Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Penyelundup kembali ditembak ... penyelundup: kembali ditembak ...

Jakgung sukarton marmosudjono menggunakan uu subversi pnps no.11/1963 guna menghukum penyelundup. robby mandolang, 30, didakwa menyelundup ribuan ton rotan. sikap jakgung mengundang kritik pakar hukum.

22 Oktober 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENJATA "usang", undang-undang antisubversi (PNPS No. 11/1963), yang sudah lama "dikubur" untuk kejahatan ekonomi, kini digali kembali oleh Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono. Petinggi hukum itu, selesai menghadap Presiden, Rabu pekan lalu, mengumumkan senjata "berat" itu akan dipakai lagi untuk menyeret penyelundup rotan kelas kakap, Ujungpandang, Robby Mandolang. Menurut Sukarton, kegiatan penyelundupan seperti itu sama dengan sabotase ekonomi. "Ia telah merongrong perekonomian negara karena berkali-kali menyelundupkan rotan," ujar Sukarton. Kejutan Sukarton itu sebenarnya hanya pengulangan dari tindakan Jaksa Agung Ali Said, kini Ketua Mahkamah Agung, terhadap para penyelundup, sepuluh tahun lalu. Berdasarkan undang-undang "ampuh" itu, Ali Said mengirim belasan penyelundup, yang terjaring Operasi 902, ke tahanan di Nusa Kambangan. Hampir semua penyelundup kelas kakap itu, kemudian, digiring ke pengadilan dengan undang-undang subversi dan korupsi. Salah seorang di antara mereka adalah Mendiang Lim Keng Eng, yang dijuluki "Dirjen Bea Cukai Bayangan". Berdasarkan undang-undang subversi Keng Eng divonis 11 tahun penjara karena terbukti menyelundupkan tekstil 3.001 kali sehingga merugikan negara Rp 7,6 milyar. Tindakan Ali Said itu mengundang kritik tajam dari para ahli hukum. Mereka berpendapat penggunaan UU subversi bagi perkara penyelundup bagaikan "menembak lalat dengan meriam". Bagi banyak ahli, undang-undang subversi hanya bisa dipakai bila perbuatan terdakwa mempunyai latar belakang politik. Jika tidak begitu, kata mereka, undang-undang itu akan menjadi "jaring tak berujung" (TEMPO, 12 Agustus 1978). Kritik para pakar itu ternyata mampu menggoyahkan sikap pengadilan. Hakim-hakim yang semula memvonis penyelundup berdasar undang-undang subversi belakangan membebaskan para terdakwa dari tuduhan berat itu. Bahkan sebagian besar perkara penyelundupan, yang telanjur divonis subversi, dibebaskan peradilan banding dan kasasi. Perubahan sikap peradilan itu dikukuhkan pula di Lokakarya Mahkamah Agung (MA) di Batu, Malang, Oktober 1978. Dimotori Ketua MA, waktu itu Prof. Oemar Senoadji, dan Hakim Agung Z. Asikin Kusumah Atmadja, para hakim sepakat membatasi perumusan delik subversi, yang disebut "penghalusan hukum". Unsur latar belakang politik, menurut para hakim itu, adalah esensial bagi kejahatan politik. Pihak kejaksaan, selama hampir 10 tahun terkesan memahami sikap peradilan tersebut. Setelah itu, tak ada lagi perkara ekonomi ataupun korupsi yang didakwa jaksa dengan tuduhan subversi. Sebab itu, upaya kejaksaan "menggali" kembali senjata itu untuk menjerat penyelundup rotan Robby Mandolang sangat mengagetkan. Menurut Sukarton, perbuatan Robby, 30 tahun, yang ditangkap Agustus lalu, karena menyelundupkan 5.100 ton rotan setengah jadi -- sehingga merugikan negara Rp 4,4 milyar -- sudah terhitung subversi di bidang ekonomi. "Kalau bahan bakunya diselundupkan terus, kan industri rotan, yang sedang kita galakkan, bisa hancur" kata Sukarton. Ia, bahkan, optimistis dakwaan subversi terhadap Robby akan gol di pengadilan. "Ini sudah political will Presiden," ujar Sukarton, yang berharap para hakim mendukungnya. Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Bob Nasution, yang pekan ini akan menyerahkan perkara itu ke pengadilan, juga optimistis tuduhannya akan diterima hakim. Sebab, menurut Bob, kendati pihak peradilan pernah menolak tuduhan subversi bagi penyelundup, toh yurisprudensi terakhir Mahkamah Agung -- dalam perkara Mohanlal Kanchand -- meralat semua itu. Ketua Muda MA Adi Andojo Soetjipto mengakui yurisprudensi Mahkamah Agung terakhir, 1984, justru membenarkan tuduhan subversi kejaksaan terhadap penyelundup tekstil, Mohanlal Kanchand. Mahkamah Agung dalam perkara itu memvonis Direktur PT Tolaram Surabaya itu 15 tahun penjara -- kendati sebelumnya pengadilan banding memvonis bebas. Menurut majelis hakim agung, yang diketuai Asikin Kusumah Atmadja, penafsiran "politik" tidak hanya dalam arti sempit: hanya menyangkut politik praktis atau partai politik saja. "Politik itu juga mencakup kebijaksanaan negara dalam bidang sosial, budaya, dan juga ekonomi," kata majelis dalam pertimbangannya. (TEMPO, 3 Maret 1984). Berdasarkan itu, menurut Adi Andojo, kejaksaan kini bisa memakai undang-undang subversi itu untuk Robby Mandolang. "Bisa saja, kan sudah ada yurisprudensinya," kata Adi Andojo. Bekas Ketua Mahkamah Agung, Prof. Oemar Senoadji, yang sejak 1966 berpendapat bahwa undang-undang subversi hanya bisa digunakan untuk delik politik, kaget atas sikap keJaksaan itu. "Kok sekarang begitu lagi?" katanya. Menurut Oemar Senoadji, perumusan dan pengertian subversi itu tak jelas dan terlalu luas. Menurut Oemar, yurisprudensi kasus Mohanlal itu belum bisa dijadikan patokan, karena baru sekali terjadi. "Apa itu sudah menjadi yurisprudensi yang konstan terus-menerus? Itu kan masih perlu dikaji lagi," kata Oemar. Ketua DPP Ikadin, Harjono Tjitrosoebono, juga berpendapat tuduhan subversi untuk kejahatan penyelundupan tak tepat, karena kasus semacam itu -- seperti pada kasus Robby -- semata-mata bermotifkan mencari keuntungan dengan gampang. Sebab itu, "Jika tuduhan subversi itu dikabulkan hakim akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan menjadi preseden buruk," ujar Harjono. Menurut dosen hukum pidana FH UI Loebby Loeqman, kalau kejaksaan hanya hendak menghukum berat penyelundup, tak perlu repot-repot menggali undang-undang antisubversi, tapi cukup memakai undang-undang tindak pidana ekonomi. "Ancaman maksimal undang-undang tindak pidana ekonomi juga hukuman mati," kata Loebby. Agung F., Wahyu M., Happy S., dan Karni Ilyas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus