SERIBU lima ratus orang buruh pabrik tekstil PT Famatex mengadu
ke Kejaksaan Negeri Cimahi. Mereka menuduh organisasi buruh
tekstil dan sandang, SBTS-FBSI menggelapkan uang mereka sebanyak
Rp 33 juta. Namun kejaksaan menolak pengaduan itu dan
menyarankan buruh-buruh mengadu ke Bina Lindung, Depnaker,
instansi yang bertugas menyelesaikan perselisihan buruh dan
majikan.
Oong Djoenardi, 47 tahun--buruh bagian gudang PT Famatex --
sebagai kuasa dari rekan-rekannya, merasa dirugikan dengan
pemotongan uang gaji, rapel dan tunjangan istimewa tahunan
sebanyak 10% tanpa sepengetahuan mereka. Pemotongan yang
dilakukan SBTS-FBSI melalui perusahaan itu sudah berjalan sejak
1979. Sebab itu pula dalam pengaduan mereka 21 Juli lalu, selain
Ketua SBTS-FBSI, H. Hasan Effendi, mereka juga mengadukan
pimpinan PT Famatex, Johanes Effendi. "Kami benar-benar merasa
dirugikan," ujar Oong Djoenardi.
Lebih dari itu, sejak jadi buruh pabrik tekstil itu tahun 1969,
Oong merasa belum pernah mendaftar menjadi SBTS-FBSI.
Rekan-rekannya, buruh PT Famatex yang lain, kata Oong, juga
tidak pernah merasakan adanya bantuan organisasi itu, baik untuk
memperjuangkan gaji maupun tunjangan. "Kami hanya dijadikan
sasaran pemerasan organisasi," kata Oong ketus.
Seorang pimpinan PT Famatex yang tidak mau disebutkan namanya
membenarkan adanya pemotongan-pemotongan itu. Tetapi uang yang
terkumpul sebanyak Rp 33 juta, menurut sumber itu, belum
diserahkan kepada FBSI. Ia juga mengaku mendapat tekanan dari
sesuatu pihak agar memecat buruh-buruh yang melalukan protes.
Sebaliknya pihak SBTS-FBSI merasa pemotongan itu merupakan
konsckuensi logis karena organisasi telah memperjuangkan
kenaikan upah sebesar 10% sejak tahun 1975, saat didirikannya
basis SBTS-FBSI di pabrik Famatex "Uang konsolidasi itu sudah
diatur dalam ART organisasi dan itu hak kami," kata H. Hasan
Effendi, pengurus organisasi buruh tekstil itu. Dibenarkannya,
sejak 1979 sebagian uang konsolidasi itu ditahan oleh direksi PT
Famatek.
H. Hasan Effendi yang juga sekretaris DPD Golkar Jawa Barat
merasa pemotongan itu sudah dimusyawarahkan dengan buruh.
Pemotongan yang sama juga dilakukan SBTS-FBSI di 400 perusahaan
tekstil lainnya di Jawa Barat. Setiap perusahaan rata-rata harus
menyetorkan uang konsolidasi sebesar Rp 6 juta setiap tahun,
walau tidak semua pabrik mematuhinya. Uang itu, kata H. Hasan,
digunakan untuk kepentingan organisasi. "Kalau sekarang mereka
menuntut, bisa saja, toh kami benar," ujar H. llasan Bffendi.
Dalam menangani kasus itu, Kejaksaan Negeri Cimahi sudah
memanggil semua pihak yang tersangkut. Hasilnya, Kejaksaan
Tinggi Jawa Barat awal September 1981 menurunkan petunjuk "agar
tidak menimbulkan keresahan, perkara itu harap dikembalikan
kepada Kanwil Ditjen Bina Lindung Jawa Barat." Kejaksaan Negeri
mematuhi petunjuk itu, dan menolak pengaduan Oong Djoenardi, 26
September lalu.
Pihak buruh tidak merasa puas atas penolakan itu. Melalui
pengacara mereka, Nawawi SH, Oong dan kawan-kawan menuntut agar
Kejaksaan Tinggi Jawa Barat meneruskan perkara itu ke
pengadilan. "Ini perkara pidana bukan perselisihan perburuhan,"
kata Nawawi berang.
Tetapi seorang pejabat di Kejaksaan Tingi Jawa Barat membantah
telah menolak pengaduan buruh itu. Apalagi berpihak kepada FBSI
atau Famatex. "Kami hanya menyarankan persoalan itu
diselesaikan melalui musyawarah dan mufakat dan caranya tentu
melalui Bina Lindung," ujar pejabat itu.
Pejabat yang tidak mau disebutkan namanya ini mengharapkan Bina
Lindung bisa menyelesaikan persoalan perburuhan yang timbul agar
tidak menimbulkan keresahan di kalangan buruh.
"Kalau Bina Lindung tidak berhasil barulah kami akan
menyelesaikan," ujarnya.
Namun Ka Kanwil Bina Lindung Jawa Barat, Drs. Moesigit
Mertoprawiro terkejut mendengar masalah itu. Ia merasa tidak
mempunyai wewenang memecahkan masalah pemotongan gaji
buruh-buruh, apalagi karena belum pernah dilapori. Moesigit
melihat masalah buruh PT Famatex itu bukan lagi masalah
perburuhan, tetapi sudah merupakan tuduhan penggelapan. Jadi
harus diselesaikan melalui pengadilan. "Itu bukan wewenang
kami," kata Moesigit.
Buruh-buruh PT Famatex juga tidak merasa berkepentingan
mengadukan pcrsoalan mereka ke Bina Lindung. "Kami menuntut hak
kami yang digelapkan," kata Budianto, Sekretariat PT Famatex.
Sebab itu pula, setelah penolakan dari kejaksaan, mereka
melanjutkan pengaduan itu ke DPRD Jawa Barat, Gubernur--dan
tidak lupa ke Pangkopkamtib.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini