Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Merpati,sendal, dan satu nyawa merpati, sendal, dan satu nyawa

12 oknum kepolisian kota besar Semarang, divonis karena menganiaya 3 orang remaja yang disangka mencuri. Seorang meninggal. Vonis mahkamah militer itu tidak memuaskan keluarga korban.

31 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN wajah tegang dua belas oknum, anggota Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Semarang, Sabtu pekan lalu, menunggu putusan hakim Mahkamah Militer Semarang. Mereka memang mendapat dakwaan berat, menganiaya tiga orang remaja hingga seorang di antaranya tewas. Ternyata, majelis yang diketuai Hakim Kolonel CHK Sumaryanto itu hanya menghukum ringan mereka: di bawah 1 tahun kurungan. Bahkan mahkamah tak menjatuhkan sanksi kedinasan, seperti pemecatan, kepada terhukum. Persidangan mahkamah militer yang berlangsung selama tiga hari itu sampai kepada kesimpulan bahwa 11 di antara ke-12 terdakwa terbukti melakukan penganiayaan yang menyebabkan kematian seorang remaja, Handoko. Hanya seorang dari ke-12 terdakwa yang terkena hukuman percobaan. Sebab, oknum yang satu ini tak ikut menganiaya dan hanya dipersalahkan karena tidak memberi pertolongan walau korban sudah sekarat. Mereka yang mendapat hukuman antara 5 bulan penjara dan 1 tahun adalah empat terhukum yang dianggap melakukan penganiayaan berat, yaitu Sersan Satu Untung Sumarsono, Sersan Satu Hartono, Sersan Satu Sugiyanto, dan Kopral Satu Priyono. "Keempat terhukum telah melakukan penganiayaan berat," kata Sumaryanto. Kisah penganiayaan itu berawal di bulan Maret, dua tahun lalu. Suatu malam Sertu Untung Sumarsono menangkap dua pelajar SMP, Handoko, 16 tahun, dan Agung Hendro, 17 tahun, yang dicurigai sebagai pencuri. Kedua remaja kampung Lemah Gempal itu segera diserahkan ke Poltabes. Ia sendiri kemudian pergi. Ternyata, kedua anak itu memang mencuri. Handoko menilap sepasang burung merpati, sedangkan Agung mengutil tiga pasang sendal kulit di asrama polisi Kalisari -- 500 meter dari rumah dua pemuda itu. Keberanian pencuri remaja itu beraksi di asrama Polri rupanya membuat petugas naik pitam. Empat penyidik, Sersan Mayor Subadi, Sersan Satu Sugiyanto, Sersan Kepala Endi Suwadji, dan Sersan Satu Hartono, mencoba menguras pengakuan kedua terdakwa, dengan cara kekerasan. Mereka, menurut Oditur Mayor Boniman, menghajar kedua anak itu baik dengan tangan, kaki dan sepotong besi. Untung Sumarsono, yang tak lama kemudian kembali ke kantornya, tak ketinggalan ikut menghajar anak itu. Malah, masih menurut oditur, ia mencekik leher kedua anak itu hingga mulut mereka mengeluarkan darah. Pasalnya, karena kedua terdakwa tak mau mengaku pernah mencuri anjing di kompleks polisi itu, seperti yang dituduhkan Untung. Kedua pelajar itu hanya mengaku bahwa abang Handoko, Titot Subiyarto, 19 tahun, terlibat dalam "operasi" itu. Malam itu juga Titot ditangkap. Lalu kembali tiga sekawan ini dipermak. Di kamar 17 kantor polisi itu ketiga anak tersebut "dikeroyok' oleh Kopral Satu Priyono, 42 tahun, Sersan Satu Mad Isa, 27 tahun, Sersan Satu Abdul Somad, 37 tahun, Sersan Satu Purwanto, 30 tahun, dan Sersan Kepala Bambang Suwito, 34 tahun. Keesokannya, polisi jaga diganti dengan regu pimpinan Peltu Mulyono. Ketika itu kondisi ketiga anak ini sudah parah. Sayangnya, Mulyono tidak memberikan pertolongan sebagaimana mestinya. "Ia malah melanjutkan pemeriksaan," kata oditur. Sorenya, Handoko makin parah. Barulah ketiga anak malang itu dibawa ke RS Karyadi. Tapi sia-sia. Handoko meninggal, sedangkan Agung dan Titot "hanya" mengalami patah kaki dan tangan. Vonis mahkmah militer itu tak memuaskan keluarga almarhum Handoko. "Masa cuma dihukum ringan-ringan saja dan tidak dipecat," kata ibu kandung Handoko dan Titot, Nyonya Sumarmi. Padahal, katanya, Agung dan Titot, sempat dipenjara 4 bulan dan 6 bulan karena mencuri sendal dan burung. Bunga S. dan Heddy Lugito

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus