PENGUSAHA mana akan menolak diwawancarai wartawan cantik, cerdas, lincah, dan tampak profesional? Apalagi mereka mengaku dari The Sunday Times Magazine terbitan London yang beken itu? Ditambah, Meilay Lam dan Carolina Aikin, yang berusia 30-an, mengantungi surat rekomendasi dari seorang pejabat. Dibantu seorang pria bernama Andrew, keduanya tanpa banyak kesulitan bisa menemui pimpinan sekitar 30 perusahaan besar Indonesia. Mulai dari bank pemerintah dan swasta, perusahaan pelayaran, konstruksi, rokok sampai minuman. Ini, lihat saja contohnya: Astra International Inc., PT Krakatau Steel, PT Gudang Garam BNI 1946, BTN, PT Nurtanio (kini IPTN), PT Pusri, PT Perkebunan VII dan XXIII, serta PT Samudera Indonesia. Dari sini, dalam waktu relatif singkat, mereka dikabarkan bisa mengeduk US$ 600 ribu lebih, atau sekitar Rp 750 juta. Uang seabrek ini untuh pembayaran iklan dalam Sunday Times Magazine, yang akan membuat sisipan khusus tentang Indonesia dalam satu edisinya. Sisipan itu, yang direncanakan diterbitkan pada bulan-bulan pertama tahun 1986 ini, hingga Juli ini belum terbit. Memang, itu tak akan pernah ada karena Meilay, Carolina, ataupun Andrew sama sekali tak pernah ada hubungan kerja dengan penerbitan di Inggris itu. Agaknya, inilah kecap paling mahal yang pernah dibeli pengusaha di sini. "Sekarang baru kami sadar telah dikibuli," ujar Djadjat Bagdjawidjaja, Manajer Produksi PT Multi Bintang. Meilay dan Carolina semula menemui Presdir Multi Bintang, Tanri Abeng, sekitar bulan Oktober tahun lalu. Kedua wartawati bo'ong-bo'ongan itu sempat berlagak bingung ketika Multi Bintang memutuskan hanya akan memasang iklan seperenam halaman. Mereka mengatakan akan menanyakan dulu ke kantor pusatnya, boleh tidaknya memasang iklan secuil. Dua hari kemudian, Carolina datang lagi. Dia bilang, oke iklan seperenam halaman. Syaratnya, pembayaran harus dilakukan di muka. Djadjat setuju. Uang US$ 10 ribu segera diserahkan lewat bank. Dan dia pun menanti, dengan sia-sia, sampai akhirnya muncul berita tentang penipuan yang dilakukan oleh Global Network. Tersebutlah Miss Regina C. Albert, Direktur Produksi Global Network yang dipecat dari perusahaan itu Juni lalu. Berdasar dokumen yang dibawa Regina, diketahui bahwa perusahaan itu telah melakukan kecurangan. Global Network, yang dikatakan beralamat di London, sebenarnya beralamat di Madrid. Juga, perusahaan ini, pada kenyataannya, tak pernah mendapat lisensi untuk menangani sisipan bagi The Sunday Times Magazine. Entah untuk mengembalikan nama baik kliennya, Pengacara Felix Pancorbo Negueruela dari Madrid, yang menangani kasus pemecatan Regina, lalu mengirim surat kepada pengusaha-pengusaha yang ditipu oleh Global Network. Katanya, Sunday Times Magazine pun melakukan teguran keras, dan meminta agar Global Network tak membawa-bawa nama penerbitan ini, karena memang tak pernah menjalin kerja sama. Yang juga merasa sial adalah T. Aribowo, Direktur Utama PT Krakatau Steel (KS). Waktunya sama, di bulan Oktober itu juga. Sebagai eksportir baja, kita 'kan ingin dikenal oleh dunia," ujarnya kepada Budi Kusumah dari TEMPO. Setelah diwawancarai dan dipotret, Aribowo tak menolak diminta bayar di muka atas iklan yang akan dipasang. "Hanya membayar sedikit, kok," ujarnya tanpa mau menyebut jumlah. Berdasar daftar yang dikirimkan oleh Pengacara Felix, PT KS memasang iklan satu halaman, dengan bayaran US$ 29.800. Yah, Rp 30 juta. Tak semua pengusaha Indonesia kena jebak, memang. Ir. Ciputra, Presdir PT Pembangunan Jaya, cukup waspada. Meilay dan Carolina, ditemani Andrew, memang pernah datang padanya untuk wawancara. Ciputra mau, karena si pewawancara menyatakan PT PJ tak perlu pasang iklan. Nyatanya, setelah diberondong sejumlah pertanyaan, dan jeprat-jepret dengan kamera, Ciputra disodori daftar tarif iklan. "Saya tegas-tegas menolak," katanya. Juga, meski sampai beberapa kali dihubungi per telepon maupun surat, Ciputra tetap menolak memasang iklan. Sikapnya sama dengan yang dilakukan PT Hotel Indonesia International (HII). Menurut dirut hotel itu, R.M. Soerjosoemarno, sebenarnya ia sangat tertarik dengan tawaran gombal tamunya. Maklum, "Konsumen kami kebanyakan 'kan dari Eropa Barat." Bila HII lolos dari tipuan, itu karena aturan main hotel ini mengharuskan pembayaran dilakukan setelah iklan dimuat. Lalu, siapa ketiga penjual kecap itu ? Mereka tampaknya memang karyawan Global Network. Tapi, kini, entah di mana berada. Meilay, menurut sebuah sumber, sebenarnya sudah hampir lima tahun bermukim di Jakarta. Ia mengontrak sebuah rumah di Jalan Sukabumi, Jakarta Pusat, dan tinggal di situ bersama -- mungkin -- suaminya dan dua orang anak kecil. Agustus nanti, kontrakannya baru habis. Anehnya, sekitar akhir April mereka sudah cabut dari sana. Meilay, seperti halnya Andrew, kabarnya berasal dari Amerika Latin. Mungkin Panama atau Costa Rica. Masih belum jelas apakah si Andrew ini suami Meilay, atau orang lain lagi. Yang juga belum diketahui, bagaimana kemudian Meilay bisa ketemu dengan Carolina, yang tinggal di Hong Kong. Akan halnya Sukarno S.H. Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika Departemen Penerangan, mengakui bahwa dialah yang memberikan surat rekomendasi bagi "wartawati" asing itu. Sebenarnya bukan rekomendasi. "Hanya surat pengantar, yang biasa diberikan kepada wartawan asing yang akan membuat suplemen tentang Indonesia," katanya. Pihaknya kini sedang mengecek lewat KBRI London apa Sunday Times Magazine memang pernah menugasi Global Network. Surasono, Laporan Budi Kusumah, Happy Sulistyadi, A. Luqman (Biro Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini