BELAKANGAN, di hari-hari terakhirnya, Dr. Soedjatmoko banyak mengajak berpaling kembali pada agama guna menjawab banyak masalah. Dari sosial budaya sampai sosial politik. Mungkinkah itu? Di Solo pekan lalu, Mensesneg Moerdiono memberikan ceramah dalam Seminar Studi Islam Asia Tenggara. "Keterlibatan agama," kata Menteri Moerdiono, "tidak bisa lagi berupa keterlibatan langsung." Di tengah kerapian Universitas Muhammadiyah Surakarta menyelenggarakan seminar itu di antara kesungguhan diskusi para peserta, lontaran Menteri satu ini terasa sangat penting. Bacalah cuplikannya: "Saya ingin menyegarkan perhatian kita akan sejarah modernisasi dalam abad ke-17-18 di dunia Barat, yang oleh sebagian pengamat ditafsirkan hanya bisa terjadi karena mereka meninggalkan kungkungan praksis agama dalam saat itu. Kita bisa mengerti mengapa kapitalisme dan komunisme, yang merupakan reaksi terhadapnya, seakan berjalan seiring dengan sekularisme, bahkan dengan ateisme. Agama-agama, atau mungkin kepemimpinan umat beragama, mengadakan refleksi yang sungguh-sungguh terhadap peranan agama dan umat beragama dalam dunia yang sedang berubah." Karena inilah Moerdiono seperti menyepakati kesimpulan mereka yang melakukan "refleksi". Yakni keterlibatan agama dewasa ini hanya akan berupa "keterlibatan tak langsung." Sekarang, "sudah diperlukan spesialisasi yang semakin mendalam, yang diikuti oleh kemampuan berkomunikasi lintas sektoral." Banyak kalangan menyetujui pendapat tadi. Dengan menolak pemakaian istilah "langsung" atau "tidak langsung", Franz Magnis Suseno, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara mengatakan, "Agama tidak dapat mengatasi segalanya." Tugas ahli agama, katanya, adalah "mendorong semangat iman, semangat tanggung jawab, semangat menghormat saudara-saudaranya. Bukan semata pragmatis, dan teknologis." Moerdiono juga mendorong kalangan agama menjauhi kepragmatisan. "Di masa lampau, agama sering kita libatkan dalam hal-hal yang bersifat temporal seperti politik, kini terasa kebutuhan menempatkannya pada dimensinya yang lebih subtil, yaitu dimensi religiusitas itu sendiri." "Agama Kristen," kata Moerdiono lebih lanjut, "telah berhasil melewati masa reformulasi ini dalam abad-abad yang lampau. Proses reformulasi diri itu bukan merupakan tugas yang mudah. Kini giliran agama Islam, yang memang secara historis lebih muda dari agama Kristen, untuk melakukan refleksi diri dan reformulasi peranannya." Banyak pertanyaan penting yang muncul dari sini. Apakah pandangan demikian cukup punya jarak dengan sudut pandang yang "Eropa sentris?" Sudut pandang yang seharusnya sudah direvisi, tapi hingga kini masih menguasai dunia. Lagi pula, akankah Islam menempuh jalan serupa dengan yang telah ditempuh Kristen, padahal langkah keduanya nyata berbeda sejak awal? Dengan kaca mata lain. K.H. Shohib Bisri dari Pondok Pesantren Mambaul Maarif, Denanyar, Jombang, menolak pendapat Moerdiono. Baginya, pendapat itu mengesankan adanya pemisahan dimensi agama dan duniawi. Ia menyadari, banyak "manusia agama" yang tak dapat mengikuti perubahan dunia. "Itu berarti pemahaman keagamaannya rendah. Bukan sebaliknya." Kalau agamawan yang dimaksud Moerdiono adalah status, semua bakal sepakat. Hadis Nabi pun mengajarkan, "Kalau menyerahkan persoalan pada yang bukan ahlinya, tunggulah kehancurannya." Namun, kalau seorang yang mengenal prinsip dan esensi agama serta menjalankannya juga disebut agamawan, maka kesimpulannya bakal lain. Siapa yang bisa mengatakan Prof. Dr. Abdussalam -- peraih Hadiah Nobel bidang Fisika -- bukan agamawan? ZU, Sri Indrayati (Jakarta), Kastoyo Ramelan (Solo), dan Wahyu Muryadi (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini