Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font color=#CC0000>Tersesat</font> di Jalan Terang.

Setelah mendapat sorotan berbagai pihak, akhirnya Jaksa Agung memberhentikan Kemas Yahya Rahman dan Muhammad Salim dari tim supervisi tindak pidana. Padahal mereka sudah terjun ke lapangan.

2 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURAT itu batal dikirim ke Jaksa Agung Hendarman Supandji. Diputuskan dalam sidang pleno Komisi Kejaksaan pada Selasa pekan lalu, surat yang ditandatangani Ketua Komisi Kejaksaan Amir Hasan Ketaren itu rencananya dikirim esok harinya. Inti­nya: meminta Jaksa Agung Hendarman Supandji membatalkan pengangkatan Kemas Yahya Rahman dan Muhammad Salim menjadi Koordinator dan Wakil Koordinator Unit I Tim Satuan Khusus Supervisi dan Bimbingan Teknis Penuntutan Perkara Tindak Pidana Korupsi, Perikanan, dan Ekonomi.

Belum lagi surat itu diberangkatkan, sebuah warta penting datang dari Gedung Bundar, tempat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effen­dy berkantor. Marwan mengumumkan,­ Jaksa Agung telah membatalkan pe­nunjukan Kemas dan Salim dari jabatannya dalam tim supervisi itu. Menurut Marwan, Jaksa Agung, yang saat itu berada di Yogyakarta, telah menelepon dirinya. ”Pak Jaksa Agung memerintahkan saya pagi tadi untuk mengambil alih tugas dan kewenangan itu mulai hari ini juga,” ujar Marwan.

Keterangan Marwan disambut lega sejumlah kalangan. ”Kejaksaan sudah mendengar aspirasi publik,” kata Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Danang Widoyoko. Hasan Kateren memasukkan ”surat protes” pengangkatan Kemas dan Salim yang sudah siap ”berangkat” itu ke laci mejanya. ”Tapi kami akan tetap menemui Jaksa Agung. Banyak yang akan kami sampaikan untuk pembenahan kejaksaan,” ujar Hasan.

Dihubungi pada Kamis pekan lalu, sehari setelah pencopotan dirinya dari tim supervisi, Muhammad Salim menolak berkomentar. ”Semua tanya saja ke Kepala Pusat Penerangan Hukum,” katanya pendek. Ia tak menjawab apa pun yang ditanyakan Tempo.

l l l

DUA pekan sebelumnya, kritik deras menghujani Kejaksaan Agung. Inilah buntut dari pengangkatan Kemas Yahya dan Muhammad Salim menjadi koordinator tim supervisi itu. Keduanya ditunjuk lewat surat keputusan Jaksa Agung pada 22 Januari silam. Salim, misalnya, sudah terbang ke Ambon. Demikian pula Kemas, yang sudah menggelar rapat dengan para jaksa di Manado dan Kendari. ”Dia datang untuk mengecek sekaligus mengevaluasi kerja kejaksaan di Sulawesi Tenggara,” ujar Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara, Timbang Hutahuruk.

Menurut Timbang, Kemas berada di Kendari dari 19 hingga 22 Februari. Kasus yang dievaluasi Kemas, antara lain, dugaan korupsi pejabat Bupati Buton Utara dan korupsi dana asuransi kesehatan di Kota Baubau, serta kasus dugaan pengalihan aset negara yang diduga melibatkan mantan Wali Kota Kendari.

Berkantor di lantai enam Gedung Utama Kejaksaan Agung, Kemas dan Salim sehari-hari adalah staf ahli Jaksa Agung. Status ”staf ahli” mereka dapat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap skandal penyuapan ketua tim jaksa penyelidik kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Urip Tri Gunawan. Urip dibekuk KPK beberapa saat setelah menerima duit dari Artalyta Suryani US$ 660 ribu (sekitar Rp 6 miliar) di kediaman Sjamsul di kawasan Simprug, Jakarta Selatan, pada 2 Maret 2008.

”Serah-terima duit” dari perempuan yang dikenal dekat dengan pengusaha Sjamsul Nursalim tersebut terjadi dua hari setelah Kemas—saat itu sebagai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus—mengumumkan kejaksaan menghentikan penyelidikan kasus BLBI Bank Dagang Nasional Indonesia. Suap dari Artalyta itu ditengarai berkaitan dengan penghentian perkara Sjamsul.

Kasus ini lantas menggelinding kencang, menghantam atasan Urip, Kemas Yahya dan Salim, yang menjabat Direktur Penyidikan. Sekitar dua pekan setelah ditangkapnya Urip, Hendarman Supandji mencopot Kemas dan Salim dari jabatannya. Mereka ”ditendang ke atas”, masuk jajaran staf ahli Jaksa Agung.

Belakangan, dalam sidang Artalyta, terungkap ”posisi” Kemas dan Salim dalam pusaran ”kasus Urip-Arta­lyta”. Artalyta, misalnya, beberapa kali pernah menemui Kemas dan Salim di ruang kerjanya. Sehari setelah peng­umuman penghentian kasus BLBI Sjamsul itu, misalnya, Kemas menelepon Artalyta. Dalam percakapan yang disadap penyelidik KPK, terkesan keduanya sudah akrab. Artalyta, yang memanggil ”Bang” kepada Kemas, memuji cara Kemas memberikan pengumuman itu. ”Good, very good….”

Adapun Salim ternyata sempat membuat surat perintah penangkapan terhadap Artalyta untuk ”menyelamatkan” perempuan itu dari penangkapan KPK, beberapa saat setelah Urip ditangkap. Skenario penangkapan ini gagal karena KPK lebih cepat menangkap Artalyta.

Di sidang, ketika majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menghadirkan Hendro Dewanto, salah satu anggota tim Urip, terungkap pula bahwa ternyata Kemas tak mengumumkan kesimpulan tim yang menyatakan Sjamsul memiliki tunggakan utang kepada negara Rp 4,7 triliun. Menurut Hendro, timnya saat itu memang tidak memprotes lenyapnya hasil temuan mereka itu. ”Kami hanya hulubalang,” ujar Hendro.

Dengan ”catatan rekor” keterlibatan mereka dalam skandal Urip-Artalyta itulah, para aktivis antikorupsi terenyak saat mengetahui Kemas mendapat jabatan baru koordinator supervisi itu. ICW meminta agar Presiden Yudhoyono segera mengevaluasi kerja Hendarman. Pengangkatan Kemas dan Salim, menurut ICW, mengurangi kepercayaan publik terhadap kejaksaan. ”Itu keputusan sesat di jalan yang terang,” kata Kamal Firdaus, pengacara Yogyakarta yang pernah jadi staf ahli mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dalam ”pesan protes”-nya, yang antara lain, ia kirim ke jajaran Kejaksaan Agung.

Suara keras juga datang dari Istana Presiden. Menurut staf khusus presiden bidang hukum, Denny Indrayana, pengangkatan Kemas dan Salim mesti menunggu penyelidikan KPK selesai. ”Keterlibatan keduanya dalam kasus korupsi harus dituntaskan dulu,” katanya. Kendati Urip sudah divonis 20 tahun dan Artalyta lima tahun, KPK belum menghentikan pemeriksaan terhadap mereka yang terlibat dalam kasus ini, termasuk terhadap Kemas dan Salim.

l l l

DITUNJUKNYA Kemas dan Salim sebagai pimpinan tim supervisi, menurut Marwan, semata karena kejaksaan ingin memanfaatkan pengalaman mereka mengungkap kasus korupsi. Dalam tim itu, kata Marwan, keduanya tidak punya hak memegang kasus. ”Sebatas memberikan bimbingan teknis saja. Kalau kita katakan, ya, widyaiswara-lah,” ujar Marwan.

Tim supervisi ini sebenarnya pengembangan dari tim pengendali tuntutan perkara pidana yang dibentuk Jaksa Agung pada September 2008 dan di­resmikan bertepatan dengan Hari Antikorupsi, 9 Desember lalu. Satuan ini terdiri atas lima unit, beranggotakan 16 jaksa, dan dipimpin langsung Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Muzammi Merah Hakim. Tugas tim: melakukan supervisi pena­nganan kasus korupsi di bidang per­ikanan dan ekonomi terhadap 31 kejaksaan tinggi dan sekitar 400 kejaksaan negeri di seluruh Indonesia. Karena kekurangan pasukan, Marwan meminta personelnya ditambah. Maka, masuklah dua nama ”populer” itu: Kemas dan Salim.

Menurut sumber Tempo, Kemas sendiri yang meminta dirinya dimasukkan ke tim itu. Jaksa Agung dan Marwan setuju karena secara hukum Kemas tidak ada masalah. ”Hanya Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus yang menentukan, tidak ada pejabat lain yang dilibatkan dalam penunjukan Kemas dan Salim masuk tim tersebut,” ujar seorang petinggi kejaksaan.

Masalah muncul pada saat membicarakan posisi keduanya di tim itu. Menurut sumber Tempo lainnya, Kemas menolak posisinya di dalam unit di bawah kendali Muzammi. Alasannya, ia lebih senior dari Muzammi. ”Sebaliknya, Muzammi sempat menolak karena sejak awal ia koordinator tim itu,” ujar sumber ini.

Jalan tengah diambil. Tim Muzammi dibelah dua. Kemas dan Salim menjadi Koordinator dan Wakil Koordinator Unit I, Muzammi menjadi Ketua Koordinator Unit II. Tapi tidak ada pembagian secara tegas wilayah kerja tim karena tujuannya memang supaya ada tempat yang cocok buat Kemas dan Salim. ”Jadi, kerjanya acak saja,” ujar sumber Tempo.

Marwan tak mau berbicara tentang hal ini. ”Saya hanya mengharapkan tak ada lagi polemik dalam soal ini,” ujarnya. Adapun Kemas, sejak pekan lalu telepon genggamnya tak aktif. Rumahnya di kompleks Banjar Wijaya, Tangerang, sepi. ”Bapak ke luar kota,” ujar seorang pembantunya tatkala Tempo, Kamis pe­tang lalu, mendatangi rumahnya.

Kepada Tempo, M. Irfan Jaya, menantu Kemas yang kini Kepala Seksi Pidana di Kejaksaan Negeri Tangerang, membantah jika mertuanya yang meminta masuk tim supervisi. ”Beliau ditunjuk Jaksa Agung, bukan mengajukan diri,” ujar Irfan. Menurut Irfan, yang disangkakan masyarakat terhadap Kemas berlebih­an. ”Tugas supervisi itu memberikan pembekalan ke penyidik, bukan berka­it­an dengan materi penyidikan.”

Kendati Marwan telah mengumumkan ”pencopotan” Kemas dan Salim, Hendarman menolak jika disebut salah mengangkat orang. Menurut dia, kedua orang ini kredibel dan layak duduk dalam tim itu. ”Ada yang menganggap saya sesat dalam pengangkatan mereka. Apanya yang sesat?” kata Hendarman.

Kini formasi tim supervisi kembali ke semula, seperti saat Kemas dan Salim belum masuk. Semua di bawah kendali Muzammi. Kepada Tempo, seorang jaksa di kantor Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus menyatakan sejak awal ia sudah memperkirakan posisi Kemas sebagai koordinator pasti akan jadi masalah. ”Jika dia mau jadi anggota saja, mungkin tidak begini resistesinya,” ujarnya.

L.R. Baskoro, Rini Kustiani, Ayu Cipta, Muhammad Syaifullah (Yogyakarta), Deddy Kurniawan (Kendari)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus