KEPUTUSAN pemerintah mencabut paspor para buron ternyata cukup membuat pelarian itu gemetaran. Buktinya, hanya dalam waktu sepekan setelah pengumuman keras itu dikeluarkan Menteri Kehakiman, hingga pekan lalu telah lima orang dari empat belas buron yang keluar dari tempat persembunyiannya dan menyerahkan diri. Mereka itu: Kaligis, 51 tahun, Hermen, 39, Matius Kaligis, 28, Hirman, 42, serta Tonipudjo, 40. Kelima orang itu, menurut Sukarton selepas menghadap Presiden di Bina Graha Sabtu pekan lalu, adalah pelaku penyelundupan ratusan ton barang-barang elektronik eks luar negeri dengan kapal Levana dan Selat Jaya ke Kepulauan Riau. Penyelundupan tersebut terbongkar setelah kapal Sindoro, Sriyani, dan kapal Niaga XVI, yang datang dari Tanjungpinang pertengahan Mei lalu, disergap petugas Bea Cukai, ketika marapat ke Tanjungpriok. Ternyata, muatan ketiga kapal itu adalah barang-barang elektronik hasil selundupan kapal Levana dan Selat Jaya. Tapi siapa sebenarnya otak di belakang penyelundupan barang-barang elektronik dengan kapal Levana dan Selat Jaya, yang kemudian diantar-pulaukan dengan kapal Sindoro, Sriyani, dan Niaga XI itu? Ternyata, tak mudah untuk diungkapkan. Yang ramai hanya cerita tentang muatan Niaga XVI. Sebab, barang-barang di kapal itu diakui inang-inang sebagai milik mereka. Belakangan tim kejaksaan berhasil mengungkapkan pelaku utama penyelundupan itu, yaitu Kaligis dan keempat rekannya tadi. Hanya saja, sejak itu pula mereka menghilang entah ke mana. Itu sebabnya, Jaksa Agung memasukkan pula nama mereka ke dalam daftar 14 orang buron yang dilaporkan kepada Menteri Kehakiman agar dicabut paspornya. Menteri Kehakiman ternyata menyambut gagasan Sukarton itu. Pada 11 Agustus 1988, Dirjen Imigrasi memutuskan pencabutan paspor tujuh koruptor dan tujuh penyelundup yang buron itu. Pengumuman Menteri Kehakiman itu tak sia-sia. Masih di hari pengumuman, 11 Agustus, Matius Kaligis, Hirman, Tonipudjo keluar dari tempat persembunyiannya dan menyerahkan diri ke kejaksaan. Berikutnya, 13 dan 17 Agustus 1988, Hermen dan Kaligis menyusul menyerahkan diri. Sebab itu, dari 14 buron itu, kini hanya 9 orang yang masih berkeliaran. Mereka: Bambang Kasto Marzuki, Kie Sin Kiong, Dayat Hindarsin, Kie Sin Bun, Santoso Tjoa, Suhardi Ali, Eddy Hartono, serta Suluh Riyanto. Berikut ini sebagian "dosa" para buron tersebut: Kie Sin Kiong bersama dua saudaranya, Dayat Hindarsin dan Kie Sin Bun. Ketiga bersaudara itu, di persidangan in absentia Pengadilan Negeri Jakarta Utara, terbukti memanipulasi ekspor sekitar 1.630 ton bulu bebek, sejak Desember 1979 sampai April 1985, sehingga merugikan negara Rp 9,7 milyar. Karena itu, mereka, awal bulan ini, divonis hakim masing-masing 22 tahun penjara, untuk perkara korupsi dan ekonomi. Mereka juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp 9,6 milyar. Tapi vonis itu tak berarti banyak untuk tiga bersaudara tersebut. Sebab, harta kekayaan mereka yang bisa disita negara cuma bernilai Rp 150 juta. Sementara itu, mereka yang buron sejak 1986 itu, bersama keluarganya, diperkirakan kini menetap di Hong Kong atau Singapura. Santoso Tjoa alias Tjoa Hok Seng Dari kesembilan buron tersebut, ia yang dianggap pihak kejaksaan paling hebat. Ia terhitung buron paling lama, sejak 1985. Padahal, "Saya menduga dia masih berkeliaran di Jakarta," ujar Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Utara Santoso Wiwoho. Lelaki asal Belitung yang dijuluki sejawatnya godfather itu terlibat banyak perkara. Ia, misalnya, terbukti memanipulasikan Sertifikat Ekspor (SE) mainan anak-anak PT Tomy Utama Toy, sehingga merugikan negara Rp 2,4 milyar. Sebab itu Pengadilan Negeri Jakarta Utara, April lalu, menghukumnya 10 tahun penjara dan denda Rp 50 juta. Selain itu, ia diwajibkan pula membayar uang pengganti Rp 2,4 milyar. Tapi hebatnya, Tjoa tak perlu menjalani hukuman itu. Sebab, sampai kini kejaksaan tak menemukan jejaknya. Lebih hebat lagi, dengan surat kuasa beralamat Singapura, ia melalui pengacaranya sempat-sempatnya naik banding atas vonis tadi. Bambang Kasto alias Kwan Boen Hien Tjoa terlibat banyak perkara, sedangkan Bambang Kasto boleh dibilang memecahkan rekor kerugian negara tertinggi. Bambang berhasil mengeruk dana SE senilai Rp 30 milyar, lewat manipulasi ekspor gasket bahan pembuat packing mobil. Perkaranya ini akan disidangkan secara in absentia di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono, selain tetap akan membawa semua perkara mereka ke sidang, juga akan mempersempit gerak penjahat "berkerah putih" itu. Setelah gagasannya untuk mencabut paspor buron diterima Menteri Kehakiman dan kini mem, buahkan hasil, Sukarton ternyata belum puas. "Kalau perlu, KTP atau izin usaha mereka juga dicabut," kata Sukarton. Selain itu, ia juga bertekad akan menguber para buron itu di mana pun berada. Targetnya pada akhir Pelita IV ini, atau Maret 1989, semua urusan buron itu akan selesai. "Di mana pun mereka berada, kejaksaan akan mengejarnya," kata Sukarton yakin. Happy Sulisyadi & Agung Firmasyah (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini