Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANGGODO Widjojo duduk di kursi terdakwa dengan muka meringis. Laki-laki 56 tahun ini terus-menerus memegang keningnya. ”Saya tak kuat, Yang Mulia,” katanya kepada empat hakim yang dipimpin Tjokorda Rai Suamba di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Selasa pekan lalu. Suaranya terdengar memelas.
Adik Anggoro Widjojo, tersangka korupsi pengadaan radio komunikasi di Departemen Kehutanan, ini mengaku sakit. Dokter, ujarnya, telah menyuntik sembilan titik tubuhnya. Alasan sakit ini pula yang ia pakai ketika absen pada sidang sepekan sebelumnya. Tjokorda lalu meminta dokter Komisi, Kunto Wiharto, memeriksa Anggodo. Sidang untuk sementara diskors.
Sekitar lima belas menit kemudian, Kunto melaporkan hasil pemeriksaannya. ”Kondisinya bagus, tensinya juga bagus,” katanya. Kunto mengajukan ”bukti” lain, Anggodo bisa tahan duduk di dalam mobil tahanan yang membawanya dari Penjara Cipinang, Jakarta Timur, ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Sebelum sidang dimulai, Anggodo memang terlihat sehat walafiat. Di ruang tunggu terdakwa, misalnya, ia terlihat santai merokok.
Tjokorda memutuskan sikapnya. Ia meminta jaksa Suwarji membacakan dakwaan. Mendengar perintah hakim itu, Anggodo lagi-lagi mengeluarkan jurus memelasnya. Dia menyatakan tubuhnya tak sehat untuk mengikuti sidang perdananya hari itu. ”Kalau bukan demi majelis hakim, saya sudah tersungkur,” katanya. Begitu Tjokorda meminta Anggodo menjelaskan kondisi tubuhnya, pengusaha kayu asal Surabaya ini langsung nyerocos.
Selain mengaku pusing, ia mengeluhkan punggungnya yang sakit dan pendengarannya yang terganggu. ”Kuping kanan saya budek, Yang Mulia. Saraf punggung saya terjepit dan tertarik hingga ke otak,” kata pria lulusan sekolah dasar ini dengan suara baritonnya. Tak kurang dari delapan menit Anggodo panjang-lebar menjelaskan apa yang ia rasakan. Setelah mendengar penjelasan Anggodo, hakim Tjokorda mengangguk. Bukan menyatakan sidang ditunda, tapi meminta jaksa melanjutkan membacakan dakwaannya.
Dalam surat dakwaan setebal dua belas halaman, jaksa menjerat Anggodo dengan dua pasal korupsi: bermufakat jahat menyuap pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi dan menghalang-halangi penyidikan Komisi terhadap kakaknya yang kini berstatus buron dan bersembunyi di Singapura. Untuk dakwaan pertama, ia dituduh bersekutu dengan Ary Muladi menyuap penyidik dan pemimpin Komisi Rp 5,15 miliar.
Sejumlah bukti yang dimiliki Komisi menunjuk jelas adanya perencanaan keduanya menyuap dan menggagalkan penyidikan kasus radio komunikasi yang terjadi pada 2007. Ary sendiri, sebelumnya, mengaku telah memberikan uang itu kepada dua Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah; Direktur Penyidikan Ade Rahardja; dan Bambang Widaryatmo di Pasar Festival dan Apartemen Bellagio. Tapi, belakangan, kepada penyelidik, ia merevisi pengakuannya. Duit suap itu, kata dia, dititipkan kepada Yulianto, kenalannya dari Surabaya. Adapun sosok Yulianto hingga kini tak pernah terungkap.
Para penyidik di Komisi mengira Yulianto hanya sosok fiktif untuk memutus mata rantai duit suap itu. Kendati demikian, mereka juga tak bisa membuktikan kefiktifan Yulianto. Menurut sumber Tempo, inilah yang membuat Komisi hingga kini tak menjerat Ary dengan pasal penyuapan. Tempo pernah berupaya menelusuri sosok dan keberadaan Yulianto, termasuk menyisir sejumlah nama yang berciri Yulianto seperti disebutkan Ary dan hotel tempat ia menginap atau bertemu dengan Ary. Tapi petunjuk dari Ary itu tak membawa hasil. Misalnya, soal Yulianto yang pernah bermalam di Hotel Crowne Jakarta. Petugas hotel menyatakan tak pernah ada nama Yulianto dari Surabaya bertamu ke sana (Tempo, edisi 8-14 Maret 2010).
Seorang penyidik lain bercerita, mereka sebenarnya berharap Ary mau mengungkap soal hubungannya dengan orang-orang di dalam Komisi, termasuk dengan Ade Rahardja. Sugeng Teguh Santoso, pengacara Ary, mengakui kliennya memang dicecar penyidik KPK untuk menjelaskan soal hubungannya dengan orang dalam lembaga antikorupsi itu ”Tapi ia konsisten menyatakan tak mengenal satu pun,” ujar Sugeng.
Kepada Tempo, Ary Muladi mengaku hanya pernah sekali bersalaman dengan Ade Rahardja. Adapun Ade menyangkal mengenal Ary Muladi. Tapi, belakangan, kepada penyelidik Markas Besar Kepolisian RI, Sigit Winarno, anggota staf pribadi Ade saat Ade menjabat Kepala Direktorat Reserse Kepolisian Daerah Jawa Timur pada 2002-2003, memberikan pengakuan mengejutkan. Sigit menyatakan sering melihat Ary menyambangi Ade di ruang kerja bosnya itu. Menurut Sigit, setidaknya ada empat kali keduanya bertemu. ”Satu pertemuan minimal setengah jam,” kata Sigit, yang kini masih bertugas di Kepolisian Daerah Jawa Timur.
Kendati pengakuan ini cukup jelas, penyidik tak meneruskan penelusuran hingga menemukan bukti kuat hubungan Ade dan Ary Muladi. Penyidik internal Komisi pernah memeriksa secara intensif hubungan Ary dan orang-orang di dalam lembaga itu. Namun, ketika pemeriksaan belum menghasilkan titik terang, menurut sumber Tempo, beberapa penyidik ditarik. ”Ada pula yang mengundurkan diri,” ujar sumber itu. Walhasil, pemeriksaan terhadap Ary berhenti. Hingga namanya disebut jaksa Suwarji dalam dakwaan Anggodo pekan lalu, sampai kini Komisi belum berencana memeriksa Ary kembali.
Soal penarikan penyelidik ”kasus Anggodo” ini memang kini menjadi perbincangan hangat para penyelidik KPK. Rabu pekan lalu, Markas Besar Polri pun meminta empat penyidik mereka—yang juga tengah menangani kasus Anggodo—kembali ke Markas. Kendati juru bicara Polri, Inspektur Jenderal Edward Aritonang, menegaskan penarikan itu tak ada hubungannya dengan Anggodo, sejumlah aktivis korupsi tetap mencurigai penarikan tersebut berkaitan erat dengan kasus Anggodo. Rencana penarikan itu sendiri belakangan kemudian ditunda setelah Wakil Ketua Komisi Haryono Umar dan M. Jasin, Jumat pekan lalu, menemui Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri.
JIKA duit itu hanya berhenti di Yulianto dan tak ada bukti sampai ke Chandra dan Bibit, memang pada akhirnya, posisi Anggodo terjepit. Inilah yang, menurut Sugeng, membuat Anggodo melakukan berbagai cara agar kliennya bersedia kembali ke pengakuan awal, yakni telah menyerahkan duit itu langsung kepada Bibit, Chandra, dan Ade Rahardja. ”Awalnya, melalui pengacaranya ia menawari saya dan Ary Rp 1 miliar,” kata Sugeng Santoso. ”Tapi Ary menolak.”
Menurut Sugeng, Anggodo juga memakai ”pendekatan memutar”, yakni lewat kerabat Ary. Ia, misalnya, meminta bantuan salah seorang paman Ary membujuk kliennya agar kembali mengaku telah menyerahkan duit kepada pejabat KPK. Tapi, lagi-lagi, bujukan itu tak mempan.
Anggodo menyangkal telah membujuk Ary dengan imbalan Rp 1 miliar. Menurut pengacara Anggodo, Bonaran Situmeang, justru Sugeng yang meminta kepada Anggodo Rp 3 miliar dengan dalih untuk membebaskan Ary Muladi.
Menurut Bonaran, pada 16 September 2009, Sugeng bertemu dengan Anggodo di Kafe O La La, Hotel Formula 1, Cikini, Jakarta Pusat. Kepada Anggodo, kata Bonaran, saat itu Sugeng meminta disediakan uang untuk menyogok polisi agar membebaskan kliennya. Jaminannya, Ary Muladi akan memberikan kesaksian bahwa uang suap dari Anggoro Widjojo itu langsung diterima Bibit dan kawan-kawan. Sugeng tak menyangkal pernah bertemu dengan Anggodo di O La La. Tapi, menurut dia, pertemuan itu tak membahas perihal fulus pelicin. ”Saya meminta Anggodo bertobat,” katanya.
Bagi Bonaran sendiri, putusnya aliran suap itu justru dinilai menguntungkan kliennya. Menurut dia, jika hakim jeli, dakwaan yang dibacakan jaksa Suwarji itu jelas lemah karena jaksa tak bisa membuktikan uang sampai ke tangan Bibit, Chandra, Ade Rahardja, dan Bambang Widaryatmo sebagai pejabat negara yang disuap. ”Hanya berhenti di Ary Muladi,” katanya. Artinya, kata dia, dengan demikian tak terbukti kliennya itu melakukan penyuapan.
Bagja Hidayat, Erwin Dariyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo