Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polisi telah mengupayakan perdamaian atau diversi dalam kasus bullying Binus School Serpong.
Keluarga korban masih belum mau berdamai.
Berbagai pihak meminta agar upaya itu terus dilakukan demi kebaikan korban dan pelaku.
JAKARTA — Kepolisian Resor Tangerang Selatan menetapkan 12 orang sebagai pelaku perundungan atau bullying terhadap rekannya sesama siswa Sekolah Menengah Atas BSS di Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Upaya diversi atau perdamaian antara pihak pelaku dan korban untuk saat ini masih belum menemukan titik terang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penetapan status tersangka itu dilakukan setelah polisi melakukan gelar perkara. "Total yang ditetapkan 12 orang dengan rincian 8 anak berkonflik dengan hukum dan 4 orang tersangka," kata Kasat Reskrim Polres Tangsel AKP Alvino Cahyadi dalam konferensi pers, Jumat, 1 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alvino menyatakan empat orang menjadi tersangka karena sudah berusia di atas 18 tahun, sementara delapan lainnya disebut sebagai anak berkonflik dengan hukum (ABH) karena masih berusia di bawah 18 tahun. Penetapan 8 ABH ini membuat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mendorong polisi mengutamakan upaya diversi.
Pelaksana tugas Asisten Deputi Bidang Pelayanan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus Kementerian PPPA, Atwirlany Ritonga, dalam konferensi pers yang sama menyatakan upaya diversi harus dijalankan karena merupakan mandat dari Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). “Karena memang ancaman pidananya juga di bawah 7 tahun penjara," kata Atwirlany.
Orang tua pelaku sebenarnya sudah sejak awal meminta agar kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan. Aktor berinisial VR, yang anaknya ikut terjerat dalam kasus ini, sempat meminta agar korban mau berdamai dan berdiskusi. “Semoga bisa menemukan titik terang untuk berdamai dan diskusi. Dan juga semua bisa kembali normal," ujarnya pada 22 Februari lalu.
Meski demikian, upaya diversi ini tampaknya tak mendapatkan sambutan positif dari keluarga korban. Pengacara keluarga korban, Muhammad Rizki Firdaus, menyatakan sempat bertanya kepada kliennya soal bagaimana harapan mereka terhadap penyelesaian kasus ini. “Hanya dengan diputus pidana itu adalah keadilan sebaik-baiknya," kata Rizki, menirukan pernyataan orang tua korban.
Geng Tai Bullying Binus School Serpong
Ketentuan soal diversi tercantum dalam Pasal 5 hingga Pasal 15 UU SPPA. Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menjelaskan bahwa diversi merupakan suatu upaya untuk menghapus stigma buruk terhadap pelaku tindak pidana di bawah umur. Upaya perdamaian ini dilakukan di luar jalur peradilan. “Diversi itu penyelesaian perkara di luar pengadilan oleh semua pihak yang terkait dengan atau tanpa kompensasi kepada korban tergantung kesepakatan yang dicapai,” kata Fickar kepada Tempo, Ahad, 3 Maret 2024.
Fickar menjelaskan, diversi berbeda dengan konsep restorative justice (RJ) atau keadilan restoratif yang juga dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Menurut dia, diversi bisa dilakukan tanpa membawa perkara ke pengadilan, sementara RJ menekankan proses hukum tetap berjalan tapi putusannya mempertimbangkan kesepakatan yang tercapai di antara kedua belah pihak.
Dengan kata lain, kata Fickar, diversi merupakan penghapusan tindak pidana yang dilakukan, sementara pada pelaksanaan RJ, tindak pidana tetap tercatat di pengadilan tapi ditulis telah diselesaikan secara keadilan restoratif. “Meskipun diversi tidak ada putusan pengadilan, tapi tetap tercatat pada instansi penegak hukum tingkat penanganannya,” katanya.
Merujuk pada Pasal 7 ayat 1 UU SPPA, diversi wajib dilakukan di setiap tingkatan, dari penyidikan, penuntutan, hingga saat pemeriksaan perkara di pengadilan. Artinya proses diversi ini tidak hanya dilakukan pada tahap penyidikan di kepolisian. Ayat 2 dalam pasal itu pun mengatur soal dua syarat kasus bisa menggunakan upaya diversi. Pertama, jika ancaman pidananya di bawah 7 tahun penjara. Kedua, tindak pidana tersebut baru pertama kali dilakukan oleh pelaku.
Suasana Binus School Serpong di Tangerang, Banten, 21 Februari 2024. TEMPO/Febri Angga Palguna
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menekankan upaya perdamaian harus dikedepankan apa pun pemaknaannya, baik diversi maupun restorative justice, dalam peradilan anak. Dia menilai perdamaian lebih memberikan banyak manfaat baik kepada pelaku maupun korbannya.
Bagi pelaku, menurut dia, peluang untuk mengulangi kejahatan seperti itu akan lebih rendah. Sedangkan bagi korban, “Peluang memperoleh restitusi lebih tinggi,” kata Reza saat dihubungi kemarin.
Senada dengan Reza, Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti menilai upaya diversi harus dilakukan semaksimal mungkin. Menurut dia, anak sebagai pelaku kejahatan harus dipandang juga sebagai korban. Setidaknya korban dari pola pengasuhan di rumah, atau pendisiplinan di sekolah, atau perilaku orang dewasa di lingkungan anak itu. “Diversi ini dianggap sebagai bentuk bahwa anak itu bisa dan pasti salah, kemudian diberi kesempatan untuk memperbaiki diri,” kata eks Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia itu.
Retno pun mengatakan, upaya diversi bisa mengurangi potensi dendam pada diri pelaku. Menurut dia, pelaku bisa saja menyimpan dendam jika perkara tersebut berlanjut di pengadilan. “Andaikan anak-anak pelaku ini tidak terima (dipenjara), suatu saat dia, tuh, akan membalas dendam,” kata Retno.
Meski demikian, kata Retno, proses diversi juga tidak dipaksakan. Merujuk pada Pasal 13 UU SPPA, Retno menyatakan kasus tersebut tetap bisa berjalan hingga keluar putusan berkekuatan hukum tetap jika pihak pelaku dan korban tidak mencapai kata sepakat. Selain itu, dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa proses peradilan anak dapat dilanjutkan jika pelaku tak menjalankan kesepakatan yang sudah tercapai. “Jadi, kalau merasa diversi bukan bentuk keadilan, ya, UU SPPA juga mengizinkan untuk dilanjutkan ke pengadilan,” kata dia.
Tapi, Retno melanjutkan, UU SPPA juga memiliki pengecualian dari sistem peradilan pada orang dewasa. Dalam peradilan anak, menurut dia, tidak ada hukuman mati dan hukuman seumur hidup. Tuntutan tertinggi bagi ABH, menurut dia, hanya 10 tahun penjara. Berdasarkan berbagai kasus yang pernah berjalan sampai putusan, menurut Retno, hakim biasanya akan memberikan hukuman jauh lebih ringan ketimbang kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa. “Dalam beberapa kasus bahkan dikembalikan ke orang tua,” kata dia.
Pakar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada, Muhammad Fatahillah Akbar, pun mengatakan, dalam diversi harus ditekankan agar dapat mengakomodasi keinginan korban. Misalnya permintaan maaf hingga meminta ganti rugi. “Harus kesepakatan korban dan ditujukan untuk pemulihan korban,” kata Fatahillah.
Fickar pun menekankan upaya diversi harus tetap dijalankan di setiap tingkatan proses hukum, bukan hanya di tingkat penyidikan. Jika benar-benar tidak tercapai kata sepakat sampai akhir, menurut dia, korban tetap bisa mengajukan restitusi. “Pelaku tidak lolos dari kewajiban kompensasi, perkara pidana bisa lanjut,” kata dia.
ADE RIDWAN YANDWIPUTRA | M. IQBAL | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo