Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pakar Hukum Unair: Asas Kesopanan untuk Ringankan Pidana Bentuk Ketidakadilan

Pakar Hukum Pidana FH Unair, Sapta Aprilianto, menganggap asas kesopanan yang digunakan hakim untuk meringankan pidana merupakan bentuk ketidakadilan

15 Januari 2022 | 13.29 WIB

Universitas Airlangga. unair.ac.id
Perbesar
Universitas Airlangga. unair.ac.id

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Belakangan ini masyarakat Indonesia dibuat bertanya-tanya terkait asas kesopanan dijadikan alasan untuk meringankan hukuman pidana. Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair), Sapta Aprilianto, mengatakan keringanan hukum yang diberikan kepada tersangka suatu kasus pidana merupakan hak keputusan hakim. Namun, alasan kesopanan sebagai alasan merupakan bentuk ketidakadilan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Hakim harus mempertimbangkan adanya keringanan hukuman secara ketat. Karena kalau hanya dengan alasan sopan lantas mendapat keringanan, maka itu tidak adil,” kata Sapta seperti dikutip Tempo dari laman unair.ac.id, Kamis, 13 Januari 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Sapta menganggap hakim yang mengutamakan sikap sopan untuk meringankan hukuman akan mencederai nilai hukum. Sebab hal ini tidak sesuai dengan nilai hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Adapun faktor yang dapat meringankan hukuman seseorang, kata dia, harus berdasarkan fakta-fakta hukum dan latar belakang terdakwa.

Menurut dia, secara formal, undang-undang memang tidak mengatur keringanan vonis pidana, namun hakim dapat mempertimbangkannya. Dia setuju seorang terdakwa mendapatkan keringanan hukuman apabila, misalnya terdakwa tercatat berkelakuan baik sebelum melakukan tindakan pidana dan melakukan kesalahan tanpa adanya niat buruk. 

Sebelumnya dua kasus pidana menjadi sorotan publik. Pertama, kasus kaburnya Rachel Venya dari karantina sepulang dari New York, Amerika Serikat. Kedua, Gaung Sabda Alam Muhammad atau Gaga Muhammad yang karena kelalaiannya dalam berkendara sehingga menyebabkan kecelakaan. Keduanya mendapatkan vonis ringan akibat kesalahan mereka karena dianggap sopan selama proses persidangan.

Menurut Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan, Rachel Venya seharusnya mendapat hukuman penjara maksimal satu tahun dan atau denda paling banyak 100 juta rupiah. Namun pengadilan memutuskan Rachel Vennya tidak dihukum penjara karena bersikap kooperatif saat persidangan sehingga dianggap sopan.

Sementara Gaga Muhammad didakwa Pasal 310 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. Gaga Muhammad mendapatkan keringanan hukum pidana 4,5 tahun penjara dengan alasan sopan dan masih muda.

Kendati banyak masyarakat yang menilai keputusan tersebut terkesan tidak sesuai dengan prinsip keadilan dalam hukum, Sapta mengatakan keputusan tersebut merupakan bagian dari hukum dan harus dihormati. Apabila sikap hakim dirasa melanggar kode etik, maka ada tindakan dari Komisi Yudisial (KY). “KY hanya terbatas pada kode etik dan tidak bisa merubah putusan hakim,” kata dia.

HENDRIK KHOIRUL MUHID

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus