SUASANA di Asrama Polisi Poncol, Magelang, Senin pagi, sehari sebelum Natal, tampak ceria. Seorang anggota asrama Pelda. F.X. Marsono, 45 tahun, anggota Intel Polwil Kedu, sedang duduk bersarung di serambi rumahnya sambil menimang anak tetangganya Wahyu Nugroho, bayi mungil lima bulan. Di halaman asrama terdengar senda-gurau ibu-ibu yang mengerubungi tukang sayur. Tiba-tiba muncul Wakasat Polresta Magelang Letnan Dua Lalu Rahma. Dengan muka garang dan sepucuk pistol di tangannya ia mendekati. Tentu saja Marsono cemas. Ia buru-buru bangkit dan sambil menggendong Wahyu mengambil langkah seribu. Baru beberapa langkah, sebuah letusan menyerempet lengan kanan Marsono, terus melaju ke perut Wahyu. Kontan ibu-ibu yang tadi bersenda-gurau menjerit ketakutan. Sejenak kejar-mengejar terhenti, tatkala Marsono menyerahkan Wahyu Nugroho yang berdarah kepada seorang perempuan. Kemudian kejar-mengejar terjadi lagi. Dor ...! Dor ...! Dua letusan luput. Pada letusan berikutnya, lengan kiri Marsono koyak. Korban pun tersungkur lantaran kakinya terserimpung kain sarung yang dipakainya. Marsono masih mencoba bangkit. Tetapi, Rahma yang sudah ber- diri satu meter di dekatnya melepas peluru berikutnya. Pelipis kanan lelaki kerempeng berkumis tipis itu pun tembus. Kira-kira 30 menit kemudian ia meninggal di Rumah Sakit Umum Tidar, menyusul Wahyu yang tewas di tempat kejadian. Selesai beraksi, Rahma dengan tenang melenggang ke rumahnya, yang terletak persis di belakang rumah Marsono. Hari itu juga dua anak buahnya menjemput dan membujuknya agar menyerahkan diri ke Polresta Magelang. Perbuatan Rahma, yang di lingkungan asrama dikenal pendiam, itu tentu saja menggemparkan penghuni asrama. Tak ada yang menduga lelaki berusia 45 tahun itu sanggup bertindak mengerikan. Namun, sebulan sebelum kejadian, Rahma pernah mengancam Marsono. "Pak Rahma menganggap suami saya melaporkan kejelekan-kejelekannya pada atasan Pak Rahma," ujar Nyonya Marwati, istri almarhum. Namun, penghuni asrama tidak yakin motif kasus itu hanya semata-mata dendam. Menurut sejumlah sumber, dalam dua bulan ini. Lalu Rahma memperlihatkan gejala gangguan jiwa. Gangguan kejiwaan itulah yang diduga sebagai penyebab utama kejadian itu. Sekarang Rahma memang dirawat di Rumah Sakit Tentara Soedjono. "Dia mengidap schizophrenia paranoid, sejenis gangguan mental yang berat," kata Dokter Rachma Irfan yang memeriksanya. Pada saat penembakan, kata Rachma, penderita mengalami ruptus paranoicus -- tak sadar lagi apa yang dilakukannya. "Dirinya merasa terancam dan penuh kecurigaan. Maka dia membunuh," kata Dokter Rachma Irfan lebih lanjut. Menurut Dokter Rachma, penyakit macam itu tidak datang mendadak dan mudah diteksi. "Prosesnya berlangsung satu sampai dua tahun." Lagi pula, dua minggu sebelum penembakan, Dokter Rachma sudah memeriksanya dan menganjurkan agar Rahma dirawat intensif di rumah sakit. "Tapi, dia bersikeras tidak mau mondok," kata Rachma. Persoalannya, mengapa selama ini Rahma masih diizinkan bertugas dan memegang pistol. Kapolda Jawa Tengah, Mayjen. (Pol.) Drs. Bambang Daroendrijo, mengakui keterlambatan instansinya menarik senjata itu. Namun, perihal pembebasan tugas sehubungan dengan gangguan jiwa itu, Bambang punya dalih. "Dalam kenyataan sehari-hari Rahma melakukan tugasnya dengan baik. Hanya pada waktu-waktu tertentu tingkah lakunya meledakledak." Celakanya, "ledakan sewaktu-waktu" itu telah minta korban nyawa. Priyono B. Sumbogo dan Heddy Lugito
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini