HUKUM adat Minangkabau, Sumatera Barat, tak lagi "tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan". Para ninik-mamak, misalnya, kini cenderung menganggap tanah pusaka, yang notabene adalah hak milik kolektif suku (kaum), sebagai milik pribadinya. Mereka, tanpa menghiraukan kepentingan suku, gampang saja menjual atau menggadaikan tanah itu dan ada pula yang menyerahkannya kepada anak kandungnya. Karena itu, kini di Minang beredar pemeo "pusaka berjalan" untuk mencemoohkan ninik-mamak yang mengemudikan mobil hasil penjualan tanah pusaka. Dari tahun ke tahun, perkara adat yang sampai ke peradilan umum semakin membengkak saja. Menurut catatan Pengadilan Tinggi Sumatera Barat, pada 1987-1989 dari 837 perkara perdata, yang berasal dari 14 pengadilan negeri di situ, lebih dari 75% merupakan sengketa tanah pusaka adat. Perkembangan buruk itu terungkap lewat penataran hukum adat Minangkabau, yang diselenggarakan dalam rapat kerja para hakim se-Sumatera Barat, dua pekan lalu, di Padang. Sebanyak 142 hakim, para ketua pengadilan negeri, hakim tinggi, ketua pengadilan tinggi, dan hakim agama, mengikuti penataran tersebut. Tindakan ninik-mamak, seperti yang disebutkan di atas, tentu saja menimbulkan protes dari anak kemenakannya. Ironisnya, lembaga adat yang biasanya menyelesaikan sengketa intern suku (kaum) kini hampir tak berfungsi. Perkara pun mengalir ke pengadilan umum yang berakibat perpecahan kaum. "Kalau itu berkepanjangan, hancurlah keluarga, yang semula diikat kekerabatan," kata Ketua Kerapatan Adat Negari (KAN) Tanah Bukik, Kabupaten 50 Kota, dr. Alismaraja Datuk Sori Marajo. Kalaupun ada yang menang beperkara, sambung Datuk Sori Marajo, kerap kali si pemenang tak bisa menguasai obyek perkara. Sebab, kehadirannya -- termasuk eksistensi putusan pengadilan -- tak diterima masyarakat. Apalagi, banyak putusan pengadilan dianggap masyarakat bertentangan dengan hukum adat. Hal itu, diakui dalam penataran tadi, tak lain karena sempitnya pengetahuan hakim tentang hukum adat Minang. Kebanyakan hakim, yang bukan asli Minang itu, hanya pernah selintas membaca tentang adat Minang dalam mata kuliah hukum adat. Salah satu contoh kurangnya pengetahuan hukum adat para hakim tecermin dari keputusan Pengadilan Negeri Solok, pertengahan Oktober lalu. Hakim di situ mengabulkan gugatan seorang muda, Amrinof Dias, terhadap Manti Datuk Ula Gadang, 78 tahun, untuk memangku jabatan/gelar (sako) mamak kepala waris (pengendali harta pusaka) suku Caniago Supanjang Aro, Solok. Artinya, dengan putusan itu, Amrinof menguasai harta pusaka kaum yang semula dikuasai Datuk Ula Gadang -- antara lain sawah seluas 6.000 m2. Tak hanya itu, Datuk Ula Gadang, yang semula mamak, kini terbalik menjadi keponakan dan ahli waris dari Amrinof, yang baru berusia 30 tahun. Keruan saja, para pemangku adat menilai keputusan itu telah menjungkirbalikkan struktur adat. "Jelas, hakim tak mengerti hukum adat. Masa, jabatan mamak yang turun-temurun seolah-olah bisa ditukar ganti dan digugat di pengadilan," kata Nagari Barung-barung Balantai Pesisir Selatan, H. Abdul Kadir Usman Dt. nan Pituan. Tak hanya perubahan nilai atau ketidaktahuan hakim yang memorak-porandakan adat Minang. Juga program sertifikat tanah secara nasional. Akibatnya, tanah pusaka yang milik kaum juga harus disertifikatkan -- tentu saja atas nama para ninik-mamak. Celakanya, dengan masuknya bank ke pedesaan, sang ninik-mamak tergoda pula menjaminkan sertifikat tanah pusaka ke bank untuk kredit pribadinya. Tampaknya, budaya konsumtivisme juga ikut melanda ninikmamak, yang dulunya diagungkan sebagai orang arif, jujur, dan tanpa pamrih. Akibatnya, tentu, adat pun luluh-lantak. Karni Ilyas dan Fachrul Rasyid (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini