SI KABAYAN SABA KOTA Cerita/Skenario: Min Resmana, Deddy D. Iskandar Pemain: Didi Petet, Paramitha Rusady, Nurul Arifin, Rahkmat Hidayat Musik: Harry Rusli Suradara: Maman Firmansyah Produksi: Pemda Tingkat I Bandung, PT Kharisma Jabar Film SEPERTI cerita The God Must Be Crazy, film ini menontonkan kebodohan orang kampung di kota. Kabayan dalam film ini bukan Kabayan yang kita kenal dalam cerita rakyat: pemalas yang pinter ngibul. Di sini ia dilukiskan sebagai orang lugu yang jujur dalam merebut cinta. Sampai-sampai nekat ke kota, gara-gara calon mertuanya mendambakan menantu orang kota. Dimainkan oleh Didi Petet, Kabayan muncul sebaai pemilik kebun pisang yang memiliki dua ekor kerbau di gubuknya di tengah sawah. Tak dijelaskan siapa dia. Kabayan berkenalan dengan lteung (Paramitha Rusady) di pertunjukan wayang golek. Perkenalan langsung membawa cinta. Dan cinta tak bertepuk sebelah tangan. Hanya orangtua Iteung (dimainkan Rahkmat Hidayat) jadi halangan. Dalam penPembaraannya di Bandun Kabayan akhirnya tinggal di rumah seorang kaya yang pernah ditolongnya. Sari (Nurul Arifin), anak tuan rumah, kemudian memperkenalkan Kabayan dengan kebudayaan kota: telepon, supermarket, sampai disko. Di sinilah lelucon-lelucon itu muncul. Misalnya, ketika disodori pesawat telepon, Kabayan serta-merta nyerocos saja ngomong seakan-akan itu lawan bicaranya. Di pusat perbelanjaan ia menyalami semua orang. Di dalam bar ia minta bajigur. Akhirnya, ketika menyaksikan seorang yang kekar naik lift, ia tersirap, karena ketika lift turun lagi, yang keluar ternyata sudah kerempeng. Kabayan pun ketakutan naik lift. Cerita ini amat sederhana dan dibuat juga dengan sangat sederhana. Gampang dimengerti. Tak membawa pertanyaan dan tak meninggalkan persoalan. Tanpa pretensi apa-apa. Khas hiburan untuk masyarakat kelas bawah. Otak penonton sama sekali tidak direpotkan oleh demonstrasi artistik: bloking dan komposisi gambar atau karakterisasi. Semuanya seadanya. Didi Petet memainkan Kabayan dengan hati-hati. Ia tak mau kejeblos menjadikan Kabayan dagelan konyol. Ia tak mau membuat perannya jadi karikatur. Akibat keketatannya itu, tokoh Kabayan jadi tak "panas", sebagaimana tokoh Emon dalam Catatan Si Boy. Meskipun jadi kurang ekspresif, pendekatan Didi ini menarik. karena dengan sadar ia menolak untuk melawak, tapi memainkan karakter. Sebagai akibatnya film jadi datar. Alam Priangan dan wajah Sunda pun tak sempat tertampung dalam film ini, walaupun peluang sebenarnya tidak sedikit. Sedangkan Harry Rusli, yang menggarap musik, agaknya tak sempat tergiur karena tak ada gambar atau suasana yang dapat merangsangnya. Musik baru terasa bicara dalam adagen disko. Diakhiri dengan topi Kabayan melayang sementara pemiliknya keluar frame memagut istrinya -- idiom terbagus dalam film ini -- paket ini bukan sebuah "karya" untuk dinilai, seperti kebanyakan film nasional belakangan ini. Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini