BERSAMA delapan rekannya, para anggota Peradin (Persatuan
Advokat Indonesia), Boaz Pangaribuan masuk ke ruang sidang
Pengadilan Negeri Bandung. Di dalam, mereka berpisah. Yang
delapan orang menuju kursi pembela sedang Boaz seorang diri,
duduk di kursi tertuduh.
Hari-hari ini, Boaz, 41 tahun, memang tengah diadili. Jaksa
Nursaid menuduhnya telah melakukan penggelapan uang milik Noni
Suresh Bhawani, seorang pedagang benang dan kain, yang tinggal
di Bandung. Noni, pria bertubuh tegap warga negara India itu,
sekaligus menggugat dalam perkara rumah - yang kini ditempati
Boaz.
Uang yang digelapkan Boaz, menurut jaksa, tak banyak. Hanya Rp
475 ribu. Uang tersebut adalah hasil penagihan utang terhadap
Agus Hendrik, seorang pengusaha konveksi. Ketika itu, sekitar
tahun 1980, Noni menunjuk Boaz sebagai kuasanya untuk menagih
utang karena Agus, relasi dagangnya yang punya utang Rp 4 juta
lebih, seret sekali membayar. Sebagai pengacara, akhirnya Boaz
berhasil menagih Rp 380 ribu. Lalu September, Noni mencabut
kuasanya. Ternyata, menurut jaksa lagi, Boaz masih melakukan
penagihan sekali lagi sebesar Rp 95 ribu. Dan kesemua uang yang
diperoleh, berjumlah Rp 475 ribu, tak pernah disetorkan kepada
pemberi kuasa.
Pada sekitar 1980 itu pula, Noni merasa dibikin jengkel oleh
Boaz, yang dikenalnya sejak 1978. Ceritanya, ketika itu, ia
punya hubungan dagang dengan Nyonya Linawati yang menjaminkan
sebuah rumah di Jalan Kebon Manggu, Bandung, untuk barang
dagangan yang diambilnya senilai Rp 5 juta. Singkat kata,
berdasarkan putusan pengadilan, rumah tadi akhirnya harus
dilelang. Noni tak bisa membeli rumah tersebut karena statusnya
WNA. Maka, jatuhlah rumah itu ke tangan Boaz, setelah ia
"membeli"-nya seharga Rp 4,5 juta, menggunakan giro bilyet Bank
Sukapura atas nama Pershotam Hashumal, WN India, yang juga rekan
Noni.
Karena dalam perkara itu Boaz juga bertindak sebagai kuasa Noni,
uang pembelian rumah mau tidak mau dikembalikan lagi padanya,
dan langsung disetorkan pada pemberi kuasa. Sementara itu, surat
rumah karena sudah "dibeli", otomatis berganti menjadi atas nama
Boaz. Diakui bahwa yang dipakai untuk membeli rumah bukanlah
uangnya sendiri. "Tapi secara hukum, rumah itu milik saya," kata
Boaz. Ia menganggap rumah yang dihuni keluarganya sejak Juni
1980 itu adalah imbalan atas pekerjaannya mengurus kepentingan
Noni selama itu.
Sebagai "penagih utang", misalnya, ia merasa sudah
pontang-panting tak keruan. Mengirimi surat kepada relasi Noni
yang berutang, dan mengunjungi mereka, "sampai kenyang". Ia juga
sudah merasa kebal terhadap gonggongan anjing pemilik rumah yang
didatanginya. Dan untuk pekerjaan yang menuntut korban perasaan
itu, katanya, dia dijanjikan mendapat honor 20%.
Belum diketahui bagaimana putusan hakim atas perkara penggelapan
dan gugatan soal rumah yang kini dihadapi Boaz. Tapi,
sedikitnya, sekarang ini ia merasa mendapat dukungan moril dari
rekannya anggota Peradin Cabang Bandung. "Kami belum melihat
Boaz melakukan pelanggaran kode etik. Sebab itu, ia masih
anggota Peradin," kata Tanusubroto, komisaris Peradin, yang ikut
mendampingi Boaz di pengadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini