A.M. Fatwa dan Abdul Qadir Djaelani, - dua tertuduh subversi yang dianggap terlibat dalam "kasus BCA", Senin pekan ini dituntut hukuman berat. Fatwa diminta Jaksa Soesilo Oeripto agar dihukum penjara seumur hidup, sementara Djaelani dituntut Jaksa Basrief Arief agar dijatuhi hukuman mati. Kendati menuntut berat, kejaksaan tetap tidak bisa menutupi kekhawatiran-nya akan masa penahanan kedua terdakwa yang sudah hampir habis. Sesuai dengan pasal 29 hukum acara pidana (KUHAP), kedua orang itu harus lepas demi hukum, pada 24 Desember mendatang. Padahal, setelah tuntutan, proses persidangan akan memasuki acara pembelaan dari terdakwa, replik dari jaksa, dan duplik dari terdakwa lagi, sebelum vonis. "Kami sudah kepepet waktu - mereka bisa lepas dari tahanan demi hukum bila vonis melewati 24 Desember," kata Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Bob R.E. Nasution, yang menangani kasus-kasus subversi itu. Kemungkinan Fatwa dan Djaelani menunggu vonisnya di luar tahanan memang sangat besar. Apalagi, seperti di sidang Senin itu, baik Fatwa maupun pembelanya, Luhut Pangaribuan, meminta waktu sedikitnya tiga minggu untuk membacakan pledoinya. Padahal, majelis hakim, yang diketuai B.E.D. Siregar, sudah menentukan sidang akan dibuka lagi Sabtu pekan ini. "Tapi, tolonglah, Bapak Hakim. Bapak bisa merasakan seandainya Bapak duduk di kursi saya ini. Toh, terlambatnya persidangan ini bukan karena salah saya," pinta Fatwa. Pembelanya, Luhut, pun begitu. "Apalah artinya waktu tiga minggu dibandingkan penjara seumur hidup," kata Luhut mengiba. MAJELIS hakim akhirnya memang memberikan waktu sampai Senin mendatang. "Sebab, dulu kami hanya memberikan waktu empat hari bagi jaksa untuk membuat tuntutannya. Jadi, waktu seminggu untuk Saudara sudah cukup baik. Kami minta maaf hanya mengabulkan sebagian dari permohonan Saudara," kata Siregar. Perdebatan serupa, tentang waktu dan keputusan yang sama, juga terjadi pada perkara Djaelani di ruangan lain di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan majelis hakim yang diketuai Imam Soekarno. Tapi mengapa persidangan bisa kepepet waktu? Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Bob Nasution, menuding pihak terdakwa dan pembelalah penyebabnya. Menurut Bob, dengan alasan sakit, sidang itu terpaksa ditunda berkali-kali, bahkan belakangan persidangan terhenti gara-gara pengacara dan terdakwa mogok dan meninggalkan sidang. "Baik penuntut maupun hakim sudah berusaha maksimal, tapi waktu yang diberikan KUHAP sempit, dan mereka mencoba mengulur-ulur," katanya. Ketua Majelis hakim dalam perkara Djaelani, Imam Soekarno, membenarkan, "Mungkin waktu membuat KUHAP tidak diperhitungkan bahwa ada terdakwa yang akan main-main." Tapi, Imam menghitung persidangan itu akan selesai sebelum masa penahanan habis. "Persidangan bisa diperpendek, misalnya, dengan memperpendek replik dan duplik," ujarnya. Kalau meleset juga? "Ya, terdakwa terpaksa dikeluarkan dari tahanan," tambah Imam. Namun, baik majelis maupun kejaksaan mengharapkan, agar bila situasi darurat itu terjadi, pihak Mahkamah Agung akan turun tangan dengan sebuah fatwa untuk memperpanjang waktu penahanan itu. "Kami akan melapor sebelum masa tahanan habis," kata Siregar. Tapi, rupanya, Ketua Mahkamah Agung Ali Said tidak berniat untuk itu. "Kalau masa tahanan habis dan vonis belum juga jatuh, mereka harus keluar dari tahanan," ujar Ali Said kepada TEMPO. Sebab itu, ia masih berharap persidangan itu akan selesai sesuai dengan rencana. "Replik jaksa 'kan bisa mengatakan bahwa tetap pada tuntutan. Tentu pembela juga hanya bisa berucap serupa, selesai 'kan?" kata Ali Said. Pihak terdakwa dan pembela malah akan merasa dirugikan dengan dipercepat-nya waktu persidangan itu. "Ketika saya diperiksa majelis, saya hanya diberi waktu empat jam. Masih banyak yang ingin saya katakan, tapi hakim menganggap sudah cukup," ujar Fatwa. Ia menyalahkan hakim yang tidak bisa mengatur waktu, sehingga waktu sidang menjadi sempit. "Pada awal sidang, jaksa diberi waktu selama tiga minggu, hanya untuk menjawab eksepsi saya," ujarnya. Pembela Luhut Pangaribuan juga membantah sengaja mengulur-ulur sidang agar kliennya lepas demi hukum. "Itu hanya taktik dalam menangani perkara, bukan perbuatan yang melanggar hukum," ujar Luhut. Tapi diakuinya, jika saja aparat penegak hukum konsisten dengan KUHAP, kliennya akan lepas demi hukum. Pembela H.M. Dault terus terang mengaku sengaja menunda-nunda sidang dengan cara menyatakan terdakwa sakit dengan surat dokter. "Maksudnya, agar perkara Dharsono lebih duluan diputus, bukan untuk melepaskan Djaelani dari tahanan," katanya. Jika itu bisa dicapai, ia yakin vonis untuk Djaelani akan lebih ringan. Tapi karena perkara Dharsono juga ditunda-tunda, justru atas izin hakim, katanya, ia tidak lagi berniat mengulur-ulur waktu. "Sebab, bisa memperberat hukuman," tambahnya. KI Agus B. dan Eko Y. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini