Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Waspada Tipu-tipu Haji Furoda

Pemerintah tetap harus mengontrol pelaksanaan ibadah haji furoda. Agar kasus penipuan tak terus berulang.

28 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penipuan haji furoda terus muncul akibat tak adanya pengaturan yang jelas siapa yang bisa mendapatkan visa mujamalah.

  • Pemerintah mengaku tak berhak mengatur karena hal itu merupakan kewenangan Arab Saudi.

  • Pengamat meminta pemerintah berkoordinasi dengan Arab Saudi demi melindungi masyarakat.

DIREKTORAT RESERSE Kriminal Khusus Polda Metro Jaya mengumumkan penetapan Direktur PT Musafir Internasional Indonesia (PT MII) berinisial SJA sebagai tersangka kasus penipuan ibadah haji furoda pada Selasa, 26 Maret lalu. Kasus seperti ini kerap terjadi dalam beberapa tahun terakhir karena tak ada pengaturan dari pemerintah. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasus ini berawal dari laporan korban suami-istri berinisial TBS dan GS pada 29 September 2023. Keduanya mengaku membayar masing-masing Rp 125 juta untuk melaksanakan ibadah haji furoda dengan paket VIP kepada PT MII. Perusahaan itu berjanji memberikan fasilitas mewah, seperti hotel bintang lima, maktab VIP, apartemen transit, asuransi, dan tiket penerbangan langsung Jakarta-Arab Saudi. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada kenyataannya, kedua korban tak menerima fasilitas seperti yang dijanjikan. Mereka merasa perjalanan hajinya seperti backpacker, turis yang bepergian dengan bujet seminimal mungkin. Mereka mengaku harus mengeluarkan biaya tambahan untuk penginapan dan lainnya. “Atas kejadian tersebut, berdasarkan kronologis laporannya, korban merasa dirugikan Rp 563 juta," ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi di Jakarta, Selasa, 26 Maret lalu.

Polisi menetapkan Direktur PT MII berinisial SJA sebagai tersangka. Berdasarkan penelusuran Polda Metro Jaya, PT MII sebenarnya tidak punya izin sebagai pelaksana ibadah haji khusus (PIHK), melainkan hanya memiliki izin sebagai penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU). "PT MII ini izinnya dari Kemenag itu sebagai PPIU, bukan PIHK," ujar Ade Ary.

Korban dari PT MII ini pun tak hanya pasangan suami-istri itu. Ade Ary pun menyatakan pihaknya menemukan laporan terhadap perusahaan itu di Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, Polda Jawa Timur, Kepolisian Resor Malang, dan Polres Jakarta Pusat.

Polisi menjerat SJA dengan Pasal 28 ayat 1 juncto Pasal 45A ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penipuan dan/atau Pasal 17 ayat 1 juncto Pasal 62 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan/atau Pasal 3, 4, dan 5 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). "Dengan maksimal penjara selama 20 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar, " kata Ade Ary.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi. TEMPO/Febri Angga Palguna

Kasus penipuan ibadah haji furoda bukan pertama kalinya terjadi. Salah satu kasus yang besar terjadi pada Januari tahun lalu. Polda Jawa Barat menetapkan Ropidin Maulana Yusuf sebagai tersangka karena menipu 45 anggota jemaah. Saat itu para korban membayar Rp 200-250 juta, tapi gagal melaksanakan ibadah karena visanya ditolak oleh pemerintah Arab Saudi. 

Ibadah haji furoda secara sederhana bisa diartikan sebagai perjalanan haji tanpa menggunakan kuota resmi yang didapatkan Indonesia dari Arab Saudi. Perbedaannya dengan haji reguler resmi adalah jenis visa yang digunakan. Hal itu tercantum dalam Pasal 17 dan Pasal 18 Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Pasal 17 ayat 1 menyebutkan visa haji di luar kuota haji Indonesia dilarang digunakan oleh jemaah haji. Namun ayat kedua pasal itu mengecualikan bagi pemegang visa haji mujamalah yang merupakan undangan dari pemerintah Arab Saudi. Pasal 18 pun menegaskan bahwa visa yang berlaku untuk jemaah haji adalah visa yang berdasarkan kuota dari pemerintah dan visa mujamalah.

Ibadah haji furoda juga berbeda dengan haji khusus yang biasa disebut masyarakat sebagai ONH Plus. Ibadah haji furoda menggunakan visa mujamalah, sedangkan ONH Plus menggunakan visa haji reguler. 

Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Kementerian Agama Subhan Cholid menjelaskan, visa mujamalah awalnya diberikan oleh pemerintah Arab Saudi secara cuma-cuma kepada negara-negara sahabat. Biaya haji untuk jemaah yang menggunakan visa itu pun sepenuhnya ditanggung oleh Arab Saudi. “Furoda ini bentuk penghargaan pemerintah Arab Saudi kepada negara-negara tertentu dengan mengundang bisa melalui Kemenag, organisasi masyarakat, atau langsung ke pondok pesantren,” kata Subhan dikutip dari akun YouTube Kedutaan Besar Republik Indonesia di Riyadh, Arab Saudi.

Belakangan, menurut dia, terjadi transaksi jual-beli untuk mendapatkan visa mujamalah ini, “Tapi kami tidak pernah tahu siapa yang jual,” kata Subhan. Kementerian Agama mengaku tak bisa mengatur soal visa mujamalah karena hal itu merupakan kewenangan murni pemerintah Arab Saudi.

Hal itu, menurut dia, kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat yang tak ingin menunggu antrean untuk menjalankan ibadah haji. Saat ini masyarakat harus antre 15-46 tahun untuk mendapatkan kuota haji reguler yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama. “Dengan lamanya waktu tunggu, ini yang membuat banyak masyarakat ingin berangkat tanpa waktu tunggu,” kata Subhan.

Pengamat haji dan umrah dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ade Marfuddin, mengatakan tidak adanya pengaturan dari pemerintah itu membuat pelaksanaan ibadah haji furoda yang terjadi saat ini tidak terkoordinasi dengan baik. Walhasil, banyak biro perjalanan tak berizin mengandalkan pihak ketiga untuk mencari visa undangan pemerintah Arab Saudi ini. “Ini imbas ketidakhadiran pemerintah,” kata Ade saat dihubungi pada Rabu kemarin, 27 Maret 2024.

Meskipun mengakui visa mujamalah merupakan hak pemerintah Arab Saudi, Ade menilai pemerintah Indonesia seharusnya bisa meminimalkan kejadian penipuan tersebut. Caranya, menurut dia, Indonesia berkoordinasi dengan Arab Saudi soal penerbitan visa mujamalah tersebut. “Perlu ada sebuah solusi berupa diplomasi. Buka keran komunikasi yang baik dengan Kementerian Arab Saudi perihal visa furoda,” ucap Ade.

Dengan begitu, kata Ade, pemerintah tak perlu lagi khawatir akan adanya biro perjalanan nakal yang mencoba mengakses sendiri visa mujamalah itu karena visa ini masuk melalui KBRI kemudian ke Kementerian Agama. “Misalnya tahun ini keluar 10 ribu, langsung diumumkan oleh pemerintah, disebar ke asosiasi yang legal. Selama ini hal itu belum ada karena seolah-olah visanya rahasia,” kata Ade.

Selain proteksi dari pemerintah, kata Ade, calon jemaah haji yang ingin mendaftar ibadah haji furoda juga perlu meningkatkan kewaspadaan. Biasanya, menurut dia, layanan seperti ini hanya ini diselenggarakan oleh biro perjalanan yang memiliki jam terbang tinggi dan berpengalaman. “Lihat izinnya, lihat jam terbangnya,” kata Ade.

Ketua Umum Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI), Firman M. Nur, pun mengakui adanya praktik jual-beli visa mujamalah itu. Dia menyatakan masyarakat seharusnya curiga sejak awal jika ada biro perjalanan menawarkan ibadah haji furoda dengan harga relatif rendah. Pasalnya, menurut dia, visa mujamalah dibanderol cukup tinggi.  

Dia menyatakan satu visa mujamalah biasanya harus ditebus dengan harga US$ 9-13 ribu atau Rp 142-206 juta, dengan kurs Rp 15.780 per dolar AS. Harga itu belum termasuk fasilitas yang dijanjikan dalam pelaksanaan ibadah haji furoda. “Sehingga paling minim biaya yang harus dikeluarkan jemaah itu sebesar US$ 25 ribu atau sekitar Rp 400 juta,” kata Firman saat dihubungi kemarin.

Selain memperhatikan soal harga, kata Firman, masyarakat semestinya bisa bertanya kepada si penyelenggara haji atau biro perjalanan tersebut apakah sudah memiliki izin PIHK yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama. “Itu hak calon jemaah. Tanyakan PIHK-nya. Kalau tidak ada, perlu waspada,” ujar dia. Selanjutnya, kata Firman, perlu dibuat kesepakatan atau memorandum of understanding (MoU) antara calon jemaah haji furoda dan biro perjalanan untuk menjamin apabila terjadi masalah-masalah di kemudian hari seusai pendaftaran.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus