Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Para Buruh Tidak Mengeluh

Buruh-buruh tekstil PT. Famatek mengadu ke Kejaksaan Negeri Cimahi menuntut organisasi buruh tekstil dan pangan, SBTS-FBSI yang menggelapkan uang mereka 33 juta. Disarankan diselesaikan secara musyawarah.

21 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERIBU lima ratus orang buruh pabrik tekstil PT Famatex mengadu ke Kejaksaan Negeri Cimahi. Mereka menuduh organisasi buruh tekstil dan sandang, SBTS-FBSI menggelapkan uang mereka sebanyak Rp 33 juta. Namun kejaksaan menolak pengaduan itu dan menyarankan buruh-buruh mengadu ke Bina Lindung, Depnaker, instansi yang bertugas menyelesaikan perselisihan buruh dan majikan. Oong Djoenardi, 47 tahun--buruh bagian gudang PT Famatex -- sebagai kuasa dari rekan-rekannya, merasa dirugikan dengan pemotongan uang gaji, rapel dan tunjangan istimewa tahunan sebanyak 10% tanpa sepengetahuan mereka. Pemotongan yang dilakukan SBTS-FBSI melalui perusahaan itu sudah berjalan sejak 1979. Sebab itu pula dalam pengaduan mereka 21 Juli lalu, selain Ketua SBTS-FBSI, H. Hasan Effendi, mereka juga mengadukan pimpinan PT Famatex, Johanes Effendi. "Kami benar-benar merasa dirugikan," ujar Oong Djoenardi. Lebih dari itu, sejak jadi buruh pabrik tekstil itu tahun 1969, Oong merasa belum pernah mendaftar menjadi SBTS-FBSI. Rekan-rekannya, buruh PT Famatex yang lain, kata Oong, juga tidak pernah merasakan adanya bantuan organisasi itu, baik untuk memperjuangkan gaji maupun tunjangan. "Kami hanya dijadikan sasaran pemerasan organisasi," kata Oong ketus. Seorang pimpinan PT Famatex yang tidak mau disebutkan namanya membenarkan adanya pemotongan-pemotongan itu. Tetapi uang yang terkumpul sebanyak Rp 33 juta, menurut sumber itu, belum diserahkan kepada FBSI. Ia juga mengaku mendapat tekanan dari sesuatu pihak agar memecat buruh-buruh yang melalukan protes. Sebaliknya pihak SBTS-FBSI merasa pemotongan itu merupakan konsckuensi logis karena organisasi telah memperjuangkan kenaikan upah sebesar 10% sejak tahun 1975, saat didirikannya basis SBTS-FBSI di pabrik Famatex "Uang konsolidasi itu sudah diatur dalam ART organisasi dan itu hak kami," kata H. Hasan Effendi, pengurus organisasi buruh tekstil itu. Dibenarkannya, sejak 1979 sebagian uang konsolidasi itu ditahan oleh direksi PT Famatek. H. Hasan Effendi yang juga sekretaris DPD Golkar Jawa Barat merasa pemotongan itu sudah dimusyawarahkan dengan buruh. Pemotongan yang sama juga dilakukan SBTS-FBSI di 400 perusahaan tekstil lainnya di Jawa Barat. Setiap perusahaan rata-rata harus menyetorkan uang konsolidasi sebesar Rp 6 juta setiap tahun, walau tidak semua pabrik mematuhinya. Uang itu, kata H. Hasan, digunakan untuk kepentingan organisasi. "Kalau sekarang mereka menuntut, bisa saja, toh kami benar," ujar H. llasan Bffendi. Dalam menangani kasus itu, Kejaksaan Negeri Cimahi sudah memanggil semua pihak yang tersangkut. Hasilnya, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat awal September 1981 menurunkan petunjuk "agar tidak menimbulkan keresahan, perkara itu harap dikembalikan kepada Kanwil Ditjen Bina Lindung Jawa Barat." Kejaksaan Negeri mematuhi petunjuk itu, dan menolak pengaduan Oong Djoenardi, 26 September lalu. Pihak buruh tidak merasa puas atas penolakan itu. Melalui pengacara mereka, Nawawi SH, Oong dan kawan-kawan menuntut agar Kejaksaan Tinggi Jawa Barat meneruskan perkara itu ke pengadilan. "Ini perkara pidana bukan perselisihan perburuhan," kata Nawawi berang. Tetapi seorang pejabat di Kejaksaan Tingi Jawa Barat membantah telah menolak pengaduan buruh itu. Apalagi berpihak kepada FBSI atau Famatex. "Kami hanya menyarankan persoalan itu diselesaikan melalui musyawarah dan mufakat dan caranya tentu melalui Bina Lindung," ujar pejabat itu. Pejabat yang tidak mau disebutkan namanya ini mengharapkan Bina Lindung bisa menyelesaikan persoalan perburuhan yang timbul agar tidak menimbulkan keresahan di kalangan buruh. "Kalau Bina Lindung tidak berhasil barulah kami akan menyelesaikan," ujarnya. Namun Ka Kanwil Bina Lindung Jawa Barat, Drs. Moesigit Mertoprawiro terkejut mendengar masalah itu. Ia merasa tidak mempunyai wewenang memecahkan masalah pemotongan gaji buruh-buruh, apalagi karena belum pernah dilapori. Moesigit melihat masalah buruh PT Famatex itu bukan lagi masalah perburuhan, tetapi sudah merupakan tuduhan penggelapan. Jadi harus diselesaikan melalui pengadilan. "Itu bukan wewenang kami," kata Moesigit. Buruh-buruh PT Famatex juga tidak merasa berkepentingan mengadukan pcrsoalan mereka ke Bina Lindung. "Kami menuntut hak kami yang digelapkan," kata Budianto, Sekretariat PT Famatex. Sebab itu pula, setelah penolakan dari kejaksaan, mereka melanjutkan pengaduan itu ke DPRD Jawa Barat, Gubernur--dan tidak lupa ke Pangkopkamtib.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus