Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELEMBAR surat disodorkan anggota tim penyidik independen kepada Muhtadi Asnun. Membaca sebentar, wajahnya tiba-tiba berubah jadi pucat. Diteken ketua tim, Inspektur Jenderal Matius Salempang, surat itu berisi perintah penangkapan bekas Ketua Pengadilan Negeri Tangerang tersebut.
Malam itu, Jumat dua pekan lalu, penyidik membawa Asnun ke Markas Besar Kepolisian RI. Ketua majelis hakim yang memutus bebas Gayus Tambunan dari penggelapan pajak itu diduga menerima suap. ”Dia sakit saat ditangkap, tekanan darahnya naik,” kata Alamsyah Hanafiah, pengacara Asnun.
Di Markas Besar Kepolisian, Asnun ”diinapkan” di lantai dua ruang Rupatama. Lima penyidik mencecarnya dengan berbagai pertanyaan seputar kasus Gayus. Di tengah pemeriksaan, pria kelahiran Tuban, 5 Juni 1959, itu sempat mengeluh sakit kepala dan diperiksa dokter.
Dua hari menginap di Markas Besar Kepolisian, Asnun kemudian resmi ditahan. Ia digiring ke Rumah Tahanan Badan Reserse Kriminal. Di sini, Asnun meminta satu sel dengan Misbakhun, anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang menjadi tersangka kasus pemalsuan dokumen letter of credit di Bank Century. Permintaan ini dikabulkan polisi.
Asnun merupakan satu dari sembilan orang yang ditetapkan sebagai tersangka ”kasus Gayus”. Praktek makelar kasus ini dibeberkan mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Susno Duadji, yang kini juga ditahan karena kasus arwana. Selain Asnun, para tersangka tersebut adalah Gayus Tambunan, Andi Kosasih, Haposan Hutagalung, Komisaris Arafat Enanie, Ajun Komisaris Sri Sumartini, Sjahril Djohan, Lambertus, dan Alif Kuncoro.
Penangkapan dan pemeriksaan Asnun oleh polisi ini juga ”direstui” Ketua Mahkamah Agung Harifin Andi Tumpa. Pada 6 Mei lalu, Harifin Tumpa menyetujui permintaan penyidik menahan Asnun. Sehari kemudian, keluar surat perintah Jaksa Agung Hendarman Supandji untuk menangkap Asnun.
Sebelumnya, Komisi Yudisial juga memeriksa Asnun. ”Dia yang menantang kami untuk segera diperiksa,” kata Soekotjo Soeparto, komisioner yang ikut memeriksa Asnun. Komisi memeriksa Asnun pertengahan bulan lalu.
Di awal pemeriksaan, bapak dua anak ini membantah tudingan terlibat kasus Gayus. Dia menyangkal menerima duit dari Gayus. Tapi tiga anggota Komisi yang memeriksanya, Soekotjo, Busyro Muqoddas, dan Zaenal Arifin, yakin Asnun berbohong. Soalnya, Komisi sudah mengantongi hasil pemeriksaan Gayus oleh penyidik independen. Gayus mengaku bertemu dengan Asnun di rumah dinasnya. Ia juga mengaku menyerahkan uang kepada Asnun.
Setelah dibujuk berkali-kali, Asnun baru mau buka mulut. Dia mengaku mendapat Rp 50 juta dari Gayus. Uang itu, menurut pengakuan Asnun, seperti diceritakan Busyro, digunakan untuk ibadah umrah.
SELARIK pesan mampir ke telepon seluler Nokia merah milik Gayus Tambunan pada 11 Maret lalu. Bunyinya, ”Khusus kopi saya ditambah 100% ya pak.” Pesan itu diterima sehari sebelum pria kelahiran 9 Mei 1979 itu diputus bebas dari tuduhan penggelapan pajak.
Gayus tahu siapa pengirim pesan pendek itu. Beberapa hari sebelumnya, ia mendapat nomor itu dari Ikat, panitera pengganti Pengadilan Negeri Tangerang. Itulah nomor telepon seluler Muhtadi Asnun.
Dari nomor telepon yang sama, pada pukul sembilan malam, di hari yang sama, bekas Ketua Pengadilan Negeri Tarakan ini kembali mengirim pesan ke Gayus. Dia meminta ”kopi”-nya diserahkan sebelum pukul sepuluh pagi esok harinya. Asnun rupanya terus memberondong Gayus soal kopi ini. Di waktu subuh, kembali ia mengirim pesan pendek ke Gayus. Dia memberitahukan, anaknya minta dibelikan Honda Jazz. ”Tolong kopinya ditambah 10 kg lagi, nanti permintaan Bapak saya penuhi semua.”
Soal pesan pendek tentang kopi ini diungkapkan Gayus kepada tim penyidik. Kopi itu, ujar Gayus, kata sandi untuk dolar Amerika. Kopi ditambah 100 persen merujuk pada permintaan Asnun agar setoran uang dari Gayus ditambah US$ 10 ribu. Begitu juga tambahan 10 kilogram kopi dimaksudkan agar Gayus menambah US$ 10 ribu lagi.
Esok paginya, Gayus datang ke rumah Asnun diantar Ikat. Mereka berdua datang ke rumah Asnun menunggang Toyota Avanza. Ikat menjemput Gayus di depan kantor LIA Tangerang. Tak sampai sepuluh menit, mereka berdua sudah sampai di rumah dinas Ketua Pengadilan Negeri Tangerang ini.
Asnun sudah menunggu kedatangan Gayus. Seperti permintaan Asnun, Gayus menenteng ”kopi” yang dibungkus amplop cokelat seukuran kertas folio. Dari tangan Gayus, ”kopi” itu pindah ke tangan Asnun. Menurut Gayus kepada tim penyidik, amplop itu berisi US$ 40 ribu. Pertemuan itu hanya berlangsung singkat. Mereka bubar untuk kembali ke kantor pengadilan. Beberapa jam kemudian, Asnun melunasi janjinya. Dia memvonis bebas Gayus dari dakwaan menggelapkan pajak.
Saat diperiksa tim penyidik independen, Asnun mengaku mengirim pesan pendek ke telepon seluler Gayus. Ia menyatakan menghubungi Gayus untuk meminta tolong agar pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu mencarikan pekerjaan buat anaknya yang baru lulus kuliah, bukan minta duit. Pesan pendek itu dikirim Asnun pada 24 Februari lalu. Asnun mendapat nomor Gayus dari Ikat.
Gayus merespons permintaan itu. Beberapa hari kemudian, kata Asnun, Gayus datang ke rumah dinasnya diantar Ikat. Kepada penyidik, Asnun mengaku memerintahkan Ikat menjemput Gayus. ”Mas, nanti kalau ada Gayus, tolong diantar ke rumah,” demikian ujar Asnun kepada Ikat seperti ditirukan sumber Tempo.
Selain mencarikan lowongan pekerjaan di kantor pajak, saat pertemuan itu, menurut Asnun, Gayus berjanji memberikan ongkos untuk umrah sebesar Rp 50 juta. Tiga hari setelah putusan, Asnun dan istrinya berangkat melaksanakan umrah.
Soal pertemuan itu, Gayus memiliki cerita sendiri. Kepada penyelidik, seperti diutarakan sumber Tempo, Gayus menyatakan, empat hari sebelum putusan kasusnya diketuk, ia bertemu dengan Asnun. Saat itu, ujar Gayus, Asnun memintanya ”memperhatikan” hakim-hakim yang lain.
Gayus mengartikan perkataan Asnun itu sebagai permintaan agar dia memberikan sejumlah uang kepada majelis hakim. Gayus bertanya, ”Yang pantas berapa, Pak? Apakah US$ 20 ribu cukup, Pak? US$ 10 ribu buat Bapak, dan untuk hakim anggota masing-masing US$ 5.000.” Asnun, ujar Gayus, saat itu hanya menjawab pendek, ”Oke.” Ditanya oleh penyidik tentang dialog itu, menurut sumber Tempo, Asnun menjawab, ”Tidak ingat ada dialog seperti itu.”
Alamsyah Hanafiah, pengacara Asnun, membenarkan kliennya berkomunikasi dengan Gayus. Namun dia membantah Asnun menerima uang dari Gayus. ”Baru sekadar janji, belum ada serah-terima,” kata Alamsyah.
Uang yang dijanjikan Gayus, kata Alamsyah, juga tidak besar. Gayus hanya menjanjikan uang sangu umrah Rp 50 juta. Alamsyah mengakui, Asnun meminta jumlah itu ditambah lagi seratus persen. ”Tapi, hingga Asnun pergi umrah, Gayus belum menyerahkan uang itu,” ujar Alamsyah. Ia juga menepis kliennya minta uang untuk membeli Honda Jazz. ”Tidak ada itu,” katanya.
Menurut Alamsyah, uang sangu yang dijanjikan Gayus juga tidak ada hubungannya dengan putusan bebas yang dijatuhkan majelis hakim. ”Hukumannya sesuai dengan tuntutan jaksa, hanya percobaan, tidak masuk penjara,” ujarnya.
Berbeda dengan pengakuan Gayus ke penyidik, Pia Akbar Nasution, kuasa hukum Gayus, membantah kliennya mengguyur Asnun dengan uang. Menurut Pia, Gayus tidak pernah bertamu ke rumah hakim Asnun. Dia juga membantah kliennya menyerahkan uang langsung ke Asnun. ”Semuanya lewat Haposan,” katanya.
Komisi Yudisial, yang masih penasaran dengan aliran uang Gayus, bermaksud memeriksa Asnun lagi. Mereka ingin mengetahui apakah dua anggota majelis hakim lainnya, Haran Tarigan dan Bambang Widyatmoko, juga menikmati kucuran fulus Gayus.
Menurut sumber Tempo, saat menjadi hakim di Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Lampung, pada 2009, Asnun juga pernah diduga menerima uang dari pihak yang beperkara dalam kasus perdata. Soal ini, menurut sumber Tempo, juga sudah dilaporkan ke Komisi Yudisial. Ketika ditanyai Tempo pekan lalu di kantornya, Kepala Biro Pengawasan Hakim Komisi Yudisial Eddy Hary Susanto memilih tutup mulut. ”Saya tidak mau berkomentar soal ini,” ujarnya.
Laporan harta kekayaan Asnun ke Komisi Pemberantasan Korupsi jelas menunjukkan dia bukan hakim miskin. Sampai 2008, harta Asnun tercatat Rp 1,208 miliar. Rumahnya di Jalan Langsep, Perumahan Perbon Permai, Tuban, terbilang megah. Tanah dan rumah itu dibeli pada 2000 seharga Rp 325 juta.
Komisi Yudisial sudah menyimpulkan Asnun melanggar kode etik dan perilaku hakim. Komisi merekomendasikan Asnun dipecat. Kariernya akan ”tutup buku” jika majelis kehormatan hakim sependapat dengan rekomendasi lembaga penjaga martabat hakim itu. ”Sudah pasti dia dipecat,” kata Soekotjo yakin. Dilihat dari komposisi majelis, nasib Asnun memang di ujung tanduk. Dari tujuh anggota majelis kehormatan hakim, empat di antaranya anggota Komisi Yudisial.
Sutarto (Jakarta), Sujatmiko (Tuban)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo