ELSINA, 42 tahun, meratapi tewasnya, Wenda, 15 tahun, Sabtu dua pekan lalu. Dalam ratapannya, ia menguakkan rahasia yang 17 tahun tertutup, tentang ayah Wenda, yakni Donatus Watratan abang kandung Elsina sendiri. Donatus, 50 tahun, seorang wiraswata di Merauke, Irian Jaya. Adiknya, Elsina, Norberta, 36 tahun, dan dua orang tuanya di Desa Rumadian, Kecamatan Kei Kecil, Maluku Tenggara, tahun 1976 berkunjung ke Mereuke. Mereka hidup serumah. Suatu hari terjadilah hubungan intim yang dilakukan Donatus terhadap kedua adiknya. Perbuatan itu berulang, sehingga Norberta melahirkan tiga bayi yang tidak dalam selamat. Elsina melahirkan Wenda dan Helena. Keduanya cacat, yang lazim akibat hubungan sedarah (incest). Wenda pincang, dan adiknya, kini 13 tahun, cacat mental. Mengetahui ulah suaminya, istri Donatus dan dua anaknya minggat. Tapi orang tua Donatus tidak tahu kelakuan anak lelakinya terhadap kedua adiknya itu. Tiga bulan di Mereuke, mereka bersama Donatus kembali ke desanya. Di Rumadian, kehidupan seperti di Merauke berlanjut lagi, tanpa diketahui warga. Mereka baru geger ketika Elsina meratapi kematian anaknya. Mendengar asal Wenda, warga memberikan reaksi secara adat: tak mau melayat. ''Kami tidak mau terkena wabah penyakit,'' kata kepala adat Rumadian, Pius Renyan, 75 tahun, kepada Mochtar Touwe dari TEMPO. Perbuatan yang dilakukan Donatus dan keluarganya, menurut Pius, bertentangan dengan hukum adat Larhul Ngabal, yang bisa menyebabkan wabah penyakit bagi masyarakat sekitarnya. Karena itu, mayat Wenda tidak diizinkan dikubur di pemakaman desa. Pastor juga menampik memimpin upacara. Kemudian, rapat adat memutuskan: mayat Wenda dikuburkan di bawah pohon mangga tempat ia jatuh dan tewas. Dan ketiga pelaku hubungan sedarah itu harus diusir dari desa. Kini mereka tinggal dalam hutan, jauh dari Desa Rumadian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini