Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polisi menahan tiga penganut Marapu karena dituding merusak posko PT Muria Sumba Manis.
Sejumlah penolak kebun tebu dituduh mencemarkan nama dan menyerobot lahan PT Muria.
Lahan seorang aktivis dua kali diklaim perusahaan yang berbeda.
DELAPAN laki-laki mendatangi tenda milik pekerja PT Muria Sumba Manis (MSM) di Desa Patawang, Kecamatan Umalulu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, pada suatu siang, pertengahan Februari lalu. Dalam hitungan menit, mereka membongkar tenda berangka kayu dan beratap baliho bekas itu. “Kami sempat permisi kepada mandor yang ada di sana karena itu kemah liar,” ujar Hapu Tarambiha II, 57 tahun, kepada Tempo, pada Sabtu, 8 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sang mandor, kata Hapu, tak memprotes pembongkaran yang dilakukan penganut Marapu itu. Menurut dia, tenda tersebut berada di sekitar lokasi Katuada Njara Yuara Ahu, empat pohon yang biasa dijadikan tempat sembahyang pemeluk Marapu. Di tempat itu, mereka kerap menggelar upacara penghormatan kepada leluhur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baron Kopenga Tana Hombo /TEMPO/ Budiarti Utami Putri
Namun pegawai PT Muria Sumba Manis melaporkan perusakan itu ke Kepolisian Resor Sumba Timur pada 17 Februari lalu. Sejak Juni lalu, Hapu serta dua warga Patawang, Baron Kopenga Tana Hombo dan Retang Hadambiwa, berstatus tersangka. Pada 7 September lalu, mereka diterungku di Rumah Tahanan Kejaksaan Negeri Sumba Timur.
Sejak Muria Sumba Manis membuka kebun tebu dan pabrik gula dua tahun lalu, ada belasan penduduk Sumba Timur terjerat masalah hukum. Menurut pegiat hak komunitas penganut Marapu di wilayah itu, Rambu Dai Mami, kasus-kasus tersebut berkaitan dengan sikap masyarakat yang memprotes aktivitas PT Muria. Mereka menuding PT MSM menyerobot tempat sembahyang pengikut Marapu, juga mencaplok lahan dan tanah ulayat. “Mereka dikriminalisasi,” ucap perempuan yang bisa disapa Rambu Ami itu.
Warga Desa Wanga, Irwan Putra Lamuru, dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik karena dituduh mencemarkan nama seorang pejabat desa. Pada September 2018, dia mempersoalkan aktivitas subkontraktor di hutan Bulla dan mengaitkannya dengan pejabat desa itu di akun Facebook miliknya. Hingga Jumat, 25 September lalu, Irwan berstatus buron.
Yoseph Ndawalu, 45 tahun, warga Desa Pamburu, Kecamatan Pahunga Lodu, ditahan di Rumah Tahanan Kepolisian Resor Sumba Timur. Ia dilaporkan ke polisi oleh Umbu Wanda Angu, bekas Kepala Desa Pamburu, dengan tuduhan memalsukan 2 dari 25 tanda tangan penduduk desa di surat keberatan yang dikirimkan kepada PT Muria Sumba Manis pada 2015. Ditemui di Polres Sumba Timur pada pertengahan Agustus lalu, Yoseph mengaku menandatangani sendiri surat keberatan itu. Namun dia menyatakan dua orang yang diwakilinya sudah memberikan izin. “Dorang (dia) bilang tanda tangankan saja, dorang tanggung jawab,” tutur Yoseph.
Menurut dia, perkara pemalsuan tanda tangan itu sebenarnya sudah selesai di kantor Kecamatan Pahunga Lodu pada 2015. Yoseph pun sudah meminta maaf kepada Umbu Wanda Angu disaksikan Camat Pahunga Lodu. Namun entah kenapa perkara itu muncul lagi tahun lalu. Membenarkan acara maaf-maafan itu, Umbu Wanda menuding Yoseph tak berhenti memprovokasi penduduk desa untuk menolak PT MSM serta terus menjelekkan namanya. “Saya sakit hati karena didemo terus di sini,” ujar Umbu Wanda. Dia mengklaim pelaporan itu merupakan inisiatif pribadi tanpa permintaan pihak lain.
Yoseph Ndawalu./TEMPO/ Budiarti Utami Putri
Tiga penduduk Desa Patawang, Paulus Ana Manangu, Tomi Umbu Pura, dan Umbu Agung Lakar Hawula, juga terbelit persoalan hukum. Sejak Mei 2019, mereka menjadi tersangka pencemaran nama yang dilaporkan seorang camat. Paulus Ana bercerita, peristiwa itu bermula dari aktivitas pengukuran tanah di sekitar Kecamatan Umalulu untuk pembangunan kawasan pacuan kuda. Padahal tak pernah ada pembicaraan soal penyerahan lahan untuk proyek tersebut.
Merasa keberatan terhadap proyek itu, 41 warga Umalulu mengirimkan surat ke Badan Pertanahan Nasional Sumba Timur. Surat itu juga ditembuskan kepada Bupati Sumba Timur dan Camat Umalulu. Dari 41 pemberi tanda tangan, hanya Paulus, Tomi, dan Agung Lakar yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Meski surat itu tak terkait dengan PT Muria Sumba Manis, Paulus meyakini penetapan status tersebut tak lepas dari aktivitas mereka menolak kehadiran korporasi itu. Paulus menduga cara itu ditempuh untuk menakuti masyarakat serta menghentikan penolakan perkebunan tebu dan pabrik gula. Hingga kini perkembangan penyidikan kasus mereka belum terang.
Jeratan hukum juga membayangi Yulius Ndena, warga Desa Persiapan Yubuwai, Kecamatan Kahaungu Eti. Ia dan tiga penduduk desa diperiksa karena diduga melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dengan tuduhan menguasai lahan perkebunan PT Muria. Polisi menanyakan bukti mereka sebagai pemilik lahan. “Dari zaman nenek moyang, kami sudah punya lahan di sana,” kata Yulius.
Dia balik mempertanyakan klaim kepemilikan tanah PT Muria. Sebab, ia juga pernah dituduh menyerobot lahan milik sebuah perkebunan kapas. Menurut Yulius, perusahaan kapas itu mengklaim sudah mengantongi hak guna usaha atas tanah tersebut hingga tahun 2048. “Siapa yang sebenarnya memiliki lahan?”
Masyarakat adat Marapu bersama sejumlah pegiat lingkungan pernah mengadukan PT Muria Sumba Manis ke polisi tahun lalu. Ada empat laporan yang dibikin, dua di antaranya berisi dugaan penistaan tempat ibadah Katuada Njara Yuara Ahu. Sisanya laporan dugaan pidana lingkungan atas kerusakan hutan di Lairoka, Kecamatan Umalulu, dan hutan di Palakang, Kecamatan Pahunga Lodu. Namun tak satu pun laporan itu naik ke tahap penyidikan.
Masyarakat adat Marapu dari Kabihu Mbarapapa, Hapu Tarambiha, Agustus 2020./TEMPO/ Budiarti Utami Putri
Kepala Polres Sumba Timur Ajun Komisaris Besar Handrio Wicaksono membantah ada diskriminasi hukum terhadap masyarakat Marapu. “Tak cukup bukti,” ujar Handrio di kantornya, Agustus lalu. Kepala Unit Tindak Pidana Tertentu Polres Sumba Timur Brigadir Alex Talahatu mengatakan laporan pidana lingkungan dihentikan lantaran Lairoka dan Palakang bukan kawasan hutan. “Statusnya APL (area penggunaan lain) dan mereka punya izin lokasi.” Penyidik Polres Sumba Timur lain, Brigadir Jujun Permana Bunga, mengatakan tak ada bukti ihwal perusakan tempat ritual penganut Marapu.
PT Muria membantah berada di balik semua perkara hukum warga Sumba Timur. Melalui keterangan tertulis, Corporate Communication PT MSM Dumaria Panjaitan mengklaim perusahaannya menjadikan masyarakat Sumba Timur sebagai mitra strategis yang dihormati. “Tidak ada niat dan upaya sedikit pun untuk mencederai semangat itu,” tulis Dumaria. Ia pun membantah terjadi penyerobotan tempat sembahyang dan pencaplokan lahan masyarakat. “PT Muria taat dan patuh pada ketentuan hukum, dari proses perizinan hingga pelaksanaan kegiatan.”
Adapun pegiat hak komunitas penganut Marapu di Sumba Timur, Rambu Dai Mami, mengatakan mereka akan terus berjuang mempertahankan haknya. “Kami akan terus melawan, meski seperti semut melawan gajah,” kata Rambu Ami.
BUDIARTI UTAMI PUTRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo