SEKALI-SEKALI, ternyata rupiah bisa unjuk potensi juga. Selama bertahun-tahun, alat pembayaran yang sah di republik ini hanya bisa ''melengos'' terhadap dolar. Bahkan terhadap mata uang Jepang, yen, rupiah ''merunduk'' dalam-dalam. Tapi, sejak September silam, rupiah diam-diam bisa mengimbangi beberapa mata uang kuat dunia. Entah dari mana kekuatan itu datangnya, yang pasti kurs rupiah menguat sekaligus, baik terhadap dolar, yen, maupun mark (lihat grafik). Seperti diketahui, selama ini nilai tukar rupiah dikatakan mengambang terkendali. Tapi, nyatanya, kurs tersebut condong mengikuti gerak kurs dolar Amerika. Jika dolar melemah, kurs rupiah terhadap valuta asing seperti yen (Jepang) dan mark (Jerman) ikut melayang. Sebaliknya, kalau dolar menguat, rupiah yang diperlukan untuk membeli yen dan mark semakin sedikit. Lalu, apa yang menyebabkan rupiah kali ini bisa menguat, khususnya terhadap tiga mata uang dunia tadi? ''Perkembangan di pasar modal Indonesia,'' ujar Paul Sutopo, Direktur Bank Indonesia (BI) yang kini juga merangkap juru bicara BI. Jawaban yang singkat itu tentu memerlukan penjelasan lebih jauh. Paul Sutopo menyebutkan, perkembangan kurs uang dipengaruhi faktor-faktor fundamental dan faktor teknis. Faktor fundamental adalah takaran-takaran ekonomi makro, berupa pertumbuhan ekonomi, inflasi, suku bunga, dan neraca pembayaran. Adapun faktor-faktor teknis mencakup permintaan dan penawaran uang, atau keterangan pejabat moneter yang mempengaruhi ulah para spekulan di pasar uang dunia. Menguatnya rupiah belakangan ini mungkin erat berkaitan dengan faktor-faktor fundamental dan faktor teknis tadi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif cukup tinggi ketimbang negara-negara industri maju. Apalagi suku bunga deposito turun dan kelak akan disusul dengan turunnya suku bunga pinjaman, maka biaya modal bagi para pelaku ekonomi pun akan bertambah ringan. Tak mengherankan bila belakangan ini banyak investor asing dan manajer dana luar negeri berbondong-bondong menanamkan uang di pasar modal. Kebetulan pula, banyak saham baru yang sedang ditawarkan di bursa. Faktor teknisnya adalah penawaran dolar di Indonesia yang kini lebih banyak. ''Para investor dan manajer asing ini membawa dolar yang banyak, sehingga mempengaruhi suplai dolar di sini,'' tutur Direktur BI tadi. Onggokan rupiah hasil penjualan dolar tersebut ternyata tidak dibiarkan (oleh BI) untuk bergentayangan di pasar. Dengan alat penghisap uang beredar yang disebut sertifikat Bank Indonesia (SBI), banyak rupiah yang masuk kerangkeng. Menurut Laporan Mingguan BI edisi 11 November 1993, nilai SBI pada pertengahan November berjumlah sekitar Rp 21,5 triliun. Dan Desember ini, angka itu dipastikan akan meningkat lagi. Soalnya, angka inflasi sampai Oktober sudah mendekati 9%, sedangkan Pemerintah tak menginginkan inflasi menembus angka 10 (double digit). ''Saat ini kami perlu lagi menjual SBI. Sebagai instrumen moneter, kita harus melihat likuiditas pada masyarakat. Kalau likuiditas terlalu besar, dapat menyebabkan inflasi, maka kami sedot dengan SBI,'' tutur Paul Sutopo. Kendati banyak pinjaman luar negeri yang dilakukan swasta dan diteken tiga tahun silam yang kini sudah jatuh tempo, BI tak khawatir. Memang, akan banyak dolar yang akan mengalir ke luar. ''Kalau rupiah mantap, tak ada masalah. Kalau terjadi pembayaran utang yang besar, akan terjadi perubahan kurs antarbank, tapi tidak di BI,'' kata Paul lebih lanjut. Berdasarkan pengalaman selama ini, pembayaran utang dengan suplai dolar dari hasil ekspor cukup seimbang. Lagipula, pasar valuta asing di Indonesia dewasa ini sudah cukup besar, sehingga tidak akan terlalu kentara kalau terjadi pemborongan oleh satu atau dua bank. ''Transaksi valuta asing di pasar Jakarta sekarang sudah sebesar US$ 2,5 miliar sampai 2,6 miliar per hari. Kalau ada bank yang mau utang US$ 100 juta, itu tidak akan mempengaruhi kurs,'' kata Direktur BI tadi. Arus keluar-masuk devisa secara makro dalam neraca pembayaran, menurut Paul, juga semakin mantap. Modal (termasuk barang) yang masuk milik Pemerintah dan swasta terlihat dalam neraca transaksi berjalan. Selain itu, neraca modal semakin baik. Neraca transaksi berjalan memang masih defisit, tapi nilainya terus mengecil. Pada tahun fiskal 1991-92 defisit lebih dari US$ 3 miliar. Tahun 1992-93 defisit itu turun menjadi US$ 2,6 miliar. ''Tahun 1993-94 diperkirakan masih di atas US$ 2 miliar, tapi lebih kecil dari tahun sebelumnya,'' tutur Paul lagi. Dalam neraca modal, jumlah pinjaman Pemerintah dan swasta ditambah investasi asing masih lebih besar jika dibandingkan dengan defisit transaksi berjalan. Sehingga, neraca pembayaran (ekspor dikurangi impor ditambah neraca jasa dan neraca modal) tetap surplus. Pada tahun 1991-92 surplus neraca pembayaran tidak sampai US$ 1 miliar, sedangkan tahun 1992-93 terjadi surplus US$ 1,4 miliar. Artinya, cadangan devisa di BI terus bertambah. Cadangan devisa di BI pada bulan Oktober 1993, kata Paul, sudah di atas US$ 12 miliar. ''Itu sama dengan kebutuhan lebih dari lima bulan impor,'' ujar Paul menjelaskan. Seperti diketahui, pengalaman selama ini menunjukkan, kalau cadangan devisa sudah mendekati kebutuhan tiga bulan impor, akan terjadi pemotongan kurs rupiah alias devaluasi. Timbul pertanyaan, apakah banjir dolar ini akan bertahan lama. Pakar ekonomi dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Gunawan Sumodiningrat, berpendapat bahwa kalau Indonesia tetap mempertahankan kebijakan ekonomi yang sekarang, gejala ini boleh jadi akan langgeng. Maksudnya, jika kebijakan ekonomi Indonesia terus dipertahankan, suku bunga bank tetap rendah sehingga biaya dana juga murah, maka kepercayaan terhadap rupiah boleh diandalkan. Dampaknya, menurut Gunawan, akan meluas ke luar negeri. Kepercayaan luar negeri terhadap ekonomi Indonesia akan meningkat. ''Selain itu, country risk bakal turun, sehingga bisa diharapkan orang akan berbondong-bondong kemari untuk investasi dalam rupiah,'' Gunawan menjelaskan kepada Iwan Qodar Himawan dari TEMPO. Namun, sebuah lembaga asing dari Hong Kong memperkirakan, kurs rupiah terhadap dolar masih akan melemah. Masalahnya, perkembangan inflasi serta turunnya suku bunga deposito rupiah, dan terutama juga beban utang Pemerintah yang diteken dalam yen ada sekitar 40%. Jika yen menguat, beban utang Pemerintah, yang kini sekitar 40% dihitung dalam yen, akan memperberat neraca pembayaran luar negeri. Lalu sejumlah produk industri dengan merek Jepang akan menyulut inflasi lagi. ''Seandainya inflasi bisa dikendalikan dan ekspor tetap meningkat, rupiah kemungkinan akan melemah (tapi) tidak lebih dari 3%. Dan kurs rupiah pada (akhir) tahun 1994 diperkirakan akan mencapai Rp 2.160 per US$ 1,'' begitu prediksi lembaga riset Merryl Lynch, Hong Kong, dalam buletinnya, Asian Economic Commentary, edisi November 1993.Max Wangkar dan Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini