Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMUA ”amunisi pertempuran” di ruang sidang itu sudah dirasa cukup oleh Chairul Anam. Segepok bukti bahwa maskapai penerbangan Garuda melakukan pelanggaran dalam kasus tewasnya Munir sudah disodorkan ke hakim. Pengacara Suciwati ini yakin Garuda bakal ”KO” menghadapi gugatan perdata yang diajukan pihaknya. ”Bukti pendukungnya sangat kuat,” ujar pengacara Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang juga aktivis Human Right Working Group ini.
Gugatan Suciwati ini untuk menuntut tanggung jawab PT Garuda atas terbunuhnya Munir dalam penerbangan dari Singapura menuju Amsterdam, Belanda, pada 7 September 2004. Ada 11 pihak yang digugat Suciwati, antara lain PT Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto, hingga pilot yang membawa pesawat GA974 rute Jakarta-Amsterdam, pesawat yang ditumpangi Munir.
Dalam gugatan setebal 19 halaman, ibu dua anak itu menilai PT Garuda dkk melakukan sejumlah perbuatan melawan hukum. Mulai dari memindahkan tempat duduk suaminya dari kursi ekonomi ke bisnis, adanya penumpang yang menggunakan surat cacat hukum, hingga melakukan kelalaian penyajian makanan dan minuman. Dalam gugatan perdata ini, Suci menuntut ganti rugi immateriil sekitar Rp 9 miliar dan ganti rugi materiil Rp 4 miliar. Jumlah ini berdasarkan perhitungan usia produktif Munir serta tanggungan keluarga yang harus dipikul Suciwati.
Dalam penerbangan itu, Munir seharusnya berada di kursi nomor 40G kelas ekonomi. Kenyataannya, ia duduk di kursi 3K kelas bisnis. Munir pindah ke kelas bisnis atas ”jasa” Pollycarpus. ”Pemindahan ini melanggar Konvensi Warsawa 1929,” ujar Ketua LBH Jakarta, Asfinawati, yang juga menjadi pengacara Suciwati. Menurut konvensi yang mengatur penerbangan internasional itu, pertukaran tempat duduk hanya dibolehkan karena alasan teknis atau perusahaan penerbangan kelebihan menjual tiket (over selling).
Demikian juga soal ikut terbangnya Pollycarpus yang disebut sebagai aviation and internal security dalam penerbangan itu. Menurut Asfinawati, Polly tak punya surat tugas khusus dari kepala pilot Karmal Fauza Sembiring. Yang dimiliki Polly hanya surat yang dikeluarkan oleh Vice President Corporate Security Ramelgia Anwar yang diberlakukan mundur. ”Itu melanggar Konvensi Warsawa karena bisa disebut sengaja berbuat jahat,” kata Asfin. Mahkamah Agung dalam putusannya pada 3 Oktober 2006, menurut dia, sudah menyatakan Pollycarpus menggunakan surat palsu. ”Putusan Mahkamah itu memperkuat dalil kami,” kata Asfin.
Hal lain yang digugat Suciwati adalah kelalaian PT Garuda dalam pengawasan makanan. Munir memang terbukti meninggal karena keracunan. Menurut Asfin, reaksi awal orang kemasukan racun arsenik terjadi sekitar 90 menit setelah zat itu masuk ke tubuh. Munir merasakan gejala awal keracunan saat turun di Bandara Changi dan kemudian meninggal pada 7 September sekitar pukul 11.00. Pesawat Garuda yang ditumpangi Munir, ujar Asfin, berangkat dari Jakarta pukul 21.55. ”Artinya, arsenik itu masuk dalam perjalanan Jakarta-Singapura.”
Kalaupun masuknya racun dianggap tak sengaja, ujar Asfin, Garuda juga bisa disebut telah melakukan kelalaian berat. Menurut dia, perbuatan ini tak hanya melanggar Konvensi Warsawa, tapi juga melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keselamatan Penerbangan, serta petunjuk dasar operasi Garuda sendiri.
Bukti lain yang dijadikan dasar menggugat Garuda adalah maskapai penerbangan nasional itu tak profesional menangani sakitnya Munir. Chairul Anam menunjuk laporan investigasi internal Garuda yang menyebut awak Garuda tak mencoba mencari kontak dengan petugas di darat untuk mencari pertolongan medis saat Munir sakit. Obat-obatan serta alat-alat yang dipakai untuk mengobati Munir ternyata juga tak disimpan sebagai bukti. ”Mereka tak menjalankan petunjuk dasar operasi mereka sendiri,” kata Chairul.
Garuda sendiri berkeras menyatakan tak menabrak peraturan apa pun dalam kasus tewasnya Munir. Soal Munir bertukar tempat duduk, misalnya, menurut pengacara Garuda Heru Santoso sama sekali tak melanggar Konvensi Warsawa. Tindakan itu, ujar Heru, bukan upgrading, seseorang naik dari kelas ekonomi ke kelas bisnis. ”Sebab, jumlah penumpang kelas ekonomi dan bisnis juga tetap sama.” Apalagi, ujar Heru, perpindahan ini dilakukan secara sukarela. ”Dalam penerbangan praktek semacam ini kerap terjadi.”
Soal tak adanya surat tugas khusus untuk Polly, Heru menunjuk ada alasannya. Dalam sidang Pollycarpus, Heru menyatakan pernah bertanya keberadaan Karmal Fauza Sembiring saat kasus Munir terjadi. Ternyata Kamal sedang terbang ke Cina. Menurut Heru, putusan Mahkamah Agung yang menyatakan Polly menggunakan surat palsu tidak bisa dengan serta-merta dipakai sebagai alasan Garuda bersalah dalam kasus ini. ”Harus dibuktikan dulu surat itu merugikan atau ada hubungannya dengan pembunuhan Munir,” ujarnya.
Heru juga membantah soal keracunan yang dialami Munir setelah menenggak jus jeruk dalam penerbangan Jakarta-Singapura. Menurut dia, jarak waktu antara pemberian minuman dengan mendaratnya pesawat Garuda di Bandara Changi, Singapura, sekitar 1 jam empat puluh menit. ”Tapi buktinya, Munir masih terlihat gagah setibanya di Bandara Changi,” kata Heru.
Soal diracunnya Munir, pengacara Garuda yang lain, Mohammad Assegaf, justru menduga itu terjadi di Bandara Changi. Alasan Assegaf, gejala keracunan itu baru muncul setelah Munir berada di pesawat dalam penerbangan Singapura-Amsterdam.
Chairul tak setuju dengan pendapat Assegaf ini. ”Changi itu bandara teraman ketiga di dunia,” kata dia. ”Tu-duhan itu harus dibuktikan.”
Adapun soal awak Garuda yang tak mencari pertolongan di darat, menurut Heru, itu karena sudah ada dokter Tarmizi yang menangani Munir. Munir berkenalan dengan dokter yang berpraktek di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, itu saat pesawat singgah di Bandara Changi. ”Apalagi dokter tersebut juga tak meminta pilot menghubungi bandara terdekat untuk mencari petugas kesehatan,” ujarnya. Dengan sejumlah argumentasi itu, Assegaf dan Heru menyatakan Garuda tak layak digugat. ”Karena tak ada bukti Munir mati diracun dalam pesawat Garuda,” kata Assegaf.
Kendati digelar sejak September lalu, gugatan perdata ini agaknya bakal menempuh jalan panjang. Pekan-pekan ini adalah giliran pihak Garuda mengeluarkan jawaban mereka di Pengadilan Jakarta Pusat. ”Kami tinggal mendengar dan mencatat saja,” kata Chairul.
Kepada Tempo, pakar hukum penerbangan Endang Saefullah Wiradipradja menegaskan, konvensi internasional memang mewajibkan maskapai penerbangan memberi ganti rugi dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan keselamatan penerbangan. Untuk penerbangan domestik nilai ganti itu sekitar Rp 40 juta, sedangkan untuk penerbangan interna-sional sekitar Rp 180 juta. Tapi, angka ini bukan harga mati. ”Untuk kasus Munir, ganti rugi bisa lebih besar kalau keluarga Munir bisa membuktikan ada unsur kesengajaan atau kelalaian luar biasa dari pihak Garuda,” ujarnya.
Abdul Manan, Rana Akbari Fitriawan (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo