PEMUDA tinggi tegap ini, Muhammad Hardani Harahap, 22 tahun, kini boleh berlenggang-kangkung. Ia memang dinyatakan bersalah oleh hakim, tapi hukumannya cuma enam bulan dalam masa percobaan setahun. Artinya, ia tak harus masuk penjara. Padahal, dengan sedan Corollanya, Muhammad Hardani menabrak empat pejalan kaki. Salah seorang korbannya bahkan tewas. Cerita seperti ini, sebenarnya, tak baru. Tapi kisah yang terjadi di Pengadilan Negeri Tebingtinggi, Sumatera Utara, cukup seru karena, di balik lepasnya terdakwa, ada tuduhan pemerasan. Lebih seru lagi, yang menuduh terjadinya pemerasan itu adalah seorang panitera. Yang dituduh tak lain dari atasan panitera itu sendiri, para hakim di pengadilan setempat. Seperti bunyi surat pengaduan Farida Nasution, panitera itu, ke Mahkamah Agung, 22 September lalu, vonis enteng itu dijatuhkan majelis hakim, setelah oknum majelis berhasil memeras Farida Nasution, 46 tahun, Rp 3 juta. Karena pengaduan itu, sejak pekan lalu, Pengadilan Tinggi Sumatera Utara memeriksa tuduhan yang memalukan itu. Yang diperiksa adalah majelis hakim: Neris, J.H. Marpaung, dan Arifin Doloksaribu. Selain itu, Ketua Pengadilan Negeri Tebingtinggi, Marsel Buchari, diperiksa. Di pihak lain, tentu saja si pelapor, Farida, dan suaminya, Bob Harahap, dimintai keterangan. Pada mulanya, setelah tabrakan maut tadi terjadi, baik polisi maupun jaksa tidak memasukkan Muhammad Hardani Harahap ke rumah tahanan. Tapi ketika perkara mulai diadili, 3 Agustus lalu, Neris, ketua majelis hakim, memerintahkan jaksa menahan Dani nama panggilan terdakwa itu. Alasan majelis hakim mengeluarkan perintah itu, saat itu pemerintah tengah giat-giatnya melakukan kampanye UU Lalu Lintas. Lagi pula, Dani yang tinggal di Tebingtinggi, tapi kuliah di Medan, suka ngebut TebingtinggiMedan. ''Kami khawatir kasus tabrakan itu terulang,'' kata Neris. Begitu anak tunggalnya masuk rumah tahanan (rutan), Farida kontan jatuh sakit, tak masuk kerja selama 17 hari. ''Anak saya diadili kan bukan karena kejahatan,'' katanya pada TEMPO. Farida pun mengutus suaminya, Bob, kontraktor perkebunan di sana, menemui ketua pengadilan setempat, Marsel Buchari. Tapi, jawaban Marsel mengecewakan: ia mengaku tak mampu melepaskan Dani karena itu sepenuhnya hak majelis hakim. Bob tak putus asa. Ketiga hakim dimaksud dicarinya. Tapi tanpa hasil. Karena menginginkan Dani ditahan luar, Bob memasukkan permohonan penangguhan penahanan ke pengadilan, sekaligus menyerahkan uang jaminan sebesar Rp 1 juga kepada panitera pengadilan. Entah bagaimana caranya, tanpa setahu majelis hakim itu, Dani keluar dari rutan. Tentu saja Hakim Neris penasaran. Ia sempat menuduh pimpinan rutan melecehkan hukum. Rupanya, yang mengeluarkan terdakwa itu adalah rutan. Alasannya, sejak Dani masuk tahahan, ia langsung sakit-sakitan. ''Jika tiba-tiba kondisinya memburuk, kan menjadi tanggung jawab kami. Bukan tanggung jawab hakim,'' kata Nainggolan, Kepala rutan itu pada TEMPO. Tapi atas perintah Hakim Neris, apa boleh buat, esoknya Dani kembali masuk rutan. Belakangan, menurut tuduhan Farida, seorang pegawai pengadilan diutus Neris mendatangi Bob di rumahnya. Utusan itu mengabarkan bahwa majelis meminta duit Rp 3 juta agar Dani bisa lepas. Singkat kata, Bob pun memberikan duit Rp 3 juta ke tangan Munar, pegawai itu. Esoknya, Bob juga mengabari dua hakim, Marpaung dan Arifin, tentang duit Rp 3 juta itu. Maka, usai sidang pada 19 Agustus 1993, Dani dikeluarkan dari rumah tahanan, atas perintah majelis hakim. Pertimbangan majelis, karena Dani akan menghadapi ujian di kampusnya. Selain itu, orang tuanya bisa menjamin kehadiran Dani setiap kali sidang akan berlangsung. ''Tetapi sejak dikeluarkan, Dani malah makin sering tak hadir dalam persidangan,'' kata Neris, kesal. Akibatnya, kelancaran persidangan jadi terganggu. Tetapi, menurut pengakuan Farida, ada alasan mengapa jalannya persidangan jadi terganggu. ''Setelah menerima Rp 3 juta, Neris meminta lagi Rp 2 juta,'' katanya. Alasannya, jika benar, memang sangat konyol, yakni untuk biaya memperbaiki mobil Hakim Marpaung yang rusak berat karena tabrakan. Karena Bob tak juga menyetor duit itu, sidang pun jadi mundur-mundur melulu. Dalam masa inilah Neris senantiasa menghubungi Bob soal tambahan yang Rp 2 juta itu. Karena tak lagi tahan, Farida pun nekat mengadukan soal itu ke Mahkamah Agung. Nah, di sinilah anehnya. Entah karena Neris belum tahu soal pengaduan itu, atau masih mengharap duit Rp 2 juta itu, atau untuk alasan lain, vonisnya pun jatuh pada 6 Oktober lalu. Isinya, itu tadi: hukuman percobaan. Padahal jaksa menuntut Dani hukuman 6 bulan penjara. ''Jika tak mengingat sama-sama keluarga pengadilan, kami hukum saja dia seperti dituntut jaksa,'' jawab Marpaung. Bagaimana tuduhan Farida? ''Tak mungkin kami menerima duit dari bawahan sendiri,'' kata Neris. Hakim J.H. Marpaung juga menyangkal tuduhan. Ia mengaku sejak awal telah dihubungi oleh Farida. ''Tapi selalu saya tolak,'' katanya. Siapa yang benar? Masih ditunggu hasil pemeriksaan pengadilan tinggi. ''Pokoknya, keputusan sudah ada, cuma belum ditandatangani,'' kata Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, Akhmad Masrul. Bersihar, Irwan E. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini