Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Penyidik tunggal dan dua atap

Sejak kuhap berlaku, terdakwa sipil dan militer di adili secara koneksitas. tapi kasus pembunuhan marhaenis abdul hay dimana 4 orang terdakwanya di sidangkan didua atap: peradilan umum dan militer.

25 Juni 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SALAH satu kemajuan KUHAP, dibandingkan hukum acara lama Het Herziene Indlandsch Reglement (HIR), yakni adanya tata cara sidang koneksitas. Jika ada kasus dengan terdakwa orang sipil bersama anggota ABRI, maka perkaranya disidangkan secara koneksitas di peradilan umum. Penyidiknya terdiri atas tim tetap yang beranggotakan polisi, polisi militer, dan oditur militer. Kecuali bila kasusnya lebih merugikan kepentingan militer. Para terdakwa bisa disidangkan di mahkamah militer. Tapi berbeda dengan sidang perkara pembunuhan Pembantu Rektor I UPN (Universitas Pembangunan Nasional) Jakarta, H. Marhaenis Abdul Hay, pekan-pekan ini. Empat orang terdakwanya disidangkan di dua atap, peradilan umum dan militer. Selain itu, perkara tersebut ternyata disidik Polda Metro Jaya saja. Karena itu, tim pembela - diketuai Palmer Situmorang - lantas melayangkan protes. Sidang dengan terdakwa istri "simpanan" Almarhum, Wiwiek Pratiwi alias Tuti, yang dipimpin Djainal Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur itu, dinilai tidak sesuai dengan ketentuan. Dari keempat terdakwa dua orang sipil - Tuti dan Machmud - diadili terpisah di pengadilan yang sama. Sedangkan yang lainnya, Serda. Pol. Sapto Prasetyo dan Serda. Pol. Siswoyo - keduanya adik Tuti - disidangkan di mahkamah militer. Tuti, 36 tahun, yang diduga sebagai otak pembunuhan itu, kata Jaksa A. Hamid Thahir, membunuh Marhaenis, 47 tahun, pada Senin, 21 September 1987. Yang dipersoalkan tim pembela, kecuali sidang di bawah dua atap, juga cara penyidikan. Dalam kasus ini, penyidikan dinilai menyalahi ketentuan pasal 89 ayat 2 KUHAP. Untuk itu, mereka meminta agar pengadilan menyatakan dakwaan jaksa tidak sah. "Kami mohon agar berkas perkara dikembalikan untuk disidik oleh tim tetap," demikian alasan keberatan tim pembela. Sebaliknya Jaksa Hamid Thahir, yang menyeret terdakwa ke sidang, berpendapat dakwaannya sah dan sesuai dengan ketentuan KUHAP. Tentang keharusan disidik tim tetap, menurut jaksa, ketika perkara itu diperiksa di Jakarta belum ada tim tetap. Sementara itu, "Penyidikan harus dituntaskan, tidak mungkin ditunda," katanya. Ada pula alasan lain dari pihak penyidik. Poida Metro Jaya baru tahu adanya terdakwa yang anggota ABRI menjelang penyidikan rampung. Selain itu, menurut jaksa, sejak lahirnya KUHAP, beberapa perkara lainnya juga disidangkan seperti itu. Lihat saja kasus pembunuhan sopir taksi "Ratax" Hamsu Ridjal, Oktober 1987. Lima terdakwa sipilnya diadili di pengadilan umum. Seorang anggota militer disidang di mahkmah militer. Perdebatan ini sebenarnya tak hanya terjadi selama persidangan. Sebelumnya, kejaksaan pernah dua kali mengembalikan berkas perkara kepada penyidiknya. Kejaksaan minta agar perkara itu ditangani tim tetap. Sampai, konon, masalah itu dibahas khusus oleh Polda, Kejaksaan, serta hakim. Putusannya, waktu itu, perkara dilanjutkan saja. Sebab, penyidik sudah terdesak oleh masa batas penahanan Tuti sejak 6 Desember 1987. Tim tetap akan segera dibentuk setelah perkara yang satu ini selesai. Di persidangan, majelis hakim memang mengesampingkan keberatan tim pembela. Soal koneksitas tak dapat dijadikan alasan batalnya dakwaan jaksa. "Apalagi pelakunya telah diajukan ke peradilan umum dan militer. Bahkan seorang terdakwa lainnya Machmud, sudah diperiksa," kata Djainal Hakim, membacakan penetapannya, Senin pekan ini. Karena itu pula majelis melanjutkan pemeriksaan saksi Nyonya Fahmida, 38 tahun, istri sah Almarhum. Penetapan itu langsung dibanding tim pembela. "Putusan itu hanya formalistis pada syarat-syarat dakwaan," kata Palmer. Keberatan lain yaitu soal penyidik hanya dari Polda Metro Jaya, yang katanya tegas-tegas tidak dibenarkan KUHAP. Bagaimana bisa sah?' tambah Palmer. Akibat cara penyidikan itu, menurut Palmer, ada seorang perwira menengah polisi luput dari pengusutan. Mungkin perwira yang diduga otak oleh Palmer itu bisa disabet pula jika yang menyidik lebih dari satu instansi, seperti ketentuan KUHAP itu. Yang kemudian mengundang pertanyaan, kini, adalah penetapan hakim. Pengacara senior, Soekardjo Adidjojo, dan bekas anggota DPR V.B. da Costa, berpendapat seharusnya hakim mengembalikan berkas perkara tersebut. "Belum terbentuknya tim tetap bukan alasan. Begitu ada perkara, bentuklah tim itu, bisa berupa tim ad hoc atau permanen," ujar Soekardjo. Sedangkan Da Costa, salah seorang yang terlibat dalam penyusunan KUHAP dan kini jadi pengacara, menambahkan, "Prinsip koneksitas, diadili di Peradilan umum. Kecuali ada keputusan dari Menteri Pertahanan dan Keamanan, baru diadili di peradilan militer." Keputusan seperti disebut Da Costa mengenai kasus Marhaenis ini tampaknya memang tidak ada. Hal senada juga diutarakan M. Yahya Harahap, penulis buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. "Peradilan koneksitas itu dimaksudkan agar persidangannya lebih mudah, cepat, dan terjamin obyektivitasnya. Sehingga, terhindar dari putusan yang kontradiktif antarperadilan," katanya. Menurut KUHAP, memang perkara koneksitas harus diadili dibawah satu atap. Contohnya, sidang uang palsu di Pengadilan Negeri Tanjung Balai Karimun, Riau, tahun 1984. Juga sidang Ir. Djerman Hamid dan empat terdakwa lainnya dalam kasus penyelundupan Kemayoran April 1984. Yang menjadi soal: benarkah sidang Marhaenis menyalahi KUHAP? Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur Waluyo Sedjati berdalih, "Masalahnya bukan soal melanggar KUHAP atau tidak. Tapi sewaktu perkara dilimpahkan ke pengadilan, tim tetap belum terbentuk." Selain itu, pengadilan tak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara. Kalaupun perkara itu dikembalikan, "persoalan malah akan tambah kompleks. Misalnya masalah penabanan terdakwa," ujar Waluyo. Tapi, menurut sumber di Polda, penyidikan perkara itu konon memang digariskan dari atas. Termasuk pemisahan berkas per: kara yang kemudian dibawa ke dua atap itu. Tapi Letkol. Latief Rabar, Kadispen Polda Metro Jaya, tak banyak berkomentar. "Itu sudah wewenang hakim," katanya. Happy S., Muchsin Lubis (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus