Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fauzi Bowo Terseret Tragedi Mbah Priok
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi saat penertiban bangunan di sekitar Makam Mbah Priok, 14 April lalu.
Ketua Tim Penyelidikan Komnas HAM Kabul Supriadie mengatakan ada kelemahan dalam perencanaan pelaksanaan Instruksi Gubernur DKI Jakarta kepada Wali Kota Jakarta Utara untuk menertibkan bangunan liar di atas tanah PT Pelabuhan Indonesia II.
Di dalam instruksi tersebut tidak jelas siapa yang paling berwenang dan memiliki otoritas untuk memutuskan maju atau mundurnya satuan pengaman jika terjadi bentrokan. "Kebijakan ini salah satu pemicu terjadinya kerusuhan, " kata Kabul, Jumat pekan lalu. Fauzi memilih tidak berkomentar atas rekomendasi tersebut. Dia mengaku masih mempelajari seluruh rekomendasi sebelum menyampaikan sikap resmi.
Tim investigasi Palang Merah Indonesia, yang melaporkan hasil pemeriksaan pada Jumat pekan lalu, juga mempersoalkan ketidakjelasan garis koordinasi. Menurut ketua tim investigasi, Ulla Rachmawaty, saat kejadian itu tidak ada struktur komando dan garis koordinasi yang jelas di antara pihak keamanan. "Sehingga terkesan terjadi pembiaran terhadap praktek kekerasan," katanya.
Penyidik KPK Batal Balik Kandang
Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia akhirnya menunda penarikan empat penyidiknya yang bertugas di Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut Wakil Ketua KPK Haryono Umar, permintaan penundaan penarikan empat penyidik polisi itu telah disetujui Kepala Polri. "Jadi akan diperpanjang sampai masa tugasnya habis," katanya setelah bertemu dengan Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri, Jumat pekan lalu.
Semula, Markas Besar Polri menyatakan akan menarik empat penyidik polisi di KPK-Afief Julian Miftah, Bambang Tertianto, Irhamni, dan Rony Samtana.
Rencana ini mengundang kritik karena keempatnya sedang menangani kasus besar KPK, di antaranya dugaan suap Anggodo Widjojo, kasus Bank Century, dan korupsi cek pelawat yang melibatkan Nunun Nurbaetie, istri bekas Wakil Kepala Polri Adang Daradjatun.
DPR Mendesak, Darmono Terdepak
Wakil Jaksa Agung Darmono akan segera lengser dari Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Jaksa Agung Hendarman Supandji mengabulkan pemeriksaan sejumlah anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat untuk menarik Darmono dari lembaga yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu. "Sudah diajukan permohonan kepada Presiden," kata Hendarman, Rabu pekan lalu.
Desakan penarikan Darmono terlontar dalam rapat dengar pendapat antara Komisi Hukum dan Kejaksaan Agung pada 5 Mei lalu. Beberapa anggota Dewan berpendapat Darmono tidak netral dalam Satuan Tugas, terutama jika menyangkut mafia di Kejaksaan.
Darmono mengaku menerima penarikan dirinya dari Satuan Tugas. Menurut dia, penggantinya sudah disiapkan. "Ia pejabat eselon dua di Kejaksaan Agung," katanya.
Pejabat Sulawesi Utara Tak Jadi Bebas
Wakil Gubernur Sulawesi Utara Freddy Harry Sualang dan Wakil Wali Kota Manado Abdi Wijaya Buchari tidak jadi menghirup udara bebas. Mereka harus kembali ke penjara setelah Mahkamah Agung membatalkan vonis bebas yang telah mereka terima.
"Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama," kata Kepala Bagian Hubungan Antar Lembaga Mahkamah Agung David M.T. Simanjuntak, Rabu pekan lalu.
Dua pejabat ini divonis bersalah dalam kasus korupsi penjualan Manado Beach Hotel pada 2003. Mereka harus menjalani penjara dua tahun serta membayar denda Rp 100 juta subsider kurungan lima bulan.
Sengkarut di Bumi Minahasa itu berawal pada 2003. Ketika itu, melalui PT Tribrata Mitra, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara melunasi utang transaksi pembelian Manado Beach Hotel kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional sebesar Rp 18 miliar. Kenyataannya, BPPN hanya menerima pembayaran Rp 6,7 miliar dari PT Tribrata Mitra.
Freddy mengaku menghormati keputusan Mahkamah Agung tersebut. "Tak ada niat saya menghindari putusan hukum ini," katanya seperti dikutip Manado Post, Rabu pekan lalu. Adapun Noldi Sulu, kuasa hukum Abdi Buchari, mengaku belum mengetahui keputusan tersebut.
Peninjauan Kembali Hadi Djamal Ditolak
Mahkamah Agung, Rabu pekan lalu, menolak permohonan peninjauan kembali perkara korupsi yang diajukan Abdul Hadi Djamal. Politikus Partai Amanat Nasional ini divonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tiga tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider empat bulan kurungan.
"Perkara diputuskan tidak dapat diterima," kata hakim agung Krisna Harahap. Menurut dia, Hadi Djamal tidak memenuhi syarat formal peninjauan kembali karena tidak hadir atau menandatangani berita acara pemeriksaan di pengadilan negeri.
Hadi Djamal menerima suap Rp 3 miliar dari Komisaris PT Kurnia Jaya Wira Bhakti Hontjo Kurniawan untuk mengegolkan stimulus di Panitia Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat. Dana itu diterimanya dari Darmawati Dareho, Kepala Bagian Tata Usaha Distrik Navigasi Tanjung Priok Kementerian Perhubungan. Juli tahun lalu, Darmawati divonis tiga tahun penjara.
Tiga bulan berikutnya, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Hadi Djamal. Tidak meminta banding ataupun kasasi, Hadi Djamal langsung mengajukan permohonan peninjauan kembali.
Hingga tulisan ini diturunkan, Hadi Djamal tak bisa dimintai konfirmasi. Radian Syam, kuasa hukumnya, juga tidak mengangkat telepon dan tak membalas pesan pendek yang dikirimkan ke telepon selulernya.
Revisi UU Pengadilan Anak Didukung
Sidang revisi terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menghadirkan Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia Aisyah Aminy, Rabu pekan lalu. Dalam kesaksiannya, Aisyah menyatakan anak yang belum akil balig atau dewasa tidak dapat diadili karena bukan subyek hukum pidana.
"Perlu peninjauan kembali terhadap undang-undang itu, khususnya tentang batas usia anak," ujar bekas politikus Partai Persatuan Pembangunan itu. Menurut dia, kemampuan berpikir anak tujuh tahun hingga memasuki masa akil balig masih lemah. Karena itu, jika anak tersebut melakukan tindak pidana, dia secara pidana tidak wajib bertanggung jawab.
Sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan mengajukan permohonan uji materi terhadap enam pasal yang ada dalam UU Nomor 3 Tahun 1997 yang dinilai melanggar UUD 1945.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo