Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Penganiayaan Jurnalis di Maluku Utara: Pekerja Pers Masih Rentan

Anggota TNI AL diduga terlibat dalam penganiayaan jurnalis di Maluku Utara. Pekerja pers masih rentan.

2 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah jurnalis melakukan aksi menolak kekerasan terhadap jurnalis di depan Makodam IX/Udayana, Denpasar, 2016. Johannes P. Christo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Anggota TNI AL diduga terlibat dalam penganiayaan terhadap jurnalis di Maluku Utara.

  • Anggota TNI yang terlibat harus diseret ke pengadilan.

  • Meski dilindungi UU Pers sejak 1999, pekerja pers belum sepenuhnya aman dalam menjalankan tugas.

KOMITE Keselamatan Jurnalis (KKJ) mengecam penganiayaan jurnalis media online di Maluku Utara, Sukandi Ali, yang diduga melibatkan anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. Karena itu, KKJ mendesak Kepala Staf TNI AL memecat dan mengadili para pelaku. "Pelaku harus diadili sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," kata KKJ dalam keterangan tertulis, kemarin, 1 April 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sukandi adalah pewarta yang bekerja di media daring Sidikkasus.co.id di Maluku Utara. Ia menulis berita tentang penahanan kapal pengangkut bahan bakar minyak jenis Dexlite oleh TNI AL di perairan Bacan Timur, Halmahera Selatan, pada 20 Maret 2024. Adapun bahan bakar itu disebut milik Direktorat Polisi Air dan Udara Kepolisian Daerah Maluku Utara. Berita ini tayang pada 26 Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anggota Tim Satuan Tugas Anti-Kekerasan terhadap Wartawan Dewan Pers, Erick Tanjung, mengatakan, dua hari setelah berita itu tayang, Sukandi dijemput dua orang berseragam dinas TNI dan seorang Bintara Pembina Desa. "Dijemput tanpa ada surat resmi. Artinya ini tindakan sewenang-wenang," kata Erick, kemarin.

Sejumlah jurnalis dari berbagai organisasi berunjuk rasa mengecam aksi pemukulan dan persekusi oleh polisi di depan Kepolisian Kota Besar Bandung, Jawa Barat, Agustus 2023. TEMPO/Prima Mulia

Selanjutnya, Sukandi dibawa dengan mobil ke Pos TNI AL di Pelabuhan Perikanan Panamboang. Di tempat itu, Sukandi diinterogasi dan dianiaya. "Korban diinterogasi sambil dipukul, ditendang dengan sepatu laras, lalu dipukul juga menggunakan selang," ujar Erick.

Aliansi Jurnalis Independen Ternate telah memverifikasi kebenaran penganiayaan tersebut. Sukandi mengalami luka memar di punggung akibat cambukan. Giginya juga patah.

Menurut Erick, Sukandi dilepaskan setelah membuat pernyataan tertulis yang didikte pelaku. Salah satu pernyataannya adalah Sukandi berhenti menjadi jurnalis dan tidak boleh lagi menulis berita.

Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan kekerasan terhadap Sukandi ini harus diproses secara hukum. Apalagi kejahatan ini dilakukan dengan sengaja dan terencana. Hal itu terlihat dari aksi penjemputan hingga terjadinya penganiayaan. Padahal yang dilakukan Sukandi merupakan bagian dari kerja jurnalis karena informasi yang disampaikan sangat dibutuhkan publik. 

Komandan Pangkalan TNI AL Ternate Letnan Kolonel Marinir Ridwan Aziz meminta maaf atas perlakuan anak buahnya terhadap Sukandi. Dia menegaskan, tidak akan menoleransi anggota TNI yang sengaja melanggar hukum. "Saya pastikan setiap anggota yang melakukan pelanggaran akan ditindak," ujarnya. "Saya sudah mencopot komandan pos di pelabuhan. Saya akan tindak tegas anggota saya yang melakukan pelanggaran."

Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Arif Zulkifli mengatakan perlakuan terhadap Sukandi merupakan bentuk perbuatan yang menghalangi kerja jurnalistik. Padahal pekerja jurnalistik menjalankan tugas dengan mengikuti aturan berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. "Kita punya kewajiban membongkar itu semua," ucap Arif.

Jurnalis Masih Terancam

Meski mendapat pelindungan dari UU Pers sejak 1999, pekerja pers belum sepenuhnya aman dalam menjalankan tugas. Mereka masih saja mendapat ancaman dan intimidasi, bahkan menjadi korban kekerasan fisik, seperti yang dialami Sukandi. 

Pekan lalu, Yayasan Tifa, yang berkolaborasi dengan lembaga survei Populix, merilis Indeks Keselamatan Jurnalis 2023. Berdasarkan hasil riset yang dilaksanakan pada 1 Januari-13 Februari 2024 itu diketahui, dari 536 responden, 45 persen jurnalis pernah mengalami kekerasan.

Social Research Manager Populix Nazmi Tamara mengatakan potensi terjadinya kekerasan itu dipengaruhi oleh banyak hal. "Paling banyak karena isu peliputannya sensitif, meningkatkan risiko mendapat kekerasan," ujarnya, 28 Maret lalu.

Direktur Eksekutif Yayasan Tifa Oslan Purba mengatakan indeks ini bertujuan memetakan permasalahan yang dihadapi jurnalis, memberikan data relevan untuk mencegah kekerasan, serta meningkatkan kondisi kerja dan profesionalisme jurnalistik di Indonesia. "Diharapkan bisa menjadi salah satu alat monitoring serta menemukan faktor-faktor masalah keselamatan jurnalis," katanya.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin berpendapat, ada tiga tantangan besar yang dihadapi jurnalis ketika mengalami tindak kekerasan. Pertama, keengganan melaporkan kekerasan mereka alami. "Keengganan ini terjadi karena pada kasus-kasus sebelumnya tidak ada kemajuan meski sudah dilaporkan," ujarnya.

(Dari kanan ke kiri) Ketua Bidang Advokasi AJI Erick Tanjung, anggota Dewan Pers Arif Zulkifli, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, dan Tenaga Ahli Hukum Dewan Pers Hendrayana dalam konferensi pers merespons kasus penganiayaan wartawan oleh tiga anggota TNI AL Posal Panamboang, di gedung Dewan Pers, Gambir, Jakarta, 1 April 2024. TEMPO/Adinda Jasmine

Tantangan kedua adalah aparat penegak hukum yang lambat dalam menuntaskan kasus kekerasan yang dialami jurnalis. Adapun tantangan ketiga menyangkut perusahaan media tempat jurnalis bekerja. Sebab, tak jarang perusahaan justru tidak mendukung langkah hukum untuk menyelesaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis. "Padahal ini menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum."

Dari hasil temuan LBH Pers, penarikan laporan kasus ini terjadi karena pertimbangan lamanya proses hukum, dari tahap penyelidikan, penyidikan, hingga persidangan. Ada juga yang mempertimbangkan sisi bisnis perusahaan. Kondisi ini justru merugikan dalam konteks kekerasan yang terjadi terhadap jurnalis. "Karena ini sama-sama membiarkan terjadinya kasus-kasus kekerasan," kata Ade.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Han Revanda Putra berkontribusi dalam penulisan artikel ini

M. Faiz Zaki

M. Faiz Zaki

Menjadi wartawan di Tempo sejak 2022. Lulus dari Program Studi Antropologi Universitas Airlangga Surabaya. Biasa meliput isu hukum dan kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus