ada yang lehernya membiru seperti dicekik, ada yang perutnya busung. Di hari pencoblosan pemilu tempo hari, Rosmina boru Silaban, gadis ayu berusia 17 tahun? meninggal. Lehernya membiru seperti dicekik. Sebelum meninggal, Rosmina berkata, "Tiga hari lalu, ketika saya ke ladang melintas rumah Maruli, dicegat hantu bertubuh besar tinggi, berkulit hitam dan menyeramkan, mirip Maruli." Tapi tak jetas apa kesalahan siswi kelas III SMP Wijasarma Desa Paya Bengkuang ini. Hanya penduduk percaya, kematiannya gara-gara Maruli. Dukun itu, sambil menenggak tuak di sebuah kedai, ngoceh, "Sesudah Rosmina mati dulu, akan menyusul tujuh korban lagi." Mendengar itu, orang-orang yang minum di lapo tuak pulang satu per satu. Tinggal Maruli dengan mulut berbusa dan komat-kamit. Tak berapa lama, Jadipan Pasaribu, 17 tahun, anak Maruli yang juga minum di kedai itu, pulang. Malam itu, di tengah jalan menuju rumahnya, Jadipan melihat puluhan orang bergerombol di kegelapan, menyenter wajahnya. Mereka tampak bersenjatakan balok, batu, belati. Terdengar ada yang nyeletuk, "Bukan Maruli." Melihat kegawatan itu, Jadipan bergegas melapor kepada Sihol Sianturi, Kcpala Dusun IV Desa Paya Bengkuang. Beberapa menit setelah anaknya pulang, Maruli menyusul. Sekitar 100 meter, wajahnya disorot senter. Ia jalan terhuyung-huyung lantaran teler. Saat itulah lelaki yang dipercayai orang kebal tikaman benda tajam itu dikeroyok. Dada dan perutnya berlubang-lubang, belasan, bekas tikaman. Batok kepalanya remuk. Sekitar dinihari, dengan berkendaraan bis jurusan Medan --Pangkalanbrandan, 30-an lelaki muncul di Polsek Gebang. Mereka mengaku membunuh Maruli secara bersama-sama. Kapolsek Gebang, Lettu Rusly Rubama, melalui SSB menghubungi Kapolres Langkat, Letkol Mahyuddm, di Binjai. Kapolres menyarankan tak usah menahan semua orang. Pos polisi itu tak mungkin menampung orang sebanyak itu. Satu jam kemudian mereka dipulangkan. Beberapa hari kemudian polisi turun tangan dan mencurigal beberapa orang yang diduga terlibat. Kini dusun itu senyap. Tiap malam penduduk menyalakan api unggun di depan rumah. "Untuk menangkal beguganjang," ujar Sihol Sianturi, Kepala Dusun IV itu. Menjelang malam, penduduk menutup pintu rumah mereka. Siang hari, mereka juga takut buka pintu. Mereka khawatir, setelah Maruli meninggal, sang beguganjang berkeliaran. Laporan Didi Sunardi (Bandung) & Amir S. Torong (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini