Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Vila Penguasa Hulu Cisadane

3 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANJIR besar yang melanda Jakarta awal tahun ini masih menyisakan kenangan buruk. Bundaran Hotel Indonesia, pusat kebanggaan Ibu Kota, lumpuh terendam air keruh. Gubernur Joko Widodo terpaksa naik gerobak dorong meninjau daerah terendam. Jokowi pasti punya banyak rencana mengatasi banjir di etalase Republik itu. Pembangunan kanal bawah tanah dicanangkan, sungai-sungai hendak dikeruk dan diperlebar, sumur resapan diperbanyak, rumah kumuh di bantaran sungai segera ditata. Orang nomor satu Jakarta itu hanya punya kuasa menata wilayah sendiri.

Jokowi tak bisa mengatur wilayah orang lain. Karena itu, meski program Jokowi patut didukung, banjir Jakarta tak akan bisa diatasi tanpa ikut campur tetangga. Soalnya, air yang turun dari langit di kawasan Bogor semakin hari semakin sedikit yang diserap tanah. Hutan telah berubah menjadi vila. Lalu limpahan air menyerbu kali, mencari daerah yang lebih rendah, terus mengalir sampai Jakarta. Aturan alam tentang jalannya air ini tentu saja tak peduli bahwa Bogor dan Jakarta memiliki pemimpin yang berbeda.

Maka, di musim hujan, Jokowi pasti kewalahan menerima air kiriman dari Bogor. Jumlah air yang tak tertampung daerah aliran Sungai Cisadane dahsyat: lebih dari 1,8 miliar kubik—hampir seperdelapan jumlah air yang bisa ditampung Waduk Jatiluhur. Karena pemimpin di Bogor dan Jawa Barat tak banyak berbuat, sebagian besar air tak tertampung itu berduyun-duyun menuju Ibu Kota.

Padahal para pemimpin wilayah tetangga Jakarta itu pasti tahu penyebabnya, yakni hutan di kawasan mereka sudah bersalin rupa menjadi belantara beton berupa vila mewah. Bangunan ini tanpa izin sama sekali. Bahkan ada yang dibangun di hutan lindung. Pelanggaran yang luar biasa ini patut dipidanakan berdasarkan undang-undang kehutanan dan undang-undang lingkungan hidup. Namun, karena pemilik vila adalah orang-orang yang luar biasa—pejabat, mantan pejabat, politikus, artis, atau pesohor lain—sulit menindak pelanggaran di depan mata itu.

Sesekali datanglah ke kawasan Gunung Salak, ke daerah aliran Sungai Cisadane. Seratusan vila berdiri tanpa izin. Bupati Bogor Rachmat Yasin yakin ini pelanggaran berat. Kenapa tidak dirobohkan? Alasan Bupati: vila itu berada di Lokapurna, kawasan hutan lindung yang masuk wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Itu wewenang Kementerian Kehutanan.

Astaga! Ternyata penyebab penting banjir Jakarta bukan hanya tak adanya koordinasi antara Gubernur Jakarta dan Bupati Bogor, melainkan juga tak jalannya aturan di instansi yang lebih tinggi, Kementerian Kehutanan.

Menurut Bupati, kawasan Lokapurna berbeda dengan Puncak. Di Puncak, vila berdiri di tanah negara. Bupati punya kuasa merobohkan vila yang melanggar aturan—meskipun sering kewalahan menertibkannya. Sedangkan di Lokapurna, wewenang ada di Kementerian Kehutanan.

Pada 2010, Bupati Bogor, setelah berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan, mengirim surat perintah bongkar kepada pemilik vila di Lokapurna. Tapi tiba-tiba ada kebijakan Kementerian: vila-vila itu tidak perlu dibongkar. "Saya sebagai kepala daerah kehilangan muka," ujar Bupati Bogor. Alasan Kementerian belum jelas. Tapi orang tahu di Lokapurna ada pensiunan jenderal, pemimpin partai, dan para pesohor—warga negara yang biasa berkomentar tentang pentingnya penegakan hukum.

Harus ada langkah pasti untuk menyelamatkan hutan di Puncak II—demikian julukan kawasan Lokapurna. Di kawasan Puncak yang status tanahnya lebih jelas saja pengawasan masih amburadul, apalagi di Lokapurna yang serba tak jelas. Status tanah di situ ruwet. Awalnya kawasan itu dikuasai para veteran—karena itu diberi nama Lokapurna. Belakangan, tanah berangsur-angsur pindah tangan kepada perorangan melalui "oper alih garapan". Lahan perkebunan itu tak lagi digarap keluarga veteran. Kemudian terjadilah transaksi besar-besaran dengan modus "oper alih lahan"—artinya tak lagi ada urusan garap-menggarap lahan. ­Kawasan konservasi ini lalu dimiliki orang-orang berduit Jakarta. Mereka tidak menggarap kebun, tapi membangun vila.

Anehnya, setelah terjadi banyak pelanggaran, Lokapurna dimasukkan ke kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan tahun 2003. Ini yang membuat Bupati Bogor tak berkutik. Wilayahnya itu bukan lagi wewenangnya.

Lalu bagaimana Jakarta bebas banjir bila hutan resapan di kawasan Bogor—dengan curah hujan tertinggi di Indonesia—tinggal lima persen dan seluruh limpahan air menyerbu Ibu Kota? Ironis, Jakarta terendam karena miskinnya koordinasi antarprovinsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus