REKTOR ternyata tak selalu benar, juga di universitasnya. Belum lama ini, Pengadilan Tinggi DKI menyalahkan tindakan rektor Universitas Ibnu Chaldun (UIC) Jakarta karena memecat dua mahasiswanya, Maghfur dan Ramli Amin, pada 1987. Sebab itu, bersama ketua umum Yayasan Ibnu Chaldun dan dekan Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom), rektor tersebut dihukum membayar ganti rugi kepada kedua bekas mahasiswanya itu masing-masing Rp 1 juta. Keputusan itu boleh dibilang pertama kalinya di dunia pendidikan. Dan vonis itu, kata salah seorang bekas mahasiswa itu, Ramli Amin, 36 tahun, menandai mulai masuknya "tangan" hukum ke kampus. "Selama ini, dunia pendidikan sulit terjangkau hukum, sehingga mahasiswa selalu dikalahkan," kata Ramli, yang menerima vonis itu pada Senin pekan lalu. Pada November 1986, Ramli dan Maghfur sebagai mahasiswa Fikom UIC termasuk dalam daftar 18 mahasiswa UIC yang akan ikut ujian negara tingkat sarjana muda. Belakangan, mereka mundur dari daftar peserta ujian sarjana muda karena kreditnya mencukupi untuk ujian negara. "Kalau sudah sistem SKS, kan lebih baik langsung ikut ujian negara untuk sarjana," kata Ramli. Apalagi biaya ujian negara Rp 600 ribu dirasakan amat berat. Namun, yang terjadi kemudian ibarat "mengharap hujan di langit, air di tempayan ditumpahkan". Tak disangka-sangka, pada 12 Januari 1987, mereka diskors Rektor UIC, Prof. Drs. H. Amura, selama tahun akademis 1987/1988. Baik Maghfur maupun Ramli mengaku tak tahu alasan pemecatan itu. Herannya, tanpa menempuh jalur "musyawarah", keduanya langsung membawa perkara itu ke meja hijau. Melalui kantor Pengacara Rudhy Lontoh & Denny Kailimang, Maghfur menuntut ganti rugi Rp 109 juta, sementara Ramli Rp 108 juta. Di pengadilan, pihak UIC menyatakan bahwa keputusan skors itu layak dijatuhkan kepada kedua mahasiswa tersebut. Mereka, menurut tergugat, tidak disiplin karena secara mendadak mundur dari daftar peserta ujian negara untuk sarjana muda. Yang lebih penting, kata tergugat, kedua mahasiswa itu "sembrono", sebab membongkar isi dapur Fikom di surat pembaca harian Sinar Pagi. Pengadilan Negeri Jakarta Timur, pada 13 Februari 1990, ternyata bisa menerima alasan UIC memecat kedua mahasiswa itu. Sebab itu, gugatan Maghfur dan Ramli ditolak hakim. Namun, di tingkat banding, keadaan berbalik. Menurut putusan hakim banding, yang diketuai Nyonya Maryam Soetjiati Hadi Iman, pada 4 September lalu, ketiga pimpinan UIC itu bersalah karena membuat keputusan skors untuk tahun akademis 1987/1988, yang berlaku sejak 12 Januari 1987. Padahal, tahun ajaran baru dimulai pada Juli 1987. Hanya saja, tuntutan ganti rugi tadi ternyata cuma dikabulkan Rp 1 juta -- untuk satu penggugat. Menurut Hakim Tinggi Nyonya Maryam, ganti rugi itu sudah cukup layak untuk mengkompensasi kerugian biaya pemondokan dan uang kuliah satu semester (6 bulan). Kendati begitu, Ramli menyatakan gembira atas keputusan itu. "Ganti rugi itu memang kecil sekali. Tapi yang penting kan kami menang moril," kata Ramli, yang kini menjadi wartawan koran sore Terbit. Rektor UIC, Prof. H. Amura, yang sampai pekan lalu belum menerima vonis itu, memastikan pihaknya akan kasasi. "Ini sudah masalah nama baik universitas. Bukankah dalam ajaran Islam dikatakan: mata dibayar mata, gigi dibayar gigi," kata Amura. Sementara itu, Dekan Fikom UIC, Abbas Abdullah, hanya menyayangkan sikap kedua bekas mahasiswanya itu, yang main gugat saja. "Sejak skorsing itu dijatuhkan sampai kini, mereka tak pernah mau menanyakan ihwal skorsing itu kepada kami. Padahal, pintu kami selalu terbuka," kata Abbas. Hp S. dan Sri Indrayati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini