Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pak Kuncir dan Pak Tengkorak

Polisi mengusut dugaan keterlibatan guru dalam kasus pelecehan seksual di Jakarta International School. Sekolah menangkis dengan melaporkan pencemaran nama.

23 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bunyi sirene memecah keheningan malam di depan gerbang Taman Kanak-kanak Jakarta International School (JIS), Jumat dua pekan lalu. Puluhan anggota Kepolisian Daerah Metro Jaya berjaga-jaga di setiap sudut Jalan Duta Indah III, Pondok Indah, Jakarta Selatan, itu. Sempat diam sesaat, sirene kembali meraung-raung. Setengah jam lebih sirene berbunyi. "Seperti mau perang saja," ujar Abdul Hamid, warga yang tinggal tak jauh dari kompleks JIS, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Putri—bukan nama sebenarnya—ikut rombongan polisi malam itu. Menurut dia, aparat menyalakan sirene karena tak diizinkan masuk ke kompleks JIS. Petugas keamanan JIS menolak polisi yang datang tanpa berkoordinasi. Setelah Harry Pontoh dan Hotman Paris Hutapea—kuasa hukum sekolah internasional itu—datang, polisi akhirnya diberi izin masuk.

Malam itu polisi menggeledah beberapa ruangan di kompleks taman kanak-kanak. Penggeledahan itu merupakan tindak lanjut terhadap pengakuan terbaru Leo—juga bukan nama sebenarnya—korban pelecehan seksual di sekolah tersebut. Kepada penyidik, anak pertama Putri itu menyebutkan keterlibatan tiga anggota staf pengajar JIS. Dua hari sebelum penggeledahan, Putri membuat laporan tambahan ke Polda Metro Jaya.

Saat diperiksa penyidik, Leo menuturkan serangan seksual atas dirinya tak hanya dilakukan petugas kebersihan di toilet sekolah. Ia mengaku pernah disakiti di ruangan kantor di blok taman kanak-kanak. Sebelumnya, Leo hanya berani berbicara soal ini kepada ibunya dan psikolog dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak.

Leo pun dihadirkan dalam penggeledahan Jumat malam itu. Si bocah menuntun polisi ke sejumlah ruangan di kompleks TK. Leo mengajak polisi masuk ke ruangan Kepala TK Elsa Donohue dan ruang guru bimbingan konseling, Neil Bantleman, di lantai satu. Polisi lalu menggeledah ruang istirahat para guru, dapur, auditorium, dan gudang di lantai dua. "Penggeledahan dilakukan dua-tiga jam," ujar Donohue sambil menunjukkan ruangan yang digeledah polisi kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Dari tempat yang diperiksa, polisi menyita 29 benda yang diduga berhubungan dengan kejahatan pedofilia. "Barang bukti itu akan kami analisis dulu," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Heru Pranoto. Polisi juga akan menunjukkan barang itu kepada para saksi dan korban.

l l l

DUGAAN keterlibatan guru JIS semula diungkap sahabat Leo—sebut saja namanya Anthony. Orang tua Anthony membawa anaknya ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sekitar sebulan lalu, setelah Putri, orang tua Leo, membuka kasus anaknya ke publik pada pertengahan April lalu.

Di hadapan tim KPAI, Anthony mengaku melihat Leo dan korban ketiga—sebut saja namanya Diego—dilecehkan di toilet Anggrek, beberapa meter dari kelasnya. Di toilet yang sama, Anthony juga mengaku pernah diserang seseorang berambut pirang, berkuncir, dan bermata biru. Menurut dia, orang besar itu salah satu pengajar di sekolah.

Belakangan, Anthony mengidentifikasi orang besar itu sebagai Ferdinand Tjiong, asisten guru kelas I Sekolah Dasar JIS. "Sewaktu saya membuka-buka buku tahunan, anak saya langsung menunjuk foto Ferdinand," ujar Gabriella—bukan nama asli, ibu Anthony—kepada Tempo, 6 Juni lalu. Menurut Gabriella, anaknya juga mengaku diserang seorang petugas keamanan di JIS.

Pada 16 Mei lalu, Gabriella pun mengadukan cerita anaknya ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Perempuan setengah baya itu telah melaporkan kasus anaknya kepada JIS. Dia juga meminta dua orang yang ditudingnya sebagai pelaku tak lagi dipekerjakan di JIS. Tapi, beberapa hari kemudian, suami Gabriella melihat si "pelaku" masih bertugas. Sang suami pun langsung mempertanyakan soal itu kepada Elsa Donohue.

Beberapa hari kemudian, Gabriella menerima panggilan telepon dari seseorang yang mengaku Kepala Keamanan Kompleks JIS Chris McCann. "Dia bilang, 'Anda merasa aman di Indonesia? Saya tahu rumah Anda tidak ada sekuritinya'," kata Gabriella menirukan suara lelaki di ujung telepon.

Penasaran, Gabriella pun mencari tahu profil McCann. Berdasarkan data di situs JIS dan informasi sejumlah rekannya, sang ibu mendapat informasi bahwa McCann adalah penembak jitu, bekas tentara Australia. Ketakutan oleh informasi itu, Gabriella dan keluarganya memutuskan pindah ke luar negeri. "Kami merasa terancam," ucap Gabriella. "Anak kami harus mendapatkan lingkungan dan perawatan yang lebih baik."

Setelah pindah dari Indonesia, Gabriella dibuat terkaget-kaget oleh pengakuan baru anaknya. Kepada sang ibu, Anthony mengaku pernah dilecehkan oleh Neil Bantleman. Pelecehan itu, menurut Anthony, terjadi ketika dia melaporkan "serangan" yang menimpa seorang murid lain kepada guru kelas. Sang guru kelas lalu membawa Anthony menghadap Elsa Donohue. Oleh Donohue, Anthony diserahkan kepada Neil Bantleman. Anthony mengaku disakiti Bantleman di sebuah ruangan tertutup.

Kepada ibunya, Anthony juga mengaku diberi minuman berwarna biru oleh Bantleman sebelum dilecehkan. Minuman itu membuat si anak pusing dan tertidur. Sewaktu menyakiti Anthony, Bantleman disebut memakai baju khusus berwarna hitam bergambar tengkorak. "Karena itu, Anthony menyebut dia Mister Skeleton," ujarnya.

l l l

MENYELIDIKI kebenaran pengakuan Anthony, polisi melarang empat guru JIS pulang ke negara asalnya. Padahal Imigrasi telah memutuskan mendeportasi mereka karena melanggar izin tinggal. Perseteruan pihak JIS dengan sejumlah orang tua korban pun memasuki babak baru. Kamis pekan lalu, Elsa Donohue dan kawan-kawan melaporkan Gabriella ke Polda Metro Jaya. "Dia mencemarkan nama tiga guru kami," kata Kepala JIS Timothy Carr.

Dasar pelaporan itu adalah dua surat elektronik yang dikirim Gabriella kepada enam orang tua murid JIS lain. Surat pertama menyebutkan keterlibatan Neil Bantleman dan Ferdinand Tjiong, lengkap dengan foto mereka. Sedangkan surat kedua berisi salinan percakapan pesan pendek WhatsApp antara Gabriella dan seorang wali murid lain yang menyebut keterlibatan Elsa Donohue.

Dalam salinan surat elektronik yang ditunjukkan JIS kepada Tempo, Elsa Donohue dituduh terlibat langsung karena memvideokan sodomi yang dilakukan Neil Bantleman. "Pesan itu saya dapat dari orang tua murid yang menerimanya dari ibu korban kedua," ujar Donohue.

Kepada Tempo, Gabriella pernah bercerita bahwa dia memang mengirimkan e-mail berisi pengakuan anaknya beserta foto Ferdinand Tjiong dan Neil Bantleman. Itu dia lakukan karena anaknya menyebutkan ada anak lain yang pernah dibawa ke ruangan Bantleman. "Saya hanya membantu mereka yang ingin tahu apakah anaknya pernah menjadi korban atau tidak," kata Gabriella.

JIS menganggap tudingan Gabriella itu tak memiliki bukti. Untuk menangkis tuduhan, dua pekan lalu manajemen JIS mengajak sejumlah media—termasuk Tempo—melihat ruang kerja Elsa Donohue dan Neil Bantleman.

Kedua ruangan itu sebagian besar sisinya memang terbuat dari kaca tembus pandang. Itu memungkinkan gerak-gerik orang di dalam terlihat dari luar. Hanya, ruangan itu dilengkapi kerai semi-transparan. Bila kerai gantung itu diturunkan, penglihatan dari luar kaca samar-samar terhalang.

Manajemen JIS juga menyewa Chris Gould, ahli sekuriti dari Australia, untuk menginvestigasi tuduhan keterlibatan para guru. Namun Gould tak bisa memastikan keterlibatan ketiga guru. Alasannya, dia tak memiliki informasi yang cukup.

Gould malah menyoroti kejanggalan metode pencarian fakta oleh polisi. Misalnya tindakan polisi membawa anak-anak kembali ke tempat kejadian perkara. "Itu bukanlah langkah tepat karena akan menambah trauma si anak," ujarnya Kamis pekan lalu.

Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Suhardi Alius menjamin penyidik polisi bersikap profesional. Untuk menguji kebenaran cerita korban, misalnya, polisi meminta bantuan ahli psikologi anak. "Kami tak mau terburu-buru menyimpulkan," kata Suhardi, Rabu pekan lalu.

Febriyan, M. Andi Perdana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus