Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HUJAN batu mengguyur rumah Dance Henukh di Desa Kuli, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur. Ahad dinihari dua pekan lalu, lemparan batu-batu tersebut membuat wartawan harian Erende Pos dan portal Rote Ndao News itu bersama istrinya, Antonia Henukh, terbangun.
Dengan sigap Dance meraih tubuh Gino Novitri Henukh, bayi laki-laki semata wayang mereka yang baru berusia satu bulan. Di luar rumah, suara orang ribut meneriakkan nama Dance dengan ancaman akan membunuhnya.
Itu suara tetangganya sendiri. Meski samar-samar, karena malam baru merambat ke pukul 01.00, Dance mengenali orang yang berdiri paling depan di barisan pelempar batu: Yonas Nalle dan anaknya. Tapi, belum lagi mengambil tindakan apa-apa, Dance terkejut saat ia menyadari Gino tiba-tiba berhenti bernapas.
Anak yang tengah sakit ini tampaknya syok oleh lemparan batu-batu itu. Ia meninggal di pelukan ibunya. Siangnya, suami-istri Henukh mengubur Gino di pemakaman tak jauh dari rumah mereka.
Tapi, belum kering air mata, Ahad malamnya Dance dikejutkan kembali oleh suara gemuruh di samping rumah. Kali ini bukan batu, melainkan api. Api telah melalap sebagian besar rumah mereka. Dance segera memboyong istrinya dan lari menerobos api menuju hutan. Dari kejauhan, ia melihat Yonas Nalle berdiri di dekat rumahnya, yang telah jadi abu. "Ini pasti ada hubungan dengan berita yang saya tulis," kata Dance, 35 tahun, kepada Tempo.
Berita yang dimaksudkannya adalah perihal pembangunan rumah untuk transmigran lokal di desanya. Berita itu muncul di Erende Pos edisi Rabu, 7 Desember 2011. Dance menulis soal molornya pembangunan 100 unit rumah oleh Dinas Permukiman dan Transmigrasi Kabupaten Rote Ndao.
Semestinya rumah-rumah itu selesai dibangun dan ditempati penduduk pada Oktober lalu. Namun, hingga pekan ketiga Desember, baru 25 rumah yang selesai didirikan. Itu pun, menurut berita yang ditulis Dance, tak sesuai dengan bestek. Lantai yang seharusnya dibeton, misalnya, hanya ditutup rumbia dan plester semen. Dance menduga ada yang tak beres dengan penggunaan anggaran sebesar Rp 3,1 miliar itu.
Kuasa anggaran pembangunan rumah itu adalah Kepala Desa Kuli, Yunus Odilak. Tapi Dance tak meminta konfirmasi tentang tuduhan itu. Ia menulis dugaan berdasarkan wawancara dengan sejumlah transmigran yang tak ia sebutkan namanya. Yonas itu sendiri tak lain adalah saudara Yunus Odilak.
Sabtu siang sebelum datang menyerbu rumah Dance dengan batu, Yonas sudah datang menemuinya. Menurut Dance, Yonas, yang datang bersama anak dan istrinya, marah-marah. "Bunuh atau bakar saja rumahnya," kata Yonas, seperti ditirukan Dance. Tak jelas benar apa biang cekcok itu. Dance tak mau mengungkap penyebab tetangganya ini begitu murka.
Setelah Yonas pulang, Dance melapor ke Kepolisian Resor Rote Ndao soal ancaman yang diterimanya itu. Sorenya, dipimpin Kepala Satuan Reserse Kriminal Inspektur Satu Faisal Fatsey sejumlah polisi datang ke rumah Dance. Tapi, karena tak ada bukti adanya ancaman dan tak ada tanda-tanda penyerangan, Faisal dan anak buahnya pada pukul 20.00 kembali ke kantor.
Malamnya, baru Yonas datang lagi dan "merajam" rumah Dance hingga bayinya meninggal. Pada Senin, 12 Desember, Dance kembali bekerja dan menulis satu berita berjudul "Hari Ini, Komisi C DPRD Ronda Tinjau Translok Istua". "Hari ini" yang dimaksudkan berita itu adalah Selasa, 13 Desember 2011. Anggota DPRD berencana meninjau lokasi perumahan transmigran yang ditulis Dance molor dan tak sesuai dengan bestek itu.
Tak ada apa-apa setelah berita itu. Dance, bersama beberapa wartawan, baru melaporkan soal pembakaran rumahnya dua hari kemudian, pada Kamis dua pekan lalu. Ada empat nama yang ia laporkan yang ia duga pelaku pembakaran: bapak-anak Yonas, 50 tahun, dan Paulus Nalle (22), Simon Zakharias (21), serta Josi Tine (19).
Polisi bergerak cepat. Setelah memeriksa abu rumah Dance, mereka mengirimkannya ke Laboratorium Forensik Bali di Denpasar. Dua belas orang yang diduga terlibat atau setidaknya melihat pembakaran rumah Dance diperiksa. Hasilnya, empat orang itu kemudian dijadikan tersangka dan ditahan di penjara Polres Rote Ndao.
Kepada penyidik, Yonas mengaku membakar rumah Dance karena dendam. Ia tak terima dituding telah menyantet anak Dance. "Dia marah karena tuduhan itu dilontarkan di depan pendeta," kata Kepala Polres Rote Ndao Ajun Komisaris Besar Widi Atmono.
Syahdan, seperti dikisahkan Widi berdasarkan hasil pemeriksaan Yonas, warga Desa Kuli ini dipanggil ke rumah Dance, yang masih terhitung sepupu, saat seorang pendeta diminta mengobati Gino. Saat itulah Dance melontarkan tuduhan soal santet. "Kalau anak saya tak sembuh, berarti kamu yang telah suanggi (menyantet) anak saya," ujarnya. Menurut Widi, pendeta yang tak disebutkan namanya itu buru-buru menegur Dance. "Kamu jangan bicara seperti itu," kata pendeta yang juga telah diperiksa sebagai saksi itu.
Alhasil, polisi menyimpulkan pembakaran rumah Dance tak ada hubungannya dengan berita tentang dugaan korupsi pembangunan rumah transmigran. Apalagi Yonas bukan pejabat desa dan tak berhubungan dengan proyek itu yang memungkinkannya tersinggung karena dituduh korupsi.
Soal ancaman sebelum pembakaran karena berita yang ditulis Dance, polisi masih menelusurinya. Redaktur Pelaksana Erende Pos Eras Poke menyatakan tak ada ancaman atau gertakan yang diterima kantornya berkaitan dengan berita yang ditulis Dance itu. "Kami tak menerima ancaman dari mana pun," ujar Eras. Adapun Dance tetap yakin pembakaran rumahnya berhubungan dengan berita yang ia tulis. "Dia itu saudara kepala desa," katanya.
Bagja Hidayat, Yohannes Seo (Kupang)
Tersekap Saat Konfirmasi
LAIN Dance Henukh, lain pula Endang Sidin. Sementara Dance rumahnya dibakar—dan diduga karena soal berita—wartawati Erende Pos ini tersekap di kantor Sekretaris Daerah Kabupaten Rote Ndao, Agustinus Oragero, ketika akan meminta konfirmasi berita soal pembangunan jalan di Desa Kuli, Jumat dua pekan lalu.
Proyek yang memakai dana Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan itu akan menelan biaya Rp 187 juta. Menurut informasi yang diterima Endang, pemenang tender adalah CV Tugu Mandiri milik John Therik. Endang tertarik menulis soal proyek itu karena John anggota Satuan Polisi Pamong Praja Rote Ndao. Wartawati ini sudah mewawancarai petugas lelang Freddy Lenggu.
Endang kaget ketika tiba-tiba John meneleponnya. "Untuk apa Anda mencari tahu tentang tender saya?" tanya John seperti ditirukan Endang kepada Tempo, Rabu pekan lalu. "Kalau macam-macam, Anda saya makan," katanya lagi.
Meski takut, Endang, 31 tahun, pantang mundur. Pada Jumat pagi dua pekan lalu, ia pun meluncur ke kantor Bupati Rote Ndao untuk meminta konfirmasi tentang status John dan proyek itu. Sepanjang perjalanan, teleponnya terus berbunyi. John menanyakan posisinya.
Dari percakapan itu, rupanya John menyusul ke sana. Saat Endang berada di depan ruangan Agustinus itulah John menghampirinya dan mengacungkan tangan. Endang lari masuk ke ruangan Agustinus. John, yang menguber, ditahan Agustinus. "Saat itu dia bilang akan membunuh saya," ujar Endang.
Sekitar setengah jam Endang tertahan di ruangan Agustinus. Upayanya menelepon ke kantor Kepolisian Resor Rote Ndao tak berbuah hasil. Sejumlah polisi lalu lintas datang setelah Endang menelepon anggota Dewan Perwakilan Daerah, Sarah Lery Mboeik. Sarah lalu menelepon Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur.
Polisi kemudian memeriksa keduanya, juga orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu. Tapi penyidikan terhenti karena polisi tak mengantongi bukti soal ancaman dan golok yang menurut Endang dibawa John di balik bajunya. "Kasus ini butuh penyelidikan lebih lanjut," kata Kepala Polres Rote Ndao Ajun Komisaris Besar Widi Atmono.
Lewat surat yang ditujukan ke Pemimpin Redaksi Erende Pos, John mengklarifikasi informasi yang diperoleh Endang. Surat tersebut ia buat karena koran itu menurunkan berita sehari setelah peristiwa di kantor bupati dengan judul "Anggota Satpol PP Rote Ndao Ancam Bunuh Wartawan Erende Pos"—edisi 17 Desember 2011.
John mengakui ia pemilik CV Tugu Mandiri. Tapi, menurut dia, pemenang tender proyek jalan itu adalah CV Fortuna Mandiri milik Johny S. Mooy. "Saya tak pernah ikut tender proyek itu," katanya.
Ia juga menyangkal berstatus pegawai negeri sipil. "Silakan cek ke bagian kepegawaian Pemda Rote Ndao," ujar John, 30 tahun. Soal ia datang ke kantor bupati, kata John, itu untuk mengklarifikasi informasi yang diperoleh Endang agar tak sampai menjadi berita karena info Endang keliru. "Jadi bukan untuk membunuh," ujarnya.
BHD, Yohannes Seo (Kupang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo